Jakarta (ANTARA) - Direktur Pengembangan Sumber Daya dan Lingkungan Hidup Ditjen Pembangunan Daerah Tertinggal Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) Dwi Rudi Hartoyo mengatakan promosi wisata di daerah tertinggal akan efektif dengan digitalisasi.
“Kami mencoba melakukan digitalisasi pariwisata di daerah tertinggal karena efektif untuk promosi wisata. Digitalisasi dengan melalui model sistem tiket elektronik atau e-ticketing di objek-objek wisata maupun desa wisata," ujar Rudi dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis.
Ditjen PDT sudah menjalin kerja sama dengan sejumlah startup pariwisata, seperti GOERS, Cavanter dan Ipaymu. Untuk tahap awal, sejumlah destinasi di Lombok menjadi proyek percontohan. Pertimbangannya, Lombok, khususnya Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika termasuk dalam 10 Bali Baru. Sehingga dampaknya diharapkan bisa langsung dirasakan oleh pelaku wisata di Lombok dan juga pemerintah daerah.
Sistem tiket elektronik akan memberikan kepastian kepada pelaku wisata mengenai jumlah tiket yang terjual dan jumlah wisatawan yang datang. Data lain yang juga akan terekam, seperti jumlah wisatawan luar negeri dan asalnya. Hal itu tentu akan bermanfaat untuk menentukan kebijakan yang akan diambil, khususnya ketika hendak melakukan promosi.
Di sisi lain, sistem tiket elektronik juga akan mengurangi potensi kebocoran pendapatan atau pungutan liar. Hal itu dikarenakan tiket yang terjual langsung tercatat sistem elektonik, sehingga pengelola pariwisata bisa mengetahui secara pasti berapa pendapatan dari penjualan tiket.
Pengelola wisata juga bisa membatasi jumlah wisatawan yang masuk ke tempat wisata. Pembatasan wisatawan penting untuk menjaga lingkungan.
“Pengelola bisa mengetahui apakah jumlah pengunjung sudah melewati daya tampung atau tidak. Kalau sudah melewati, pasti akan mengganggu lingkungan tempat wisata. Semuanya terekam di data itu,” ujar Rudi.
Jika suatu kawasan wisata bisa tumbuh di suatu daerah, kata dia, tentu akan menyebabkan efek berganda. Misal, akan muncul pelaku usaha oleh-oleh, travel, kuliner dan sebagainya. Hal itulah yang menjadi alasan utama bagi Ditjen PDT untuk terus memperluas kerja sama dengan pihak ketiga pada sektor ini.
"Apalagi pihak ketiga tidak hanya menyantumkan destinasi wisata di aplikasinya, tetapi juga memberikan pelatihan dan pendampingan kepada pengelola desa wisata untuk penerapan teknologi yang berkelanjutan."
Dalam waktu dekat Ditjen PDT juga akan mensosialisasikan pariwisata digital di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur.
“Kami mencoba melakukan digitalisasi pariwisata di daerah tertinggal karena efektif untuk promosi wisata. Digitalisasi dengan melalui model sistem tiket elektronik atau e-ticketing di objek-objek wisata maupun desa wisata," ujar Rudi dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis.
Ditjen PDT sudah menjalin kerja sama dengan sejumlah startup pariwisata, seperti GOERS, Cavanter dan Ipaymu. Untuk tahap awal, sejumlah destinasi di Lombok menjadi proyek percontohan. Pertimbangannya, Lombok, khususnya Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika termasuk dalam 10 Bali Baru. Sehingga dampaknya diharapkan bisa langsung dirasakan oleh pelaku wisata di Lombok dan juga pemerintah daerah.
Sistem tiket elektronik akan memberikan kepastian kepada pelaku wisata mengenai jumlah tiket yang terjual dan jumlah wisatawan yang datang. Data lain yang juga akan terekam, seperti jumlah wisatawan luar negeri dan asalnya. Hal itu tentu akan bermanfaat untuk menentukan kebijakan yang akan diambil, khususnya ketika hendak melakukan promosi.
Di sisi lain, sistem tiket elektronik juga akan mengurangi potensi kebocoran pendapatan atau pungutan liar. Hal itu dikarenakan tiket yang terjual langsung tercatat sistem elektonik, sehingga pengelola pariwisata bisa mengetahui secara pasti berapa pendapatan dari penjualan tiket.
Pengelola wisata juga bisa membatasi jumlah wisatawan yang masuk ke tempat wisata. Pembatasan wisatawan penting untuk menjaga lingkungan.
“Pengelola bisa mengetahui apakah jumlah pengunjung sudah melewati daya tampung atau tidak. Kalau sudah melewati, pasti akan mengganggu lingkungan tempat wisata. Semuanya terekam di data itu,” ujar Rudi.
Jika suatu kawasan wisata bisa tumbuh di suatu daerah, kata dia, tentu akan menyebabkan efek berganda. Misal, akan muncul pelaku usaha oleh-oleh, travel, kuliner dan sebagainya. Hal itulah yang menjadi alasan utama bagi Ditjen PDT untuk terus memperluas kerja sama dengan pihak ketiga pada sektor ini.
"Apalagi pihak ketiga tidak hanya menyantumkan destinasi wisata di aplikasinya, tetapi juga memberikan pelatihan dan pendampingan kepada pengelola desa wisata untuk penerapan teknologi yang berkelanjutan."
Dalam waktu dekat Ditjen PDT juga akan mensosialisasikan pariwisata digital di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur.