Sumatera Selatan (ANTARA) - Terdakwa Suhandy selaku Direktur PT Selaras Simpati Nusantara mengaku telah memberikan suap kepada Bupati nonaktif Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan (Sumsel) nonaktif Dodi Reza Alex beserta pejabat di Dinas PUPR kabupaten ini.
Pengakuan tersebut disampaikan Suhandy yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam sidang pembuktian kasus dugaan pemberian suap kepada Bupati Dodi Reza Alex terkait empat proyek infrastruktur di Dinas PUPR Musi Banyuasin tahun 2021, di Pengadilan Negeri Palembang, Kamis.
Terdakwa Suhandy mengatakan, untuk memenangkan empat paket proyek infrastruktur yang total pengerjaannya senilai Rp20 miliar tersebut, ia harus memberikan komitmen fee (suap) yang sebelumnya sudah ditetapkan.
Adapun pembagian komitmen fee tersebut masing-masing senilai 10 persen untuk Bupati nonaktif Dodi Reza Alex, 3-5 persen untuk Kepala Dinas PUPR nonaktif Herman Mayori, 2-3 persen untuk Kepala Bidang SDA/PPK Dinas PUPR nonaktif Eddi Umari.
Kemudian, tiga persen untuk ULP, satu persen untuk PPTK Dian Pratama dan Frans Sapta Edwar dan bagian administrasi lain termasuk bendahara.
Baca juga: Polda Sumsel selidiki aliran dana korupsi Bupati Muba ke internasl Polri
"Itu benar kalau saya tidak ngasih feenya ya saya nggak bisa dapat proyek di sana," kata terdakwa Suhandy di hadapan majelis hakim yang diketuai Hakim Abdul Aziz.
Menurut Suhandy, komitmen fee tersebut diserahkannya secara bertahap sesuai permintaan dari pihak terkait tersebut sebelum pelelangan proyek dimulai. Dimulai pada Maret 2020, katanya, ia memberikan fee untuk Dodi Reza senilai Rp2 miliar dan kemudian senilai Rp600 juta.
Pemberian tersebut diberikan setelah sebelumnya dimintakan oleh Eddi Umari selaku pihak yang mengatur pemberian komitmen fee dalam proyek yang bakal dikerjakan, hingga akhirnya proyek tersebut berhasil dimenangkan Suhandy.
"Setelah itu komitmen fee untuk mereka yang lain," ujarnya menjawab pertanyaan JPU KPK.
Penyerahan fee terakhir, kata dia, yakni senilai Rp250 juta yang didapat dalam operasi tangkap tangan (OTT). Uang tersebut diserahkannya setelah ada permintaan dari Herman Mayori melalui Eddi Umari.
Setelah keterangan terdakwa Suhandy dinilai cukup oleh semua peserta sidang, majelis hakim menutup persidangan tersebut dan bakal dilanjutkan kembali pada Kamis (17/2) pekan depan, dengan agenda pembacaan penuntutan dari JPU KPK.
Baca juga: Bupati Muba nonaktif disebut terima suap Rp1,5 miliar dari Suhandy
Sebelumnya, dalam kasus tersebut terdakwa Suhandy didakwa JPU KPK telah memberikan "fee" senilai Rp4,4 miliar. Masing-masing kepada Bupati Musi Banyuasin nonaktif Dodi Reza Alex melalui Herman Mayori selaku Kepala Dinas PUPR, Eddi Umari selaku Kepala Bidang SDA/PPK Dinas PUPR, yang pembagiannya berdasarkan persentase yang sudah disepakati tadi.
Setelah Suhandy sepakat dengan komitmen fee tersebut, maka kemudian Dinas PUPR Musi Banyuasin melakukan penandatanganan kontrak untuk ditetapkannya Suhandy sebagai pemenang empat proyek itu sekitar Maret-April 2021.
Empat proyek tersebut adalah Rehabilitasi Daerah Irigasi Ngulak III (IDPMIP) di Desa Ngulak III, Kecamatan Sanga dengan nilai kontrak Rp2,39 miliar, peningkatan jaringan irigasi Daerah Irigasi Rawa (DIR) Epil dengan nilai kontrak Rp4,3 miliar, peningkatan jaringan irigasi (DIR) Muara Teladan dengan nilai kontrak Rp3,3 miliar dan normalisasi Danau Ulak Ria Kecamatan Sekayu dengan nilai kontrak Rp9,9 miliar.
Dalam perjalanannya dari empat proyek tersebut di antaranya Danau Ulak Ria dan Irigasi Ngulak III yang selesai lebih dulu, sedangkan dua lainnya belum selesai sampai saat ini.
