Mantan Dirjen Kemenhan dituntut 18,5 tahun penjara perkara korupsi satelit
Jakarta (ANTARA) - Direktur Jenderal Kekuatan Pertahanan pada Kementerian Pertahanan RI (Kemenhan) periode Agustus 2012 sampai dengan September 2016 Laksamana Muda TNI Purn. Agus Purwoko dituntut 18,5 tahun penjara dan denda Rp1 miliar.
Selain itu, ditambah kewajiban bayar uang pengganti sebesar Rp135,9 miliar dalam kasus dugaan korupsi pengadaan satelit slot Orbit 123 derajat Bujur Timur (BT).
Tuntutan tersebut disampaikan penuntut koneksitas di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Jumat.
"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Agus Purwoko dengan pidana penjara selama 18 tahun dan 6 bulan dan menjatuhkan denda Rp1 miliar. Bila tidak dibayar, diganti pidana kurungan selama 6 bulan," kata penuntut koneksitas itu.
Agus Purwoko dituntut berdasarkan dakwaan primer dari Pasal 2 ayat 1 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
"Menetapkan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti kepada Terdakwa I sebesar Rp135.928.217.862,204 dengan memperhitungkan barbuk sebagai pembayaran uang pengganti," tambah penuntut koneksitas.
Jika tidak dibayar paling lama 1 bulan sesudah putusan pengadilan inkrah, lanjut dia, harta bendanya disita dan dilelang oleh jaksa untuk menutupi uang pengganti tersebut. Jika tidak mempunyai harta untuk menutupi uang, dipidana selama 9 tahun dan 3 bulan penjara.
Hal memberatkan, kata dia, perbuatan Terdakwa I Laksda Purn. TNI Agus Purwoto sebagai perwira tinggi tidak memberi contoh teladan dalam bersikap dalam perbuatan selaku prajurit yang bersaptamarga.
"Perbuatan terdakwa I Laksda Purn. TNI Agus Purwoto secara bersama-sama dengan Terdakwa II Arifin Wiguna dan Terdakwa III Surya Cipta Witoelar telah merugikan keuangan negara sebesar Rp453.094.059.540,68," ungkap penuntut koneksitas.
Selain itu, perbuatan Agus Purwoto secara bersama-sama dengan Terdakwa II Arifin Wiguna dan Terdakwa III Surya Cipta Witoelar juga telah bertentangan dengan program pemerintah dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi.
Ia menilai Terdakwa I, Terdakwa II, dan Terdakwa III serta terdakwa Thomas Anthony van der Hayden tidak memberi iktikad baik dalam pengembalian kerugian keuangan negara. Para terdakwa memberikan keterangan berbelit-belit selama persidangan. Mereka juga tidak merasa bersalah dan tidak menyesali perbuatannya.
Sementara itu, hal yang meringankan para terdakwa tidak pernah dihukum.
Dalam perkara ini ada tiga orang terdakwa lain, yaitu Arifin Wiguna selaku Komisaris Utama PT Dini Nusa Kusuma (DNK), Surya Cipta Witoelar sebagai Konsultan Teknologi PT Dini Nusa Kusuma (DNK) periode 2015—2016 dan Direktur Utama PT DNK periode 2016—2020 serta Thomas Anthony van der Hyeden selaku warga negara Amerika Serikat yang menjadi Senior Advior PT DNK periode 2015—2018.
Ketiga terdakwa lain juga dituntut 18,5 tahun penjara ditambah dengan denda sebesar Rp1 miliar subsider pidana kurungan selama 6 bulan.
"Menetapkan pidana tambahan kepada terdakwa Arifin Wiguna dan Surya Cipta Witoelar berupa pembayaran uang pengganti sebesar Rp 113.273.514.885,17 dengan memperhitungkan barang bukti sebagai pembayaran uang pengganti," kata penuntut koneksitas.
Jika tidak dibayar paling lama 1 bulan sesudah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, harta bendanya disita dan dilelang oleh jaksa untuk menutupi uang pengganti tersebut. Dalam hal keduanya tidak mempunyai harta yang mencukupi untuk membayar uang pengganti tersebut, dipidana selama 9 tahun dan 3 bulan penjara.
