Bandarlampung (ANTARA) - Mantan Anggota Panitia Seleksi (Pansel) calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Hendardi menilai kecil kemungkinan langkah Bambang Harymurti (BHM) untuk mendukung langkah Peninjauan Kembali (PK) Mardani Maming akan diterima pengadilan.
Bambang, salah satu tokoh pers nasional itu, telah mengajak sejumlah akademisi guna menyurati MA, menjadi amicus curiae atau sahabat pengadilan untuk membela PK terpidana korupsi tersebut.
"Perkara ini (kasus korupsi Mardani Maming) sudah di MA, sudah putus kasasinya ya terus kemudian ada pengajuan PK. Setahu saya sampai sejauh ini, jarang amicus curiae itu diterima oleh pengadilan sebagai suatu pandangan," kata Hendardi dalam pernyataan di Bandarlampung, Rabu.
Ketua Badan Pengurus Setara Institute ini menyebutkan secara pengalaman banyak amicus curiae yang dilakukan oleh banyak pihak terhadap suatu perkara, tidak diterima oleh pengadilan.
"Bahkan seringkali tidak dimasukkan sebagai semacam pandangan hakim. Jadi saya kira tetap adalah pengadilan yang akan menentukan semua ini," tegas Hendardi.
Terkait PK tersebut, Bambang menilai pendapat para ahli hukum serta hasil eksaminasi atas perkara Mardani Maming yang menyatakan terpidana seharusnya bebas harus didengar oleh MA.
"Pendapat para ahli hukum terkemuka dan hasil eksaminasi atas putusan perkara Mardani Maming yang menyatakan terhadap terdakwa seharusnya dinyatakan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, harus diketahui dan didengar oleh MA yang berwenang memutus perkara pada PK," ujarnya.
Pernyataan Bambang itu disampaikan saat menghadiri diskusi dan bedah buku eksaminasi kasus Mardani Maming yang dihadiri para pakar hukum di Yogyakarta pada pekan lalu.
Ia juga mengatakan asas hukum di Indonesia adalah praduga tak bersalah dan beban pembuktian ada di pihak Penuntut Umum.
"Harusnya para ahli hukum dan eksaminator putusan, berani menyusun dan mengirimkan pendapatnya sebagai ahli atau sebagai amicus curiae kepada MA," kata dia.
Sebelumnya, terpidana korupsi Mardani Maming kembali mendaftarkan PK bernomor 784/PAN.PN/W15-U1/HK2.2/IV/2024 pada 6 Juni 2024 kepada MA dengan status saat ini dalam proses pemeriksaan majelis hakim.
Padahal, pengusaha asal Kalimantan Selatan tersebut terbukti menerima suap atas penerbitan SK Pengalihan IUP OP dari PT Bangun Karya Pratama Lestari (BKPL) kepada PT Prolindo Cipta Nusantara (PT PCN) dan telah divonis 10 tahun oleh Pengadilan Negeri (PN) Banjarmasin dengan denda Rp500 juta.
Untuk kasus tersebut, Mardani Maming tidak menerima uang secara langsung, tetapi melalui PT Trans Surya Perkasa (TSP) yang bertugas mengutip fee di pelabuhan milik pengusaha yang mendapatkan IUP tersebut.
Mardani Maming sempat mengajukan proses banding di tingkat pertama pada Pengadilan Tinggi (PT) Banjarmasin serta kasasi ke MA, tetapi keduanya ditolak sepenuhnya oleh majelis hakim.
Untuk proses pengajuan PK terbaru, Komisi Yudisial (KY) telah menyurati pimpinan MA untuk memantau persidangan guna mencegah terjadinya pelanggaran kode etik dari majelis hakim.
Bambang, salah satu tokoh pers nasional itu, telah mengajak sejumlah akademisi guna menyurati MA, menjadi amicus curiae atau sahabat pengadilan untuk membela PK terpidana korupsi tersebut.
"Perkara ini (kasus korupsi Mardani Maming) sudah di MA, sudah putus kasasinya ya terus kemudian ada pengajuan PK. Setahu saya sampai sejauh ini, jarang amicus curiae itu diterima oleh pengadilan sebagai suatu pandangan," kata Hendardi dalam pernyataan di Bandarlampung, Rabu.
Ketua Badan Pengurus Setara Institute ini menyebutkan secara pengalaman banyak amicus curiae yang dilakukan oleh banyak pihak terhadap suatu perkara, tidak diterima oleh pengadilan.
"Bahkan seringkali tidak dimasukkan sebagai semacam pandangan hakim. Jadi saya kira tetap adalah pengadilan yang akan menentukan semua ini," tegas Hendardi.
Terkait PK tersebut, Bambang menilai pendapat para ahli hukum serta hasil eksaminasi atas perkara Mardani Maming yang menyatakan terpidana seharusnya bebas harus didengar oleh MA.
"Pendapat para ahli hukum terkemuka dan hasil eksaminasi atas putusan perkara Mardani Maming yang menyatakan terhadap terdakwa seharusnya dinyatakan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, harus diketahui dan didengar oleh MA yang berwenang memutus perkara pada PK," ujarnya.
Pernyataan Bambang itu disampaikan saat menghadiri diskusi dan bedah buku eksaminasi kasus Mardani Maming yang dihadiri para pakar hukum di Yogyakarta pada pekan lalu.
Ia juga mengatakan asas hukum di Indonesia adalah praduga tak bersalah dan beban pembuktian ada di pihak Penuntut Umum.
"Harusnya para ahli hukum dan eksaminator putusan, berani menyusun dan mengirimkan pendapatnya sebagai ahli atau sebagai amicus curiae kepada MA," kata dia.
Sebelumnya, terpidana korupsi Mardani Maming kembali mendaftarkan PK bernomor 784/PAN.PN/W15-U1/HK2.2/IV/2024 pada 6 Juni 2024 kepada MA dengan status saat ini dalam proses pemeriksaan majelis hakim.
Padahal, pengusaha asal Kalimantan Selatan tersebut terbukti menerima suap atas penerbitan SK Pengalihan IUP OP dari PT Bangun Karya Pratama Lestari (BKPL) kepada PT Prolindo Cipta Nusantara (PT PCN) dan telah divonis 10 tahun oleh Pengadilan Negeri (PN) Banjarmasin dengan denda Rp500 juta.
Untuk kasus tersebut, Mardani Maming tidak menerima uang secara langsung, tetapi melalui PT Trans Surya Perkasa (TSP) yang bertugas mengutip fee di pelabuhan milik pengusaha yang mendapatkan IUP tersebut.
Mardani Maming sempat mengajukan proses banding di tingkat pertama pada Pengadilan Tinggi (PT) Banjarmasin serta kasasi ke MA, tetapi keduanya ditolak sepenuhnya oleh majelis hakim.
Untuk proses pengajuan PK terbaru, Komisi Yudisial (KY) telah menyurati pimpinan MA untuk memantau persidangan guna mencegah terjadinya pelanggaran kode etik dari majelis hakim.