Lampung Timur (ANTARA) - Sapon, Meli, Badu, Alma, Jo, Sandi adalah nama enam ekor gajah patroli milik Balai Taman Nasional Way Kambas (TNWK) yang siaga menjaga desa-desa penyangga hutan Way Kabas dari gangguan gajah liar.
Salah satunya adalah Desa Braja Harjosari di Kecamatan Braja Selebah Kabupaten Lampung Timur yang dijaga oleh keenam gajah tersebut.
Selain Desa Braja Harjosari, Desa Braja Yekti, Braja Kencana, Braja Luhur di Kecamatan Braja Selebah menjadi desa penyangga hutan Taman Nasional Way Kambas.
"Enam ekor gajah ini fungsinya untuk menghalau dan memonitor gajah liar," kata Arisyanto pawang gajah kepada awak media di sela menyusuri Sungai Way Penet dengan perahu di Desa Harjosari, Selasa (22/12) pada acara media visit difasilitasi program Tropical Forest Conservation Action for Sumatera (TFCA-S).
Arisyanto mengatakan gajah Sapon, Meli, Badu, Alma, Jo dan Sandi disiagakan di pos pantau dekat kawasan hutan Way Kambas bersama pawang-pawangnya.
Dia menjelaskan, enam gajah patroli ini akan bergerak menghalau, ketika gajah-gajah liar ke luar hutan untuk mencari makan di perkebunan masyarakat Desa Braja Harjosari.
"Jika ada gajah liar ke luar, kita giring, kalau tidak ada gajah yang ke luar hutan kita patroli dan monitoring saja, " ujarnya.
Kepala Desa Harjosari Suryanto mengatakan, potensi wisata desanya adalah wisata padang savana dan susur sungai di Sungai Way Penet.
Suryanto mengatakan, Sungai Way Penet selama ini berfungsi untuk mencegah masuknya gajah liar ke perkebunan masyarakat.
Saat ini, sungai Way Penet dimanfaatkan juga sebagai objek wisata susur sungai dan sudah banyak yang berkunjung.
Menurutnya, wisatawan dapat menikmati panorama hutan Way Kambas dari atas perahu,
Jika sedang mujur, wisatawan dapat menyaksikan gajah liar Way Kambas yang ke luar hutan.
Suryanto menyatakan dalam tiga tahun terakhir ini sudah tidak terjadi lagi konflik antara gajah dan masyarakat di desanya.
"Alhamdulillah sekarang sudah aman, tidak ada konflik gajah dan manusia, kalaupun ada persentasenya sangat kecil," klaim Suryanto.
Suryanto mengatakan, warga di desanya pun sudah tidak ada lagi yang melakukan perburuan liar.
"Perburuan liar juga sudah tidak ada, 0 persen," jelasnya.
Hada warga Desa Braja Harjosari yang mengaku dulu pernah menjadi pemburu satwa dan sekarang menekuni sebagai pemandu wisata mengatakan memang di desanya sudah tidak terjadi lagi konflik gajah dengan manusia.
"Sudah tiga tahun ini wilayah desa Braja Harjosari sudah tidak ada konflik gajah dan manusia, perburuan liar pun sudah tidak ada" kata Hada.
Hada berharap, kondisi tersebut bisa bertahan selamanya.
Untuk diketahui, sebelumnya kerap terjadi konflik antara masyarakat Desa Braja Harjosari dengan gajah-gajah liar Taman Nasional Way Kambas.
Konflik terjadi karena Desa Braja Harjosari dengan hutan Way Kambas saling berdampingan, hanya dipisahkan alur Sungai Way Penet.
Kendati dipisahkan sungai Way Penet, gajah-gajah liar Way Kambas dapat menyeberang sungai untuk mencari makan di perkebunan.
Akibat konflik itu, kadang timbul korban di antara kedua belah pihak.