Thomas Anthony van der Hayden juga dituntut pidana tambahan pembayaran uang pengganti sebesar Rp90.618.811.908.135,00 subsider 9 tahun dan 3 bulan penjara.
Penuntut menilai keempat terdakwa mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp453.094.059.540,68 berdasarkan Laporan Hasil Audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara atas Perkara Dugaan Tindak Pidana Korupsi Proyek Pengadaan Satelit Slot Orbit 123 derajat BT pada Kementerian Pertahanan pada tahun 2012—2021 oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Nomor: PE.03.03/SR-607/D5/02/2022 pada tanggal 12 Agustus 2022.
Perkara ini diawali dengan Satelit Garuda-1 yang mengalami deorbit dari Slot Orbit 123 derajat BT. Pengelolaan satelit tersebut sudah berpindah dari Kementerian Komunikasi dan Informatika kepada Kemenhan.
Agus Purwoto awalnya menyatakan tidak mampu dan tidak berencana untuk pengadaan satelit pada Slot Orbit 123 derajat BT karena Kemenhan tidak mempunyai anggaran dan tidak memiliki tim yang memahami mengenai satelit. Namun, Arifin Wiguna tetap meyakinkan Agus Purwoto untuk mengelola slot orbit 123 derajat BT demi menyelamatkan kedaulatan negara.
Kemenhan menandatangani kontrak dengan perusahaan Avanti Communications Limited pada periode 2016—2018 meski pada kenyataannya satelit Artemis sudah tidak layak untuk digunakan (retired) dan tidak sesuai dengan spesifikasi Satelit Garuda-1.
Sejak 9 Juli 2018, Kemenhan tidak lagi membayar sewa satelit Artemis melalui DIPA Kemenhan sehingga Kemenhan digugat ke Arbitrase International London dan diputuskan wajib membayar Avanti Communications Limited sebesar 19.862.485 dolar AS atau Rp289.654.624.442,00 sehingga Kemenhan menganggarkan kembali pembayaran sewa satelit senilai Rp289.654.624.442,00 dan dibayar ke Avanti Communication Ltd. sebesar Rp453.094.059.540,68.
Selain itu, ditambah kewajiban bayar uang pengganti sebesar Rp135,9 miliar dalam kasus dugaan korupsi pengadaan satelit slot Orbit 123 derajat Bujur Timur (BT).
Tuntutan tersebut disampaikan penuntut koneksitas di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Jumat.
"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Agus Purwoko dengan pidana penjara selama 18 tahun dan 6 bulan dan menjatuhkan denda Rp1 miliar. Bila tidak dibayar, diganti pidana kurungan selama 6 bulan," kata penuntut koneksitas itu.
Agus Purwoko dituntut berdasarkan dakwaan primer dari Pasal 2 ayat 1 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
"Menetapkan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti kepada Terdakwa I sebesar Rp135.928.217.862,204 dengan memperhitungkan barbuk sebagai pembayaran uang pengganti," tambah penuntut koneksitas.
Jika tidak dibayar paling lama 1 bulan sesudah putusan pengadilan inkrah, lanjut dia, harta bendanya disita dan dilelang oleh jaksa untuk menutupi uang pengganti tersebut. Jika tidak mempunyai harta untuk menutupi uang, dipidana selama 9 tahun dan 3 bulan penjara.
Hal memberatkan, kata dia, perbuatan Terdakwa I Laksda Purn. TNI Agus Purwoto sebagai perwira tinggi tidak memberi contoh teladan dalam bersikap dalam perbuatan selaku prajurit yang bersaptamarga.
"Perbuatan terdakwa I Laksda Purn. TNI Agus Purwoto secara bersama-sama dengan Terdakwa II Arifin Wiguna dan Terdakwa III Surya Cipta Witoelar telah merugikan keuangan negara sebesar Rp453.094.059.540,68," ungkap penuntut koneksitas.
