Jakarta (ANTARA) - Beberapa hari terakhir ini, molnupiravir banyak dibicarakan dan digadang-gadang sebagai obat baru yang ampuh untuk COVID-19. Namun, benarkah demikian?
Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof Zullies Ikawati menjelaskan bahwa informasi mengenai obat ini sebenarnya telah beredar sejak bulan Maret hingga April 2020.Obat ini disebut memiliki efek hingga 100 persen saat uji klinis fase tiga. kemudian bila berjalan dengan baik, obat ini disebut-sebut akan tersedia di pasar dalam waktu 4 sampai 5 bulan. Pasien bisa minum obat sendiri di rumah, dan sembuh dalam 5 hari, sehingga sangat nyaman digunakan sama seperti mengobati flu biasa seperti sekarang.
"Sangat menjanjikan bukan? Nah, pada awal Oktober 2021 ini, informasi tentang obat itu kembali mengemuka, setelah perusahaan farmasi Merck melaporkan pada lamannya perkembangan uji klinik obat tersebut, yang disebut-sebut hasilnya cukup menjanjikan," jelas Zullies dalam keterangannya Sabtu.
Lantas apa sebetulnya molnupiravir itu?
Molnupiravir adalah obat antivirus yang awalnya dikembangkan oleh Emory (University) Institute for Drug Discovery (EIDD) dalam rangka penemuan obat untuk Venezuelan equine encephalitis virus.
"Senyawa obat ini merupakan analog nucleoside cytidine, yang dapat menyusup rantai RNA dan menghambat sintesis RNA virus melalui penghambatan enzim RdRp (RNA-dependent RNA Polymerase), yang pada gilirannya menghambat replikasi virus," jelas Zullies.
Uji klinik fase 1 telah dilakukan tahun 2019 untuk aspek keamanannya. Ketika ada pandemi COVID-19, maka obat ini diujikan untuk virus SARS-CoV-2, di mana hasilnya menunjukkan potensi antiviral in vitro dan in vivo.
Dalam perkembangan selanjutnya, EIDD bekerja sama dengan dua perusahaan farmasi besar, "Ridgeback Biotherapeutics" di Jerman dan "Merck" di Amerika Serikat untuk melakukan uji klinik fase 2 dan 3 pada pasien rawat jalan maupun pasien rawat inap di rumah sakit.
Molnupiravir diujikan secara klinis pada pasien rawat inap (nama ujinya MOVe-IN) dan pasien rawat jalan (MOVe-OUT). Namun demikian, uji MOVe-IN telah dihentikan karena hasilnya yang kurang memenuhi harapan.
Selanjutnya diteruskan untuk uji MOVe-OUT, yang menggunakan subyek dengan kriteria terkonfirmasi COVID-19 dengan gejala ringan – sedang yang tidak dirawat di rumah sakit, dengan usia 18 tahun ke atas.
Menurut Clinical Trial, dalam laporan resmi di lamannya, menyebutkan bahwa uji MOVe-OUT dimulai pada tanggal 19 Oktober 2020 dan diharapkan selesai pada 8 November 2021.
Uji ini merencanakan akan merekrut 1.850 orang subyek, yang dilakukan pada 170 tempat penelitian di beberapa negara. Namun, uji klinik saat ini sudah berhenti merekrut subyek setelah mencapai kurang lebih 1.550 subyek, yang berarti lebih dari 90 persen dari rencana, karena dianggap hasilnya sudah cukup baik.
Adapun kriteria efikasi dari obat ini adalah kemampuannya untuk menurunkan risiko perburukan COVID-19 maupun kematian, dibandingkan dengan plasebo.
Data yang tersedia saat ini adalah berasal dari analisis interim atau analisis sementara, yang mengevaluasi data dari 762 pasien yang terdaftar dalam uji MOVe-OUT Fase 3 atau sebelum 5 Agustus 2021.
Hasil analisis interim menunjukkan bahwa molnupiravir dapat mengurangi risiko perburukan COVID-19 yang membutuhkan perawatan di RS dan atau kematian, dalam pengamatan selama 29 hari, sampai kurang lebih 50 persen.
Angka ini diperoleh dari membandingkan persentase subyek yang mengalami perburukan pada kelompok molnupiravir yaitu 7,3 persen (28/385) dengan kelompok plasebo yang mencapai angka 14,1 persen (53/337).
Pada kelompok molnupiravir tidak dijumpai kematian, sedangkan pada kelompok placebo dijumpai 8 kasus kematian akibat COVID-19.
