Bandarlampung (ANTARA) - Pakar Hukum Universitas Al-Azhar Suparji Ahmad mengatakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa memprioritaskan penanganan kasus biaya denda impor atau demurrage yang menghambat pengadaan pangan melalui impor.
Ia juga menilai penegakan hukum tersebut harus disertai dengan upaya untuk mendorong transparansi impor bidang pangan yang selama ini belum terwujud.
"KPK sebaiknya prioritaskan penyelidikan skandal demurrage karena transparansi kebijakan impor belum terwujud," ujarnya dalam pernyataan di Bandarlampung, Rabu.
Menurut dia, percepatan penyelesaian dari dugaan kasus yang berpotensi merugikan keuangan negara tersebut akan memberikan dampak positif kepada masyarakat.
Ia pun menduga kasus tersebut terjadi karena adanya tata kelola pengadaan beras yang bermasalah atau adanya oknum yang ingin mengambil keuntungan dari impor untuk kepentingan sendiri.
"Keduanya (sistem dan oknum) menjadi penyebab munculnya skandal demurrage Rp294,5 miliar," ujarnya.
Dalam kesempatan terpisah, KPK sempat menyatakan bahwa penanganan penyelidikan kasus dugaan korupsi bisa dilanjutkan ke tahapan penyidikan bila sudah ditemukan bukti-bukti baru.
Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika mengatakan seluruh kasus yang masuk mendapatkan perlakuan yang sama, termasuk laporan atas dugaan biaya denda impor atau demurrage yang sempat dilaporkan beberapa waktu lalu.
"Secara umum periode penanganan perkara di penyelidikan dapat diputuskan dilanjut ke penyidikan," katanya.
Sebelumnya, Studi Demokrasi Rakyat (SDR) melaporkan Perum Bulog dan Bapanas kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Rabu (3/7), atas dugaan penggelembungan harga beras impor dari Vietnam serta kerugian negara akibat demurrage di Pelabuhan.
Meski demikian, belum ada perkembangan lanjutan terkait penanganan kasus tersebut, karena penyelidikan yang dilakukan oleh KPK masih bersifat rahasia.
Dugaan kerugian demurrage senilai Rp294,5 miliar muncul karena impor terhambat oleh dokumen pengadaan impor yang tidak layak dan lengkap, sehingga menimbulkan biaya denda peti kemas di sejumlah wilayah kepabeanan tempat masuknya beras impor.
Sementara itu, Kementerian Perindustrian mencatat adanya sekitar 26.425 peti kemas yang masih tertahan di Pelabuhan Tanjung Priok dan Tanjung Perak. Dari peti kemas tersebut, sebanyak 1.600 diantaranya diduga merupakan beras impor.
Ia juga menilai penegakan hukum tersebut harus disertai dengan upaya untuk mendorong transparansi impor bidang pangan yang selama ini belum terwujud.
"KPK sebaiknya prioritaskan penyelidikan skandal demurrage karena transparansi kebijakan impor belum terwujud," ujarnya dalam pernyataan di Bandarlampung, Rabu.
Menurut dia, percepatan penyelesaian dari dugaan kasus yang berpotensi merugikan keuangan negara tersebut akan memberikan dampak positif kepada masyarakat.
Ia pun menduga kasus tersebut terjadi karena adanya tata kelola pengadaan beras yang bermasalah atau adanya oknum yang ingin mengambil keuntungan dari impor untuk kepentingan sendiri.
"Keduanya (sistem dan oknum) menjadi penyebab munculnya skandal demurrage Rp294,5 miliar," ujarnya.
Dalam kesempatan terpisah, KPK sempat menyatakan bahwa penanganan penyelidikan kasus dugaan korupsi bisa dilanjutkan ke tahapan penyidikan bila sudah ditemukan bukti-bukti baru.
Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika mengatakan seluruh kasus yang masuk mendapatkan perlakuan yang sama, termasuk laporan atas dugaan biaya denda impor atau demurrage yang sempat dilaporkan beberapa waktu lalu.
"Secara umum periode penanganan perkara di penyelidikan dapat diputuskan dilanjut ke penyidikan," katanya.
Sebelumnya, Studi Demokrasi Rakyat (SDR) melaporkan Perum Bulog dan Bapanas kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Rabu (3/7), atas dugaan penggelembungan harga beras impor dari Vietnam serta kerugian negara akibat demurrage di Pelabuhan.
Meski demikian, belum ada perkembangan lanjutan terkait penanganan kasus tersebut, karena penyelidikan yang dilakukan oleh KPK masih bersifat rahasia.
Dugaan kerugian demurrage senilai Rp294,5 miliar muncul karena impor terhambat oleh dokumen pengadaan impor yang tidak layak dan lengkap, sehingga menimbulkan biaya denda peti kemas di sejumlah wilayah kepabeanan tempat masuknya beras impor.
Sementara itu, Kementerian Perindustrian mencatat adanya sekitar 26.425 peti kemas yang masih tertahan di Pelabuhan Tanjung Priok dan Tanjung Perak. Dari peti kemas tersebut, sebanyak 1.600 diantaranya diduga merupakan beras impor.