Jakarta (ANTARA) - Komisi Pemberantasan Korupsi menahan sembilan tersangka kasus dugaan korupsi tunjangan kinerja (tukin) tahun anggaran 2020 hingga 2022 di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
"Untuk kebutuhan penyidikan, KPK kemudian melakukan penahanan terhadap sembilan orang tersangka dengan masa penahanan pertama untuk 20 hari ke depan terhitung sejak 15 Juni sampai 4 Juli 2023," kata Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri di Jakarta, Kamis.
Para tersangka tersebut ialah Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar/Sub-Bagian Perbendaharaan Priyo Andi Gularso (PAG), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Novian Hari Subagio (NHS), dan staf PPK Lernhard Febian Sirait (LFS).
Selanjutnya, Bendahara Pengeluaran Christa Handayani Pangaribowo (CHP), PPK Haryat Prasetyo (HP), Operator SPM Beni Arianto (BA), Penguji Tagihan Hendi (H), Petugas Pengelolaan Administrasi Belanja Pegawai (PPABP) Rokhmat Annashikhah (RA), dan Pelaksana Verifikasi dan Perekaman Akuntansi Maria Febri Valentine (MFV).
Sedangkan tersangka Abdullah (A) selaku Bendahara Pengeluaran belum ditahan karena masih harus menjalani pemeriksaan kesehatan. Mengenai hal ini, KPK juga sudah berkoordinasi dengan pihak rumah sakit dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Firli menjelaskan konstruksi perkara kasus tersebut berawal ketika Kementerian ESDM merealisasikan pembayaran belanja pegawai berupa tunjangan kinerja (tukin) dengan total sebesar Rp221.924.938.176 selama tahun 2020 hingga 2022.
Selama periode tersebut, para pejabat perbendaharaan serta pegawai lainnya di lingkup Bagian Keuangan Direktorat Jenderal Mineral Kementerian ESDM, yakni tersangka LFS dan kawan-kawan yang berjumlah 10 orang, diduga telah memanipulasi dan menerima pembayaran tunjangan kinerja yang tidak sesuai ketentuan.Proses pengajuan anggarannya diduga tidak disertai dengan data dan dokumen pendukung, serta melakukan sejumlah manipulasi, seperti pengondisian daftar rekapitulasi pembayaran dan daftar nominatif, katanya.
Tersangka PAG juga meminta kepada LFS agar "dana diolah untuk kita-kita dan aman", kemudian "menyisipkan" nominal tertentu kepada 10 orang secara acak dan pembayaran ganda atau lebih kepada 10 orang yang telah ditentukan. Akibat manipulasi tersebut, jumlah tunjangan kinerja yang seharusnya dibayarkan naik dari Rp1.399.928.153 menjadi Rp29.003.205.373.
Selisih pembayaran sebesar Rp27.603.277.720 tersebut diduga diterima dan dinikmati oleh para tersangka dan diduga digunakan untuk pemeriksa BPK RI sejumlah sekitar Rp1,035 miliar, dana taktis untuk operasional kegiatan kantor, keperluan pribadi seperti kerja sama umroh, sumbangan nikah, THR, pengobatan, serta pembelian aset berupa tanah, rumah, indoor volley, mes atlet, kendaraan, serta logam mulia.
Akibat penyimpangan tersebut, negara mengalami kerugian sekitar Rp27,6 miliar.
KPK kemudian melakukan pemulihan aset dan hingga saat ini telah menerima pengembalian uang sebesar Rp5,7 miliar serta logam mulia seberat 45 gram dari para tersangka.
Atas perbuatannya, para tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
"Untuk kebutuhan penyidikan, KPK kemudian melakukan penahanan terhadap sembilan orang tersangka dengan masa penahanan pertama untuk 20 hari ke depan terhitung sejak 15 Juni sampai 4 Juli 2023," kata Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri di Jakarta, Kamis.
Para tersangka tersebut ialah Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar/Sub-Bagian Perbendaharaan Priyo Andi Gularso (PAG), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Novian Hari Subagio (NHS), dan staf PPK Lernhard Febian Sirait (LFS).
Selanjutnya, Bendahara Pengeluaran Christa Handayani Pangaribowo (CHP), PPK Haryat Prasetyo (HP), Operator SPM Beni Arianto (BA), Penguji Tagihan Hendi (H), Petugas Pengelolaan Administrasi Belanja Pegawai (PPABP) Rokhmat Annashikhah (RA), dan Pelaksana Verifikasi dan Perekaman Akuntansi Maria Febri Valentine (MFV).
Sedangkan tersangka Abdullah (A) selaku Bendahara Pengeluaran belum ditahan karena masih harus menjalani pemeriksaan kesehatan. Mengenai hal ini, KPK juga sudah berkoordinasi dengan pihak rumah sakit dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Firli menjelaskan konstruksi perkara kasus tersebut berawal ketika Kementerian ESDM merealisasikan pembayaran belanja pegawai berupa tunjangan kinerja (tukin) dengan total sebesar Rp221.924.938.176 selama tahun 2020 hingga 2022.
Selama periode tersebut, para pejabat perbendaharaan serta pegawai lainnya di lingkup Bagian Keuangan Direktorat Jenderal Mineral Kementerian ESDM, yakni tersangka LFS dan kawan-kawan yang berjumlah 10 orang, diduga telah memanipulasi dan menerima pembayaran tunjangan kinerja yang tidak sesuai ketentuan.Proses pengajuan anggarannya diduga tidak disertai dengan data dan dokumen pendukung, serta melakukan sejumlah manipulasi, seperti pengondisian daftar rekapitulasi pembayaran dan daftar nominatif, katanya.
Tersangka PAG juga meminta kepada LFS agar "dana diolah untuk kita-kita dan aman", kemudian "menyisipkan" nominal tertentu kepada 10 orang secara acak dan pembayaran ganda atau lebih kepada 10 orang yang telah ditentukan. Akibat manipulasi tersebut, jumlah tunjangan kinerja yang seharusnya dibayarkan naik dari Rp1.399.928.153 menjadi Rp29.003.205.373.
Selisih pembayaran sebesar Rp27.603.277.720 tersebut diduga diterima dan dinikmati oleh para tersangka dan diduga digunakan untuk pemeriksa BPK RI sejumlah sekitar Rp1,035 miliar, dana taktis untuk operasional kegiatan kantor, keperluan pribadi seperti kerja sama umroh, sumbangan nikah, THR, pengobatan, serta pembelian aset berupa tanah, rumah, indoor volley, mes atlet, kendaraan, serta logam mulia.
Akibat penyimpangan tersebut, negara mengalami kerugian sekitar Rp27,6 miliar.
KPK kemudian melakukan pemulihan aset dan hingga saat ini telah menerima pengembalian uang sebesar Rp5,7 miliar serta logam mulia seberat 45 gram dari para tersangka.
Atas perbuatannya, para tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.