Jakarta (ANTARA) - Bank Indonesia (BI) menargetkan transaksi Repurchase Agreement (Repo) mencapai Rp30 triliun per hari pada 2030 dengan mulai beroperasinya Central Counterparty untuk Pasar Uang dan Valuta Asing (CCP PUVA).
“Lima tahun berdasarkan strategic business plan, akan kita tingkatkan per day dari Rp14 triliun menjadi Rp30 triliun,” kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam acara peluncuran CCP PUVA di Jakarta, Senin.
Perry menuturkan CCP PUVA atau Central Counterparty derivatif suku bunga dan nilai tukar (CCP SBNT) akan mendukung pendalaman pasar uang dan meningkatkan volume transaksi Repo ke depan. Tenor Repo juga akan diperluas menjadi 3 bulan, 6 bulan, 9 bulan dan 12 bulan.
“Repo dalam 10 tahun terakhir rata-rata harian setelah kita bekerja sama dengan industri naik dari di bawah Rp1 triliun hanya beberapa ratus miliar per day, sekarang adalah Rp14 triliun per day,” ujarnya.
Selain itu, BI juga menargetkan ke depan transaksi Domestic Non Deliverable Forward (DNDF) mengalami peningkatan menjadi Rp1 miliar per hari.
“DNDF sekarang per day baru Rp100 juta, dalam lima tahun ayo kita tingkatkan jadi Rp1 billion per day,” ujarnya.
CCP bertindak sebagai lembaga yang menjalankan kliring dan pembaruan utang (novasi) bagi transaksi anggotanya. Dalam melakukan novasi, CCP menempatkan dirinya di antara para pihak yang melakukan transaksi guna memitigasi risiko kredit lawan transaksinya, risiko likuiditas, dan risiko pasar terhadap pergerakan harga di pasar.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar mengatakan OJK telah menerbitkan sejumlah peraturan yang relevan untuk memastikan kesiapan perbankan dan pelaku industri menghadapi implementasi transaksi melalui CCP.
Beberapa diantaranya Peraturan OJK (POJK) 27 Tahun 2002 tentang perubahan terhadap POJK Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum, Surat Edaran OJK 16/2023 tentang Perhitungan Permodalan Untuk Eksposur Bank Terhadap Lembaga Central Counterparty dan surat edaran OJK 17/2023 tentang Persyaratan Margin untuk Transaksi Derivatif yang Tidak Dikliringkan Melalui Lembaga Central Counterparty.
Ketiga regulasi OJK tersebut bertujuan mendukung pelaksanaan Over-the-counter (OTC) derivatives market reforms termasuk implementasi transaksi melalui CCP.
“Ketentuan terkait persyaratan margin untuk transaksi derivatif yang tidak dikliringkan melalui lembaga CCP ini sangat penting dalam memastikan bahwa transaksi derivatif yang tidak dikliringkan melalui CCP tetap dikelola dengan risiko yang terukur,” ujar Mahendra.
Dengan adanya kewajiban margin, risiko gagal bayar atau default pada transaksi bilateral dapat diminimalisasi sehingga dapat menjaga stabilitas pasar.
Selain itu, OJK juga berharap bahwa implementasi persyaratan margin tersebut akan semakin mendorong lebih banyak transaksi yang dikliringkan melalui CCP sebagai insentif dari sisi agunan yang akan diperoleh bank apabila mengkliringkan transaksi derivatif di CCP.
Sementara ketentuan mengenai persyaratan permodalan untuk eksposur bank terhadap CCP memberikan intensif bagi bank yang mengkliringkan transaksinya melalui CCP dengan bobot risiko yang lebih rendah dibandingkan dengan transaksi yang tidak dikliringkan melalui CCP.