Bandarlampung (ANTARA) - Akademisi dari Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Intan Lampung Dr Fathul Mu’in MHI mengatakan bahwa penundaan pemilu hanya bisa dilakukan saat situasi dan kondisi negara luar biasa.

"Penundaan pemilu hanya bisa dilakukan apabila situasi kondisi tak memungkinkan. Misalnya, karena bencana alam, atau hal lainnya," kata Fathul Mu'in yang juga peneliti Lampung Democracy Studies, di Bandarlampung, Jumat.

Menurutnya, putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terkait penundaan penyelenggaraan Pemilu 2024 sangat tidak masuk akal dan melampaui kewenangannya, sehingga putusannya tidak perlu dilaksanakan.

“Putusan hakim sangat aneh dan di luar kewajaran, karena tidak punya kompetensi untuk menunda pemilu, serta putusannya pun tidak punya dasar sehingga tidak bisa dilaksanakan," ujarnya lagi.

Sekretaris Program Studi Hukum Tata Negara UIN Raden Intan Lampung tersebut juga menjelaskan, dalam skema penegakan hukum pemilu di Indonesia, penyelesaian sengketa masalah verifikasi partai politik tidak melalui pengadilan negeri, melainkan lewat Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) atau melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

“Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengatur bahwa penyelesaian masalah pendaftaran dan verifikasi partai politik bisa dilakukan di dua lembaga tersebut," kata dia pula. Sehingga, putusan PN Jakpus itu dinilai tidak masuk akal, bahkan menyalahi kompetensi absolut dalam sistem keadilan pemilu.

“Menurut saya, hakim menyalahi kompetensi absolut, sehingga putusannya tidak bisa dieksekusi,” katanya lagi.

Sebelumnya, pada Kamis (2/3), Majelis Hakim PN Jakpus mengabulkan gugatan Partai Prima terhadap KPU untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 dan melaksanakan tahapan pemilu dari awal selama kurang lebih 2 tahun 4 bulan 7 hari.
 
“Menghukum tergugat (KPU) untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan pemilihan umum dari awal selama lebih kurang 2 tahun 4 bulan 7 hari,” ujar majelis hakim yang diketuai oleh Oyong, dikutip dari putusan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst.

Dalam pertimbangannya, majelis hakim memerintahkan KPU untuk tidak melanjutkan sisa tahapan Pemilu 2024 guna memulihkan dan menciptakan keadaan yang adil serta melindungi agar sedini mungkin tidak terjadi lagi kejadian-kejadian lain akibat kesalahan, ketidakcermatan, ketidaktelitian, ketidakprofesionalan, dan ketidakadilan yang dilakukan KPU sebagai pihak tergugat.
 
Selain itu, majelis hakim juga menyatakan fakta-fakta hukum telah membuktikan terjadi kondisi error pada Sistem Informasi Partai Politik (Sipol) yang disebabkan oleh faktor kualitas alat yang digunakan atau faktor di luar prasarana.
 
Hal tersebut terjadi saat Partai Prima mengalami kesulitan dalam menyampaikan perbaikan data peserta partai politik ke dalam Sipol yang mengalami error pada sistem. Tanpa adanya toleransi atas apa yang terjadi tersebut, KPU menetapkan status Partai Prima tidak memenuhi syarat (TMS) sebagai parpol peserta Pemilu 2024.
Baca juga: Puan sebut polemik penundaan Pemilu harus diakhiri
Baca juga: Mahfud MD: Tak ada penundaan Pemilu 2024

Pewarta : Dian Hadiyatna
Editor : Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2024