Bandarlampung (ANTARA) - Kasus petambak udang Karimun Jawa bakal menjatuhkan citra produk udang Indonesia menyusul maraknya isu pencemaran lingkungan terkait budi daya udang, yang terkesan diembuskan secara kurang hati-hati dan bernuansa kriminalisasi.
Ketua Umum Shrimp Club Indonesia (SCI) Haris Muhtadi, pada sebuah diskusi budi daya perikanan dan udang, pada Jumat (19/4) menegaskan, ekspor produk udang Indonesia pada 2023 sudah mencapai lebih dari 1 juta ton dengan nilai ekspor mencapai 3 miliar dolar AS.
Seiring itu, pemerintah berulangkali telah mengungkapkan keinginan untuk menggenjot volume ekspor menjadi dua kalinya hingga 2 juta ton pada 2024.
Namun, Haris Muhtadi mempertanyakan, langkah-langkah yang dilakukan pemerintah kepada para pembudi daya udang, di beberapa lokasi pesisir pantai, terutama di Karimun Jawa, yang justru sangat kontraproduktif dan berpotensi merusak citra udang Indonesia di mata dunia.
Petambak udang di Karimun Jawa, menurut Haris, dituding oleh pemerintah-- melalui aparat Penegak Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLH)-- melakukan pencemaran dan perusakan lingkungan. Tak hanya itu, sambung dia, tudingan yang dilancarkan ke petambak itu juga mengandung kesan sangat tidak proporsional, tidak terukur, serta tidak ilmiah.
“Harap dicatat, sekali kasus pencemaran lingkungan yang terkait dengan budi daya udang dihembuskan, sorotan mata internasional yang memiliki kepentingan dengan ekspor udang asal Indonesia, tidak akan pernah berkedip sekalipun. Di mata internasional, mereka akan menyebut kasus Karimun Jawa sebagai kasus udang Indonesia,” tandas Haris.
Sementara itu, mantan Birokrat Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang kini menjadi praktisi budi daya udang asal Bali, yakni Ir IBM Suastika MSc memaparkan, Indonesia telah mengadopsi international instrument dari FAO tahun 1995 terkait perikanan, yaitu Code of Conduct for Responsible Fisheries dalam kerangka pemanfaatan sumber daya perikanan secara berkelanjutan.
Suastika menegaskan tata kelola budi daya tambak udang selama ini menunjukkan tidak ada masalah dengan proses produksi dan produk budi daya, baik ancaman terhadap lingkungan perairan maupun keamanan pangan.
"Semua negara di dunia yang mengembangkan budi daya udang, kecuali Indonesia, belum ada yang mempersoalkan air buangan tambak sebagai ancaman lingkungan. Indonesia sebagai big blue archipelagic state memiliki sumber daya perairan laut yang sangat besar. Oleh karena itu, tentu sangat kecil peluang aktivitas itu menimbulkan kerusakan. Mengingat, tingkat pemanfaatan yang jauh lebih kecil ketimbang kapasitasnya,” tandas Suastika.
Lantaran itulah, Suastika mengajak semua pihak agar lebih cermat menghitung potensi dan dampak sesungguhnya yang ditimbulkan oleh keberadaan tambak rakyat kepada lingkungan sekitar. Parameter untuk menentukan dampak buangan air tambak yang bisa digunakan sebagai acuan adalah total suspended solid (TSS).
Di mana secara rata-rata, untuk memproduksi 1 ton udang dengan benur 100.000 ekor pada kolam seluas 1.000 M3 dibuang air sebanyak 200 M3 x 80 hari. Dengan volume buangan air sebanyak itu, TSS air buangan rata-rata mencapai 250 miligram/liter dan menghasilkan suspensi yang terbuang sebanyak 250x200x80 yaitu 40 kilogram.
“Kalau luasan permukaan dasar pesisir yang terkena dampak buangan seluas 100 hektare dengan kedalaman rata-rata 5 meter, maka volume air ambien adalah 5000.000m3. Penambahan kadar TSS per 3 bulan = 0,008 ppm. Sedangkan bila semuanya mengendap ke dasar perairan, maka setiap m2 dasar laut menerima 0,04g selama 3 bulan. Coba saja hitung luas laut sekitar Karimun Jawa. Mau produksi 100.000 ton udang sekalipun tidak akan ada pengaruhnya bagi lingkungan,” tandas Suastika.
Pendapat senada disampaikan praktisi budi daya udang asal Sulteng, yakni Hasanuddin Atjo.
Dia juga menandaskan bahwa isu pencemaran lingkungan sangat tidak layak disandangkan ke pundak para petambak udang di manapun, termasuk di Karimun Jawa.
Hasanuddin memandang, selain tuduhan yang dilancarkan oleh pihak Penegak Hukum Kementerian Kelautan dan Perikanan masih sumir, uji sampel pembanding yang dilakukan oleh lembaga lain seperti Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI), Shrimp Club Indoesia (SCI), serta Puslabfor Polri justru tidak menemukan kandungan polutan pada kadar yang membahayakan di perairan Karimun Jawa.
"Jadi isu pencemaran lingkungan yang mengarah pada kriminalisasi petambak udang sangat berbahaya bagi kelangsungan produksi udang secara nasional. Sebanyak 40 persen devisa hasil ekspor perikanan disumbang oleh produk udang. Kita bersaing ketat dengan negara produsen yang lebih kuat yakni, India, Ekuador, dan Vietnam. Saat ini masih ada isu dumping yang dilancarkan Amerika Serikat untuk ekspor udang Indonesia. Jangan sampai, tekanan pasar internasional meluas lagi menjadi isu pencemaran produk laut asal Indonesia,” tandas Atjo.
Sementara itu, Wakil Ketua Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) Budhy Fantigo menandaskan, seluruh asosiasi pelaku dan pembudi daya produk perikanan di Indonesia, MAI, SCI, Forum Udang Indonesia (FUI), serta didukung kalangan akademisi yang terusik hati nuraninya demi menyaksikan proses hukum terhadap para petambak Karimun Jawa, telah menyatakan sepakat untuk mengawal kasus bernuansa kriminalisasi pembudi daya udang ini hingga tuntas.
“Kita sepakat mengawal kasus Karimun Jawa mengingat besarnya ancaman yang dihadapi. Bukan hanya mengancam petambak Karimun Jawa, tapi juga petambak udang seluruh Indonesia, bahkan mengancam juga produk udang dan perikanan lainnya secara nasional di mata internasional,” tandasnya.