Jakarta (ANTARA) - Ketua Umum Yayasan Konsumen Muslim Indonesia (YKMI) Ahmad Himawan menilai tayangan media di Indonesia telah masuk ranah darurat pornografi.
"Masih banyak sekali tayangan di media televisi dan konten di media sosial yang berbau pornografi dan pornoaksi bebas berseliweran tanpa tindakan apapun atas hal tersebut," kata Ahmad Himawan dalam keterangan tertulis di Jakarta, Sabtu.
Apalagi, kata dia, selama Ramadan 1443 Hijriah, pihaknya mencatat sejumlah tayangan di media televisi yang berbau pelanggaran atas Undang-Undang Pornografi dan melanggar Fatwa MUI tentang pornografi dan pornoaksi.
Ia juga menyoroti lembaga yang berwenang, seperti Komisi Penyiaran Indonesia dan aparat penegak hukum, seolah diam dalam melihat hal tersebut.
"Seolah negara tidak hadir dalam merebaknya tayangan berbau pornografi dan perbuatan yang cenderung asusila yang berpotensi merusak moral bangsa," katanya menegaskan.
Menurut dia, media sosial menjadi tempat yang menayangkan konten berbau pornografi dan pornoaksi yang lebih nyata.
Selain itu, Fatwa MUI Nomor 287 Tahun 2001 tentang Pornografi dan Pornoaksi telah menegaskan tentang definisi perilaku pornografi dan pornoaksi yang diharamkan dalam Islam.
"Fatwa MUI telah memberikan status haram pada berbagai perilaku pornografi dan pornoaksi, yang menjadi rekomendasi bagi instansi terkait. Akan tetapi, masih tidak diindahkan," katanya.
Selain itu, Himawan juga menambahkan, adanya ketidaksinkronan antara UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dan Fatwa MUI No. 287 Tahun 2001 tentang Pornografi dan Pornoaksi.
"Perbedaannya sangat besar sekali, terutama dalam mendefinisikan tentang pornografi, ini berdampak pada merugikan umat Islam sebagai konsumen terbesar di Indonesia,” katanya.
Dalam UU Pornografi, kata dia, definisi pornografi sangat sempit hanya sebatas pada perilaku yang bersifat seksualitas atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan.
"Ini tafsirnya sangat sempit sekali karena pornografi dimaknai sebatas urusan yang berbau dengan alat kelamin dan seksualitas belaka," ungkapnya.
Sementara itu, merujuk Fatwa MUI Tahun 2001, definisi pornografi sangat luas sehingga banyak sekali pihak yang bisa dimintai pertanggungjawaban secara hukum atas pelanggaran tersebut.
"Perlu ada sinkronisasi definisi pornografi dalam UU di Indonesia agar tidak merugikan umat Islam," ujarnya.
Dia menegaskan, YKMI, ke depan akan melakukan penelitian, dan langkah-langkah hukum yang diperlukan untuk melakukan sinkronisasi definisi pornografi tersebut agar tidak merugikan umat Islam sebagai konsumen terbesar di Indonesia.
"Masih banyak sekali tayangan di media televisi dan konten di media sosial yang berbau pornografi dan pornoaksi bebas berseliweran tanpa tindakan apapun atas hal tersebut," kata Ahmad Himawan dalam keterangan tertulis di Jakarta, Sabtu.
Apalagi, kata dia, selama Ramadan 1443 Hijriah, pihaknya mencatat sejumlah tayangan di media televisi yang berbau pelanggaran atas Undang-Undang Pornografi dan melanggar Fatwa MUI tentang pornografi dan pornoaksi.
Ia juga menyoroti lembaga yang berwenang, seperti Komisi Penyiaran Indonesia dan aparat penegak hukum, seolah diam dalam melihat hal tersebut.
"Seolah negara tidak hadir dalam merebaknya tayangan berbau pornografi dan perbuatan yang cenderung asusila yang berpotensi merusak moral bangsa," katanya menegaskan.
Menurut dia, media sosial menjadi tempat yang menayangkan konten berbau pornografi dan pornoaksi yang lebih nyata.
Selain itu, Fatwa MUI Nomor 287 Tahun 2001 tentang Pornografi dan Pornoaksi telah menegaskan tentang definisi perilaku pornografi dan pornoaksi yang diharamkan dalam Islam.
"Fatwa MUI telah memberikan status haram pada berbagai perilaku pornografi dan pornoaksi, yang menjadi rekomendasi bagi instansi terkait. Akan tetapi, masih tidak diindahkan," katanya.
Selain itu, Himawan juga menambahkan, adanya ketidaksinkronan antara UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dan Fatwa MUI No. 287 Tahun 2001 tentang Pornografi dan Pornoaksi.
"Perbedaannya sangat besar sekali, terutama dalam mendefinisikan tentang pornografi, ini berdampak pada merugikan umat Islam sebagai konsumen terbesar di Indonesia,” katanya.
Dalam UU Pornografi, kata dia, definisi pornografi sangat sempit hanya sebatas pada perilaku yang bersifat seksualitas atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan.
"Ini tafsirnya sangat sempit sekali karena pornografi dimaknai sebatas urusan yang berbau dengan alat kelamin dan seksualitas belaka," ungkapnya.
Sementara itu, merujuk Fatwa MUI Tahun 2001, definisi pornografi sangat luas sehingga banyak sekali pihak yang bisa dimintai pertanggungjawaban secara hukum atas pelanggaran tersebut.
"Perlu ada sinkronisasi definisi pornografi dalam UU di Indonesia agar tidak merugikan umat Islam," ujarnya.
Dia menegaskan, YKMI, ke depan akan melakukan penelitian, dan langkah-langkah hukum yang diperlukan untuk melakukan sinkronisasi definisi pornografi tersebut agar tidak merugikan umat Islam sebagai konsumen terbesar di Indonesia.