Jakarta (ANTARA Lampung) - Berikut ini pernyataan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Eksekutif Nasional yang disampaikan Mukri Friatna (Manajer Penanganan Bencana Eksekutif Nasional Walhi) berkaitan bencana ekologis kabut asap diterima di Bandarlampung, Jumat (31/10).
Sebagai negara yang beriklim tropis, Indonesia hanya mengenal dua musim, yaitu musim kemarau dan musim hujan. Sepintas dibaca sangat sederhana, namun bila terus salah mengelola iklim maka sangat terbuka peluang berisiko bencana. Saat ini sebagian wilayah Indonesia telah mulai turun hujan meski sebagian besar masih menghadapi kekeringan. Bahkan lima provinsi, yaitu Riau, Jambi, Sumatera Sumatera Selatan, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah masih dilanda bencana dengan sebutan bencana asap. Secara kumulatif, menurut pemerintah kerugian ekonomi atas kasus kebakaran ini mencapai Rp100 miliar.
Untuk mengatasi kebakaran, negara lagi-lagi dipaksa menjadi pihak yang paling bertanggungjawab untuk menggelontorkan miliaran rupiah uang dari APBN dan APBD guna memadamkan api, dan bukan dari pihak yang membakar. Tidak urung Presiden pun harus menyampaikan maaf pada negera-negara tetangga. Jika seperti ini terus adanya, Walhi menilai bahwa negara telah kalah dan tiga kali merugi. Pertama hutan yang terbakar menyebabkan rusaknya ekosistem dan tercemarnya lingkungan oleh asap. Kedua, terdapat ribuan masyarakat dilokasi kebakaran telah terdampak penyakit ispa dan ketiga, dana pajak masyarakat digunakan untuk memadamkan api khususnya di konsesi-konsesi perusahaan yang lahannya terbakar. Khusus di Riau kasus dibakar dan terbakar hutan dan lahan seolah tak jemu-jemu karena berturut-turut terjadi dalam kurun 17 tahun. Kesemua hal tersebut merupakan preseden buruk dan Walhi mengingatkan agar tidak boleh terulang lagi di era pememerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla.
Kelemahan dalam UU No. 24 Tahun 2007 yang hanya menyebutkan tiga kategori bencana, menyebabkan bencana asap tidak mampu terjawab masuk dalam kategori bencana apa. Karenanya dikenalkan istilah baru yaitu bencana asap, dan konsekuensi atas semua ini maka mau tidak mau memang negara yang harus bertanggungjawab. Walhi sejak lama mengkategorikan kebakaran hutan dan lahan sebagai bencana ekologis bertujuan agar negara berwibawa dan tidak selalu dirugikan. Terpenting adalah menempatkan subjek pembakar hutan dan lahan sebagai pihak yang paling bertanggungjawab, bukan negara yang harus bersusah payah memadamkan api di lahan konsesi dan menggunakan dana pajak masyarakat.
Dalam sepuluh bulan terakhir, Walhi mencatat terdapat 1,3 juta pengungsi bencana ekologis, padahal Indonesia tidak dalam situasi perang namun jumlah pengungsi begitu besar. Untuk memperkecil risiko bencana, Walhi meminta pemerintah memberikan perhatian serius kepada daerah yang memiliki tingkat degradasi daerah aliran sungai dan deforestasi hutan yang tinggi. Daerah yang memiliki ruang terbuka hijau terbatas, tekstur tanah yang labil serta daerah daerah yang memiliki perbedaan tidak jelas antara musim hujan dan kemarau. Daerah tersebut seperti sebagian besar Pulau Jawa, pantai barat Sumatera, NTT, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan.
Mengingat esensi bencana adalah hak, maka untuk meminimalisir jatuh korban jiwa dan besarnya kerugian ekonomi akibat banjir, Walhi menyarankan kepada pemerintah agar siap siaga dan semaksimal mungkin menyiapkan sumber daya yang dimiliki termasuk perlatan tempur nonperang agar mudah dimobilisasi bila terjadi banjir. Demikian kepada masyarakat yang oleh pemerintah wilayahnya dikategorikan rawan bencana untuk terus waspada dan membangun kekuatan kolektif untuk mereduksi ancaman dan risiko bencana di kemudian hari. Dalam situasi politik negara yang belum stabil agak sulit mengharapkan negara hadir lebih awal di lokasi bencana karena itu sekali lagi Walhi mengharapkan terbangunya kemandirian masyarakat sebagai kunci utama menghadapi bencana.