Berdasarkan analisis subkelompok, molnupiravir dapat mengurangi risiko rawat inap dan atau kematian di semua subkelompok utama, kemanjurannya tidak terpengaruh oleh waktu timbulnya gejala atau faktor risiko yang mendasarinya.
Selain itu, berdasarkan identifikasi terhadap macam varian virus yang menginfeksi subyek, terdapat 40 persen subyek yang terindikasi terinfeksi virus varian baru (Gamma, Delta dan Mu), sehingga pihak Merck mengklaim bahwa molnupiravir menunjukkan kemanjuran yang konsisten di seluruh varian virus Gamma, Delta, dan Mu.
Kendati demikian Zullies menegaskan bahwa laporan secara rinci terkait jenis adverse event-nya belum ada, tetapi dilaporkan bahwa insiden kejadian tak diinginkan (adverse event) adalah sebanding pada kelompok molnupiravir dan plasebo (masing-masing 35 persen dan 40 persen).
"Demikian pula, kejadian efek samping terkait obat juga sebanding (12 persen dan 11 persen masing-masing). Bahkan, lebih sedikit subyek yang drop out dari uji klinik akibat adverse event pada kelompok molnupiravir (1,3 persen) dibandingkan dengan kelompok plasebo (3,4 persen)," jelas Zullies.
Mengenai perbandingannya dengan antiviral yang sudah digunakan di Indonesia, Zullies menjelaskan sesuai panduan terapi COVID-19 terbaru (Juli 2021), maka obat antiviral yang digunakan dalam terapi COVID-19 adalah favipiravir atau remdesivir.
"Jika dibandingkan, sebenarnya secara mekanisme aksinya mereka sangat mirip, yaitu bekerja menghambat enzim RNA-dependent RNA polymerase, sehingga dapat diharapkan mereka memiliki potensi yang hampir sama," jelas Zullies.
Hanya saja, Zullies menyebutkan remdesivir hanya dapat diberikan secara intravena (melalui infus) dan secara umum hanya bisa diberikan di RS oleh petugas kesehatan yang berkompeten.
Dengan demikian, remdesivir lebih disasarkan pada mereka yang bergejala berat dan atau tidak bisa menggunakan obat minum. Sementara molnupiravir dan favipiravir, keduanya dapat digunakan secara oral (diminum), dan sasarannya adalah pasien COVID-19 dengan gejala ringan sampai sedang, yang tidak dirawat di rumah sakit.
Untuk durasi pemakaiannya adalah sama yaitu lima hari, dua kali sehari.
Dari protokol uji klinik fase 3, dosis yang digunakan untuk molnupiravir adalah 800 mg setiap 12 jam. Sedangkan untuk favipiravir diperlukan loading dose pada hari pertama yaitu sebanyak 1600 mg setiap 12 jam, dilanjutkan dengan 600 mg per 12 jam pada hari ke 2 sampai 5.
Dengan demikian, jika hasil uji klinik ini bisa diterima oleh badan otoritas obat di Amerika, FDA, maka diperkirakan dapat menjadi alternatif favipiravir yang digunakan saat ini di Indonesia.
"Namun demikian, karena tidak ada uji klinik yang membandingkan langsung head to head antara molnupiravir dengan favipiravir, tidak bisa dinyatakan mana yang lebih paten dari kedua obat tersebut," tegas Zullies.
Terkait dengan penggunaan di Indonesia, Zullies mengatakan pemerintah tampak sudah mulai bergerak untuk pendekatan kepada pabrikan obat ini, namun tentunya perlu menunggu prosedur yang harus dijalani.
"Sebelum digunakan di Indonesia, molnupiravir harus mendapatkan Emergency Use Authorization (EUA) dari BPOM yang akan diajukan oleh industri farmasi pengusungnya. Apakah harus diuji klinik juga di Indonesia, hal itu tergantung dari kebijakan BPOM," jelas Zullies.
Jika data-data dari negara lain sudah dapat diterima, maka tidak harus melakukan uji klinik sendiri di Indonesia. Akan sangat baik jika kemudian industri farmasi di Indonesia dapat memperoleh lisensi untuk memproduksi sendiri di dalam negeri.
Bagaimanapun penemuan dan penelitian molnupiravir sebagai obat COVID-19 sangatlah menggembirakan, dan jika benar kasiatnya efektif menyembuhkan sakit akibat virus corona, ini jelas akan memberikan harapan besar dan juga untuk mengakhiri pandemi ini yang dampaknya luar biasa di segala bidang.