Ikan Dingkis, Hokinya Tionghoa, Juga Nelayan

id Ikan Dingkis, Hokinya Tionghoa, Juga Nelayan

Tujuh hari terakhir di Bulan Januari ini menjadi momen emas bagi nelayan Kepulauan Riau, bagaimana tidak, itulah waktunya ikan dingkis bertelur, ikan yang per kilonya bisa dihargai hingga Rp500.000.
        
Tidak heran jika Muden, nelayan Pulau Labu Kota Batam yang sudah berusia lebih dari 70 tahun tetap semangat turun ke laut, menggapai perairan-perairan dalam mencari ikan dingkis.
        
"Setahun sekali, hanya satu minggu saja. Ini kesempatan," kata Muden.
        
Sebagai orang paling tua di Pulau Labu, Muden mengumpulkan seluruh anak mudanya untuk turun ke laut. Ke tempat yang telah diberi tahu nenek moyang mereka sebagai lokasi berkembangbiaknya ikan dingkis.
        
Karena menurut Muden, ikan dingkis tidak hidup di sembarang perairan.
        
Beruntung, orang tua mereka sudah mengajarkan tempat biasanya ikan dingkis berkumpul. Sebuah warisan pengetahuan yang tidak ternilai harganya.
        
"Kalau tidak diberi tahu orang kami dulu, susah cari dingkis," kata Muden sambil membetulkan pecinya yang mulai miring.
        
Di sekitar Pulau Labu, Kelurahan Batu Legong Kecamatan Bulang ada sembilan lokasi ikan dingkis. Dan di sana, nelayan sudah menyiapkan kelong-kelong untuk menjebak ikan-ikan mahal.
        
Kelong atau keramba untuk menangkap dingkis tidak ubahnya kelong biasa. Terbuat dari kayu-kayu yang ditancapkan di dasar lautan. Kemudian, di antara tiang-tiang itu dipasang jaring-jaring untuk menahan ikan.
        
Tidak ada ritual khusus untuk mendapatkan "si ikan hoki". Hanya sedikit doa sebelum melaut, sebuah doa keselamatan dan doa mendapatkan rezeki yang banyak.
        
Ikan dingkis memiliki ciri-ciri bertubuh pipih lateral yang dilindungi sisik sikloid kecil-kecil, memiliki mulut kecil, rahangnya dilengkapi dengan gigi-gigi yang kecil dan punggungnya dilengkapi duri tajam mengarah ke depan.

        
                     Puluhan juta
   
Dalam waktu emas yang hanya sepekan itu, berton-ton ikan dingkis diangkat dari laut. Menurut Muden, satu nelayan bisa mendapatkan satu ton dingkis, yang nilainya bisa lebih dari Rp10 juta.
        
"Tapi tergantung nasib, ada juga yang dapat Rp2-3 juta. Tapi saya pernah lebih dari Rp10 juta," kata dia.
       
Bahkan nelayan Pulau Akar, Bato (70), mengatakan pernah mengantongi Rp40 juta dari memancing dan mengumpulkan ikan dengan nama latin Siganus canaliculatus itu.
        
Sama seperti Muden, ia pun diwariskan tempat khusus untuk menangkap dingkis dari orang tuanya. "Karena dingkis tidak ada di sembarang tempat. Ada tempat-tempatnya. Kalau sudah di tempatnya, itu bisa dapat banyak," katanya dalam bahasa Melayu.
        
Harga tiap ikan dingkis berberda, dilihat dari banyaknya telur yang dikandungnya.
        
Menurut ilmu yang diwariskan turun temurun oleh keluarga nelayan, ikan dingkis bertelur paling banyak di malam pergantian Tahun China saat perayaan Imlek. Pada saat itu,ikan bisa dihargai hingga Rp500.000 per kg.
        
Pada tiga hari hingga sehari menjelang Imlek, kandungan telur mulai banyak. Dan harganya dihargai hingga Rp100 ribu per kg. Dan pada tujuh hari hingga empat hari menjelang pergantian tahun, ikan dinilai puluhan ribu.
       
Biasanya, nelayan-nelayan pesisir Batam menjual ikan dingkis ke pengumpul. Lalu pengumpul yang menjualnya ke koperasi untuk dibawa ke Batam dan Singapura.
       
Dulu, saat pelayaran Batam-Singapura masih bebas, nelayan langsung menjual ke Negara Singa dengan harga tinggi.
        
"Tapi sekarang sudah tidak bisa lagi. Kapal susah masuk ke Singapura. Jadi harus lewat KUD," kata Bato.

    
                  
Hokinya Tionghoa
   
Mahalnya harga ikan dingkis tidak bisa dipisahkan dari tradisi warga Tionghoa yang tinggal di Kepulauan Riau, Singapura dan Malaysia.
        
Setiap Imlek, sajian berbagai makanan dengan bahan ikan dingkis harus tersaji di meja makan. Jika tidak, maka dipercaya akan membawa sial sepanjang tahun.
       
Tokoh masyarakat Tionghoa Kota Batam Asmin Patros mengatakan ikan dingkis dipercaya membawa simbol rezeki. Ribuan telur yang dikandungnya menandakan banyaknya rezeki yang akan datang.
        
"Ikan dingkis membawa simbol rezeki, karena kalau Imlek, isi badannya banyak telur. Konon, bertelur banyak dimaknai banyak membawa rezeki," kata dia.
        
Di keluarga besar Asmin Patros, ikan dingkis dinikmati saat malam pergantian tahun. Biasanya ikan itu dimasak gulai asam pedas dan digoreng.
        
Kadang, ada juga warga Tionghoa yang suka menyantap ikan dingkis ala steam, bersama bahan-bahan lainnya.
        
"Kalau saya lebih suka digoreng, lebih aman. Karena kalau tidak jago masak, rasanya bisa amis," kata anggota DPRD Batam itu.
        
Ditanya mengenai rasa, menurut Asmin, tidak ubahnya dengan rasa ikan laut yang lain, dagingnya manis.
        
"Yang luar biasa itu telurnya. Karena bisa ada yang seluruh isi perutnya itu telur semua," kata dia bercerita.
        
Tapi, penikmat kuliner harus hati-hati, karena ada juga bagian telur yang lebih berlemak, hingga rasanya membuat eneg.
        
"Kalau bahasa Tio Ciu, itu namanya 'bau', menurut saya itu adalah telur yang gagal. Rasanya eneg, saya kurang suka," kata dia.
        
Dalam perayaan Imlek tahun ini, keluarganya sudah memesan ikan dingkis bertelur banyak. Ikan mahal itu sengaja dipesan dari Dabo, Kabupaten Lingga, Kepri.
        
Ikan dingkis, kata dia, hanya dikonsumsi, tidak digunakan untuk bersembahyang.
        
"Saya pesan dari kampung, harganya masih miring. Istri saya pesan Rp200 ribu per kg. Karena kalau di Batam harganya sudah Rp400 ribu," kata dia.