Sebagai negara yang beriklim tropis, Indonesia hanya mengenal dua musim, yaitu musim kemarau dan musim hujan. Sepintas dibaca sangat sederhana, namun bila terus salah mengelola iklim maka sangat terbuka peluang berisiko bencana. Saat ini sebagian wilayah Indonesia telah mulai turun hujan meski sebagian besar masih menghadapi kekeringan. Bahkan lima provinsi, yaitu Riau, Jambi, Sumatera Sumatera Selatan, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah masih dilanda bencana dengan sebutan bencana asap. Secara kumulatif, menurut pemerintah kerugian ekonomi atas kasus kebakaran ini mencapai Rp100 miliar.
Untuk mengatasi kebakaran, negara lagi-lagi dipaksa menjadi pihak yang paling bertanggungjawab untuk menggelontorkan miliaran rupiah uang dari APBN dan APBD guna memadamkan api, dan bukan dari pihak yang membakar. Tidak urung Presiden pun harus menyampaikan maaf pada negera-negara tetangga. Jika seperti ini terus adanya, Walhi menilai bahwa negara telah kalah dan tiga kali merugi. Pertama hutan yang terbakar menyebabkan rusaknya ekosistem dan tercemarnya lingkungan oleh asap. Kedua, terdapat ribuan masyarakat dilokasi kebakaran telah terdampak penyakit ispa dan ketiga, dana pajak masyarakat digunakan untuk memadamkan api khususnya di konsesi-konsesi perusahaan yang lahannya terbakar. Khusus di Riau kasus dibakar dan terbakar hutan dan lahan seolah tak jemu-jemu karena berturut-turut terjadi dalam kurun 17 tahun. Kesemua hal tersebut merupakan preseden buruk dan Walhi mengingatkan agar tidak boleh terulang lagi di era pememerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla.
Kelemahan dalam UU No. 24 Tahun 2007 yang hanya menyebutkan tiga kategori bencana, menyebabkan bencana asap tidak mampu terjawab masuk dalam kategori bencana apa. Karenanya dikenalkan istilah baru yaitu bencana asap, dan konsekuensi atas semua ini maka mau tidak mau memang negara yang harus bertanggungjawab. Walhi sejak lama mengkategorikan kebakaran hutan dan lahan sebagai bencana ekologis bertujuan agar negara berwibawa dan tidak selalu dirugikan. Terpenting adalah menempatkan subjek pembakar hutan dan lahan sebagai pihak yang paling bertanggungjawab, bukan negara yang harus bersusah payah memadamkan api di lahan konsesi dan menggunakan dana pajak masyarakat.
Dalam sepuluh bulan terakhir, Walhi mencatat terdapat 1,3 juta pengungsi bencana ekologis, padahal Indonesia tidak dalam situasi perang namun jumlah pengungsi begitu besar. Untuk memperkecil risiko bencana, Walhi meminta pemerintah memberikan perhatian serius kepada daerah yang memiliki tingkat degradasi daerah aliran sungai dan deforestasi hutan yang tinggi. Daerah yang memiliki ruang terbuka hijau terbatas, tekstur tanah yang labil serta daerah daerah yang memiliki perbedaan tidak jelas antara musim hujan dan kemarau. Daerah tersebut seperti sebagian besar Pulau Jawa, pantai barat Sumatera, NTT, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan.
Mengingat esensi bencana adalah hak, maka untuk meminimalisir jatuh korban jiwa dan besarnya kerugian ekonomi akibat banjir, Walhi menyarankan kepada pemerintah agar siap siaga dan semaksimal mungkin menyiapkan sumber daya yang dimiliki termasuk perlatan tempur nonperang agar mudah dimobilisasi bila terjadi banjir. Demikian kepada masyarakat yang oleh pemerintah wilayahnya dikategorikan rawan bencana untuk terus waspada dan membangun kekuatan kolektif untuk mereduksi ancaman dan risiko bencana di kemudian hari. Dalam situasi politik negara yang belum stabil agak sulit mengharapkan negara hadir lebih awal di lokasi bencana karena itu sekali lagi Walhi mengharapkan terbangunya kemandirian masyarakat sebagai kunci utama menghadapi bencana.