Atas perbuatannya tersebut, Suhandy selaku pemberi suap disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Sedangkan Dodi Reza Alex, Herman Mayori, Eddi Umari yang diduga menerima suap dari Suhandy itu ditetapkan sebagai tersangka dengan disangkakan melanggar Pasal 12 huruf (a) atau Pasal 12 huruf (b) atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Pengakuan tersebut disampaikan Suhandy yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam sidang pembuktian kasus dugaan pemberian suap kepada Bupati Dodi Reza Alex terkait empat proyek infrastruktur di Dinas PUPR Musi Banyuasin tahun 2021, di Pengadilan Negeri Palembang, Kamis.
Terdakwa Suhandy mengatakan, untuk memenangkan empat paket proyek infrastruktur yang total pengerjaannya senilai Rp20 miliar tersebut, ia harus memberikan komitmen fee (suap) yang sebelumnya sudah ditetapkan.
Adapun pembagian komitmen fee tersebut masing-masing senilai 10 persen untuk Bupati nonaktif Dodi Reza Alex, 3-5 persen untuk Kepala Dinas PUPR nonaktif Herman Mayori, 2-3 persen untuk Kepala Bidang SDA/PPK Dinas PUPR nonaktif Eddi Umari.
Kemudian, tiga persen untuk ULP, satu persen untuk PPTK Dian Pratama dan Frans Sapta Edwar dan bagian administrasi lain termasuk bendahara.
Baca juga: Polda Sumsel selidiki aliran dana korupsi Bupati Muba ke internasl Polri
"Itu benar kalau saya tidak ngasih feenya ya saya nggak bisa dapat proyek di sana," kata terdakwa Suhandy di hadapan majelis hakim yang diketuai Hakim Abdul Aziz.
Menurut Suhandy, komitmen fee tersebut diserahkannya secara bertahap sesuai permintaan dari pihak terkait tersebut sebelum pelelangan proyek dimulai. Dimulai pada Maret 2020, katanya, ia memberikan fee untuk Dodi Reza senilai Rp2 miliar dan kemudian senilai Rp600 juta.
Pemberian tersebut diberikan setelah sebelumnya dimintakan oleh Eddi Umari selaku pihak yang mengatur pemberian komitmen fee dalam proyek yang bakal dikerjakan, hingga akhirnya proyek tersebut berhasil dimenangkan Suhandy.
"Setelah itu komitmen fee untuk mereka yang lain," ujarnya menjawab pertanyaan JPU KPK.
Penyerahan fee terakhir, kata dia, yakni senilai Rp250 juta yang didapat dalam operasi tangkap tangan (OTT). Uang tersebut diserahkannya setelah ada permintaan dari Herman Mayori melalui Eddi Umari.
Setelah keterangan terdakwa Suhandy dinilai cukup oleh semua peserta sidang, majelis hakim menutup persidangan tersebut dan bakal dilanjutkan kembali pada Kamis (17/2) pekan depan, dengan agenda pembacaan penuntutan dari JPU KPK.
Baca juga: Bupati Muba nonaktif disebut terima suap Rp1,5 miliar dari Suhandy
Sebelumnya, dalam kasus tersebut terdakwa Suhandy didakwa JPU KPK telah memberikan "fee" senilai Rp4,4 miliar. Masing-masing kepada Bupati Musi Banyuasin nonaktif Dodi Reza Alex melalui Herman Mayori selaku Kepala Dinas PUPR, Eddi Umari selaku Kepala Bidang SDA/PPK Dinas PUPR, yang pembagiannya berdasarkan persentase yang sudah disepakati tadi.
Setelah Suhandy sepakat dengan komitmen fee tersebut, maka kemudian Dinas PUPR Musi Banyuasin melakukan penandatanganan kontrak untuk ditetapkannya Suhandy sebagai pemenang empat proyek itu sekitar Maret-April 2021.
Empat proyek tersebut adalah Rehabilitasi Daerah Irigasi Ngulak III (IDPMIP) di Desa Ngulak III, Kecamatan Sanga dengan nilai kontrak Rp2,39 miliar, peningkatan jaringan irigasi Daerah Irigasi Rawa (DIR) Epil dengan nilai kontrak Rp4,3 miliar, peningkatan jaringan irigasi (DIR) Muara Teladan dengan nilai kontrak Rp3,3 miliar dan normalisasi Danau Ulak Ria Kecamatan Sekayu dengan nilai kontrak Rp9,9 miliar.
Dalam perjalanannya dari empat proyek tersebut di antaranya Danau Ulak Ria dan Irigasi Ngulak III yang selesai lebih dulu, sedangkan dua lainnya belum selesai sampai saat ini.
Atas perbuatannya tersebut, Suhandy selaku pemberi suap disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Sedangkan Dodi Reza Alex, Herman Mayori, Eddi Umari yang diduga menerima suap dari Suhandy itu ditetapkan sebagai tersangka dengan disangkakan melanggar Pasal 12 huruf (a) atau Pasal 12 huruf (b) atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.