Selain itu, perbuatan Agus Purwoto secara bersama-sama dengan Terdakwa II Arifin Wiguna dan Terdakwa III Surya Cipta Witoelar juga telah bertentangan dengan program pemerintah dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi.
Ia menilai Terdakwa I, Terdakwa II, dan Terdakwa III serta terdakwa Thomas Anthony van der Hayden tidak memberi iktikad baik dalam pengembalian kerugian keuangan negara. Para terdakwa memberikan keterangan berbelit-belit selama persidangan. Mereka juga tidak merasa bersalah dan tidak menyesali perbuatannya.
Sementara itu, hal yang meringankan para terdakwa tidak pernah dihukum.
Dalam perkara ini ada tiga orang terdakwa lain, yaitu Arifin Wiguna selaku Komisaris Utama PT Dini Nusa Kusuma (DNK), Surya Cipta Witoelar sebagai Konsultan Teknologi PT Dini Nusa Kusuma (DNK) periode 2015—2016 dan Direktur Utama PT DNK periode 2016—2020 serta Thomas Anthony van der Hyeden selaku warga negara Amerika Serikat yang menjadi Senior Advior PT DNK periode 2015—2018.
Ketiga terdakwa lain juga dituntut 18,5 tahun penjara ditambah dengan denda sebesar Rp1 miliar subsider pidana kurungan selama 6 bulan.
"Menetapkan pidana tambahan kepada terdakwa Arifin Wiguna dan Surya Cipta Witoelar berupa pembayaran uang pengganti sebesar Rp 113.273.514.885,17 dengan memperhitungkan barang bukti sebagai pembayaran uang pengganti," kata penuntut koneksitas.
Jika tidak dibayar paling lama 1 bulan sesudah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, harta bendanya disita dan dilelang oleh jaksa untuk menutupi uang pengganti tersebut. Dalam hal keduanya tidak mempunyai harta yang mencukupi untuk membayar uang pengganti tersebut, dipidana selama 9 tahun dan 3 bulan penjara.
Thomas Anthony van der Hayden juga dituntut pidana tambahan pembayaran uang pengganti sebesar Rp90.618.811.908.135,00 subsider 9 tahun dan 3 bulan penjara.
Penuntut menilai keempat terdakwa mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp453.094.059.540,68 berdasarkan Laporan Hasil Audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara atas Perkara Dugaan Tindak Pidana Korupsi Proyek Pengadaan Satelit Slot Orbit 123 derajat BT pada Kementerian Pertahanan pada tahun 2012—2021 oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Nomor: PE.03.03/SR-607/D5/02/2022 pada tanggal 12 Agustus 2022.
Perkara ini diawali dengan Satelit Garuda-1 yang mengalami deorbit dari Slot Orbit 123 derajat BT. Pengelolaan satelit tersebut sudah berpindah dari Kementerian Komunikasi dan Informatika kepada Kemenhan.
Agus Purwoto awalnya menyatakan tidak mampu dan tidak berencana untuk pengadaan satelit pada Slot Orbit 123 derajat BT karena Kemenhan tidak mempunyai anggaran dan tidak memiliki tim yang memahami mengenai satelit. Namun, Arifin Wiguna tetap meyakinkan Agus Purwoto untuk mengelola slot orbit 123 derajat BT demi menyelamatkan kedaulatan negara.
Kemenhan menandatangani kontrak dengan perusahaan Avanti Communications Limited pada periode 2016—2018 meski pada kenyataannya satelit Artemis sudah tidak layak untuk digunakan (retired) dan tidak sesuai dengan spesifikasi Satelit Garuda-1.
Sejak 9 Juli 2018, Kemenhan tidak lagi membayar sewa satelit Artemis melalui DIPA Kemenhan sehingga Kemenhan digugat ke Arbitrase International London dan diputuskan wajib membayar Avanti Communications Limited sebesar 19.862.485 dolar AS atau Rp289.654.624.442,00 sehingga Kemenhan menganggarkan kembali pembayaran sewa satelit senilai Rp289.654.624.442,00 dan dibayar ke Avanti Communication Ltd. sebesar Rp453.094.059.540,68.