Kasongan (ANTARA) - Ketua Pengadilan Agama Kelas II Kasongan Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah, Norhadi mengatakan selama pandemi COVID-19 angka perceraian di daerah setempat mengalami peningkatan hingga 30 persen.
"Selama pandemi COVID-19 angka perceraian per bulan 14-26 atau rata-rata 195 kasus per tahun. Angka ini meningkat hingga 30 persen dari sebelumnya yang hanya 11-20 perbulan atau rata-rata 150 per tahunnya," katanya melalui Panitera Muhamad Aini di Kasongan, Selasa.
Dia menjelaskan dari berkas pengajuan perceraian yang masuk terdapat empat faktor dominan penyebab perceraian, pertama masalah ekonomi rumah tangga seperti suami tidak bertanggung jawab sebagai kepala rumah tangga terutama untuk memenuhi keperluan rumah tangga.
Kedua, salah satu pasangan memiliki sifat yang tidak baik seperti penjudi, pemabuk, peminum, pemakai obat-obatan terlarang/narkoba dan sedang di penjara. Ketiga terjadi perselingkuhan. Keempat karena perselisihan dan pertengkaran terus-menerus sampai terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
"Pasangan yang mengajukan perceraian didominasi berusia 25-30 tahun dan dominan si istri yang minta cerai. Sampai saat ini angka perceraian di Kasongan dan Tumbang Samba yang tertinggi di Katingan," ucapnya.
Pria asal Kandangan Kalimantan Selatan itu membeberkan, perkara yang diterima Pengadilan Agama Kasongan dari Januari sampai Mei 2022 berjumlah 82 perkara. Rinciannya perkara Cerai Gugat (yang diajukan oleh pihak isteri) berjumlah 51, Cerai Talak (yang diajukan poleh pihak suami) sebanyak 9 perkara.
Kemudian gugatan pembagian harta bersama 1 perkara, Isbat Nikah (pengesahan nikah) 14 perkara, Dispensasi Kawin 5 perkara, Perwalian 1 perkara dan Pencabutan Penolakan Kawin 1 perkara, perkara ini terjadi disebabkan orang tua tidak setuju atas rencana pernikahan pihak pemohon atau anak.
Dia menerangkan dalam kasus perceraian biasanya sebelum disidang, pihak tergugat dan pengugat akan mengikuti mediasi. Jika di dalam mediasi tidak menemui titik temu maka sidang berlanjut hingga akhirnya keputusan.
“Kalau dimediasi ada titik terang maka akan dibuat akta perdamaian dan tidak ada perceraian. Kalau ini yang terjadi ada rasa kebanggaan tersendiri bagi kami karena bisa mendamaikan sekaligus menyelamatkan rumah tangga orang lain,” tuturnya.
Lebih lanjut dia menjelaskan pada saat ini perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun. Hal itu merupakan amanat Pasal 7 Undang Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan.
Aturan itu terbit guna menghindari risiko yang akan dialami pasangan di bawah umur di antaranya akan terhentinya pendidikan, belum siapnya organ reproduksi anak, dampak ekonomi sosial dan psikologi anak yang labil, hingga berpotensi besar terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.
"Selama pandemi COVID-19 angka perceraian per bulan 14-26 atau rata-rata 195 kasus per tahun. Angka ini meningkat hingga 30 persen dari sebelumnya yang hanya 11-20 perbulan atau rata-rata 150 per tahunnya," katanya melalui Panitera Muhamad Aini di Kasongan, Selasa.
Dia menjelaskan dari berkas pengajuan perceraian yang masuk terdapat empat faktor dominan penyebab perceraian, pertama masalah ekonomi rumah tangga seperti suami tidak bertanggung jawab sebagai kepala rumah tangga terutama untuk memenuhi keperluan rumah tangga.
Kedua, salah satu pasangan memiliki sifat yang tidak baik seperti penjudi, pemabuk, peminum, pemakai obat-obatan terlarang/narkoba dan sedang di penjara. Ketiga terjadi perselingkuhan. Keempat karena perselisihan dan pertengkaran terus-menerus sampai terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
"Pasangan yang mengajukan perceraian didominasi berusia 25-30 tahun dan dominan si istri yang minta cerai. Sampai saat ini angka perceraian di Kasongan dan Tumbang Samba yang tertinggi di Katingan," ucapnya.
Pria asal Kandangan Kalimantan Selatan itu membeberkan, perkara yang diterima Pengadilan Agama Kasongan dari Januari sampai Mei 2022 berjumlah 82 perkara. Rinciannya perkara Cerai Gugat (yang diajukan oleh pihak isteri) berjumlah 51, Cerai Talak (yang diajukan poleh pihak suami) sebanyak 9 perkara.
Kemudian gugatan pembagian harta bersama 1 perkara, Isbat Nikah (pengesahan nikah) 14 perkara, Dispensasi Kawin 5 perkara, Perwalian 1 perkara dan Pencabutan Penolakan Kawin 1 perkara, perkara ini terjadi disebabkan orang tua tidak setuju atas rencana pernikahan pihak pemohon atau anak.
Dia menerangkan dalam kasus perceraian biasanya sebelum disidang, pihak tergugat dan pengugat akan mengikuti mediasi. Jika di dalam mediasi tidak menemui titik temu maka sidang berlanjut hingga akhirnya keputusan.
“Kalau dimediasi ada titik terang maka akan dibuat akta perdamaian dan tidak ada perceraian. Kalau ini yang terjadi ada rasa kebanggaan tersendiri bagi kami karena bisa mendamaikan sekaligus menyelamatkan rumah tangga orang lain,” tuturnya.
Lebih lanjut dia menjelaskan pada saat ini perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun. Hal itu merupakan amanat Pasal 7 Undang Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan.
Aturan itu terbit guna menghindari risiko yang akan dialami pasangan di bawah umur di antaranya akan terhentinya pendidikan, belum siapnya organ reproduksi anak, dampak ekonomi sosial dan psikologi anak yang labil, hingga berpotensi besar terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.