KPK panggil dua saksi terkait kasus suap atas pegawai pajak

id KPK,SUAP PAJAK,WAWAN RIDWAN,ANGIN PRAYITNO AJI,DITJEN PAJAK

KPK panggil dua saksi terkait kasus suap atas pegawai pajak

Pegawai pajak Wawan Ridwan (tengah) yang ditangkap KPK di Sulawesi Selatan tiba di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (11/11/2021) untuk menjalani pemeriksaan. (ANTARA/HO-Humas KPK)

Jakarta (ANTARA) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jumat, memanggil dua saksi dalam penyidikan kasus dugaan suap terkait dengan pemeriksaan perpajakan tahun 2016 dan 2017 pada Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Dua saksi merupakan ahli di DJP, yaitu Arif Budiman dan Ariyanta. Keduanya diperiksa untuk tersangka Wawan Ridwan (WR) selaku Supervisor Tim Pemeriksa Pajak pada Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan DJP atau Kepala Pajak Bantaeng Sulawesi Selatan sampai Mei 2021 dan saat ini menjabat Kepala Bidang Pendaftaran, Ekstensifikasi, dan Penilaian Kanwil DJP Sulawesi Selatan, Barat, dan Tenggara.

"Hari ini, pemeriksaan saksi TPK penerimaan hadiah atau janji terkait dengan pemeriksaan perpajakan tahun 2016 dan 2017 pada Direktorat Jenderal Pajak untuk tersangka WR. Pemeriksaan dilakukan di Gedung KPK," kata Plt Juru Bicara KPK Ipi Maryati Kuding dalam keterangannya di Jakarta, Jumat.

KPK menetapkan Wawan bersama Alfred Simanjuntak (AS) selaku Ketua Tim Pemeriksa pada Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan pada Direktorat Jenderal Pajak atau saat ini menjabat Fungsional Pemeriksa Pajak pada Kanwil DJP Jawa Barat II sebagai tersangka baru kasus tersebut.

Penetapan keduanya sebagai tersangka merupakan pengembangan penyidikan dari kasus yang menjerat mantan Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Ditjen Pajak Angin Prayitno Aji (APA) dan kawan-kawan.

Dalam konstruksi perkara, KPK menyebut tersangka Wawan selaku Supervisor Tim Pemeriksa Pajak pada Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan DJP bersama-sama dengan Alfred atas perintah dan arahan khusus dari Angin dan Dadan Ramdani selaku Kepala Subdirektorat Kerja Sama dan Dukungan Pemeriksaan pada Direktorat Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan perpajakan untuk tiga wajib pajak.

Tiga wajib pajak, yakni PT Gunung Madu Plantations untuk tahun pajak 2016, PT Bank PAN Indonesia Tbk untuk tahun pajak 2016, dan PT Jhonlin Baratama untuk tahun pajak 2016 dan 2017.

Dalam proses pemeriksaan tiga wajib pajak tersebut, KPK menduga ada kesepakatan pemberian sejumlah uang agar nilai penghitungan pajak tidak sebagaimana mestinya dan tentunya memenuhi keinginan dari para wajib pajak tersebut.

Atas hasil pemeriksaan pajak yang telah diatur dan dihitung sedemikian rupa, tersangka Wawan dan Alfred diduga telah menerima uang yang selanjutnya diteruskan kepada Angin dan Dadan.

Pertama, sekitar Januari-Februari 2018 dengan jumlah keseluruhan sebesar Rp15 miliar diserahkan oleh dua konsultan pajak Ryan Ahmad Ronas (RAR) dan Aulia Imran Maghribi (AIM) sebagai perwakilan PT Gunung Madu Plantations.

Kedua, sekitar Pertengahan tahun 2018 sebesar 500 ribu dolar Singapura yang diserahkan oleh Veronika Lindawati (VL) selaku kuasa wajib pajak sebagai perwakilan PT Bank PAN Indonesia Tbk dari total komitmen sebesar Rp25 miliar.

Ketiga, sekitar Juli-September 2019 sebesar total 3 juta dolar Singapura diserahkan oleh Agus Susetyo (AS) selaku konsultan pajak sebagai
perwakilan PT Jhonlin Baratama.

Dari total penerimaan tersebut, KPK menduga tersangka Wawan menerima jatah pembagian sekitar 625 ribu dolar Singapura.

KPK juga menduga tersangka Wawan menerima sejumlah uang dari beberapa wajib pajak lain yang diduga sebagai gratifikasi. Hingga saat ini KPK masih terus mendalami jumlah uang yang diduga diterima Wawan tersebut.

KPK juga telah menyita tanah dan bangunan milik Wawan di Kota Bandung yang diduga diperoleh dari penerimaan-penerimaan uang suap dan gratifikasi terkait pemeriksaan pajak.

Atas perbuatannya, tersangka Wawan disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.