Surabaya (ANTARA) - Anggota Komisi VI DPR RI yang membidangi masalah perdagangan Mufti Anam mendukung penuh aparat penegak hukum mengusut tuntas kasus minyak goreng, karena sudah menyusahkan masyarakat.
"Bagaimana mungkin ketika rakyat susah mendapatkan minyak goreng, ternyata otoritas yang berwenang malah menyalahgunakan wewenang-nya," kata Mufti dikonfirmasi dari Surabaya, Rabu malam.
Mufti menyoroti penetapan Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan sebagai tersangka dalam kasus minyak goreng, hal ini sebagai bahan evaluasi yang penting bagi Mendag dan jajarannya.
Baca juga: Pengamat: Kasus mafia minyak goreng bisa jadi kejahatan korporasi
"Ini juga menjadi tamparan keras bagi Mendag dan jajaran Kemendag. Lembaga yang seharusnya ada di garda terdepan memastikan semua kebijakan, ternyata ada dugaan menyalahgunakan wewenang," ujar Mufti.
Kasus ini, kata dia, harus menjadi catatan penting bagi Mendag bahwa selama ini proses bisnis di lembaganya diduga disalahgunakan. "Mendag harus berani melakukan perubahan radikal," kata politisi PDI Perjuangan itu.
Ia mengatakan, Indonesia adalah produsen CPO terbesar, yakni sekitar 33 persen pasokan CPO dunia datang dari Indonesia, namun rakyat berbulan-bulan menghadapi kelangkaan pasokan minyak goreng.
"Ironi yang tercipta ini karena penyalahgunaan wewenang seperti tercermin di kasus Dirjen ini," ucap dia.
Mufti berharap kasus ini menjadi momentum untuk menertibkan tata kelola perdagangan komoditas bahan pokok secara total.
"Ini kan seperti cerita yang berulang. Sebelumnya ada juga kasus terkait komoditas lain, ada gula dan sebagainya. Aparat penegak hukum dan kementerian terkait harus bersinergi membuat tata kelola komoditas bahan pokok ini menjadi lebih baik," tuturnya.
Baca juga: KPK apresiasi Kejagung tetapkan TSK kasus ekspor minyak goreng
Seperti diketahui, Kejagung telah menetapkan empat tersangka dalam kasus minyak goreng, yaitu Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag (IWW) dan tiga dari swasta (Permata Hijau Group, Wilmar Nabati, PT Musim Mas).
Mereka dijerat melanggar UU 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan dan Keputusan Mendag Nomor 129 juncto nomor 170 Tahun 2022 tentang penetapan jumlah untuk distribusi kebutuhan dalam negeri dan harga penjualan dalam negeri.
"Bagaimana mungkin ketika rakyat susah mendapatkan minyak goreng, ternyata otoritas yang berwenang malah menyalahgunakan wewenang-nya," kata Mufti dikonfirmasi dari Surabaya, Rabu malam.
Mufti menyoroti penetapan Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan sebagai tersangka dalam kasus minyak goreng, hal ini sebagai bahan evaluasi yang penting bagi Mendag dan jajarannya.
Baca juga: Pengamat: Kasus mafia minyak goreng bisa jadi kejahatan korporasi
"Ini juga menjadi tamparan keras bagi Mendag dan jajaran Kemendag. Lembaga yang seharusnya ada di garda terdepan memastikan semua kebijakan, ternyata ada dugaan menyalahgunakan wewenang," ujar Mufti.
Kasus ini, kata dia, harus menjadi catatan penting bagi Mendag bahwa selama ini proses bisnis di lembaganya diduga disalahgunakan. "Mendag harus berani melakukan perubahan radikal," kata politisi PDI Perjuangan itu.
Ia mengatakan, Indonesia adalah produsen CPO terbesar, yakni sekitar 33 persen pasokan CPO dunia datang dari Indonesia, namun rakyat berbulan-bulan menghadapi kelangkaan pasokan minyak goreng.
"Ironi yang tercipta ini karena penyalahgunaan wewenang seperti tercermin di kasus Dirjen ini," ucap dia.
Mufti berharap kasus ini menjadi momentum untuk menertibkan tata kelola perdagangan komoditas bahan pokok secara total.
"Ini kan seperti cerita yang berulang. Sebelumnya ada juga kasus terkait komoditas lain, ada gula dan sebagainya. Aparat penegak hukum dan kementerian terkait harus bersinergi membuat tata kelola komoditas bahan pokok ini menjadi lebih baik," tuturnya.
Baca juga: KPK apresiasi Kejagung tetapkan TSK kasus ekspor minyak goreng
Seperti diketahui, Kejagung telah menetapkan empat tersangka dalam kasus minyak goreng, yaitu Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag (IWW) dan tiga dari swasta (Permata Hijau Group, Wilmar Nabati, PT Musim Mas).
Mereka dijerat melanggar UU 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan dan Keputusan Mendag Nomor 129 juncto nomor 170 Tahun 2022 tentang penetapan jumlah untuk distribusi kebutuhan dalam negeri dan harga penjualan dalam negeri.