Untuk meminimalkan konflik, Balai TNWK pun merancang program penyuluhan dan program pemberdayaan masyarakat bagi warga di desa-desa yang menjadi penyangga hutan Way Kambas untuk meminimalkan konflik dan melestarikan hutan.
Dalam menjalankan program-programnya itu, Balai TNWK pun bekerjasama dengan sejumlah lembaga mitra yakni lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang fokus terhadap pelestarian hutan Way Kambas serta satwanya.
Dan dampak program itu kini mulai terasa, masyarakat mulai sadar untuk dapat hidup berdampingan dengan gajah dan
dapat mengambil manfaat dari hutan tanpa merusak hutannya dan satwa-satwanya.
Salah satunya adalah Desa Braja Harjosari di Kecamatan Braja Selebah Kabupaten Lampung Timur yang dijaga oleh keenam gajah tersebut.
Selain Desa Braja Harjosari, Desa Braja Yekti, Braja Kencana, Braja Luhur di Kecamatan Braja Selebah menjadi desa penyangga hutan Taman Nasional Way Kambas.
"Enam ekor gajah ini fungsinya untuk menghalau dan memonitor gajah liar," kata Arisyanto pawang gajah kepada awak media di sela menyusuri Sungai Way Penet dengan perahu di Desa Harjosari, Selasa (22/12) pada acara media visit difasilitasi program Tropical Forest Conservation Action for Sumatera (TFCA-S).
Arisyanto mengatakan gajah Sapon, Meli, Badu, Alma, Jo dan Sandi disiagakan di pos pantau dekat kawasan hutan Way Kambas bersama pawang-pawangnya.
Dia menjelaskan, enam gajah patroli ini akan bergerak menghalau, ketika gajah-gajah liar ke luar hutan untuk mencari makan di perkebunan masyarakat Desa Braja Harjosari.
"Jika ada gajah liar ke luar, kita giring, kalau tidak ada gajah yang ke luar hutan kita patroli dan monitoring saja, " ujarnya.
Kepala Desa Harjosari Suryanto mengatakan, potensi wisata desanya adalah wisata padang savana dan susur sungai di Sungai Way Penet.
Suryanto mengatakan, Sungai Way Penet selama ini berfungsi untuk mencegah masuknya gajah liar ke perkebunan masyarakat.
Saat ini, sungai Way Penet dimanfaatkan juga sebagai objek wisata susur sungai dan sudah banyak yang berkunjung.
Menurutnya, wisatawan dapat menikmati panorama hutan Way Kambas dari atas perahu,
Jika sedang mujur, wisatawan dapat menyaksikan gajah liar Way Kambas yang ke luar hutan.
Suryanto menyatakan dalam tiga tahun terakhir ini sudah tidak terjadi lagi konflik antara gajah dan masyarakat di desanya.
"Alhamdulillah sekarang sudah aman, tidak ada konflik gajah dan manusia, kalaupun ada persentasenya sangat kecil," klaim Suryanto.
Suryanto mengatakan, warga di desanya pun sudah tidak ada lagi yang melakukan perburuan liar.
"Perburuan liar juga sudah tidak ada, 0 persen," jelasnya.
Hada warga Desa Braja Harjosari yang mengaku dulu pernah menjadi pemburu satwa dan sekarang menekuni sebagai pemandu wisata mengatakan memang di desanya sudah tidak terjadi lagi konflik gajah dengan manusia.
"Sudah tiga tahun ini wilayah desa Braja Harjosari sudah tidak ada konflik gajah dan manusia, perburuan liar pun sudah tidak ada" kata Hada.
Hada berharap, kondisi tersebut bisa bertahan selamanya.
Untuk diketahui, sebelumnya kerap terjadi konflik antara masyarakat Desa Braja Harjosari dengan gajah-gajah liar Taman Nasional Way Kambas.
Konflik terjadi karena Desa Braja Harjosari dengan hutan Way Kambas saling berdampingan, hanya dipisahkan alur Sungai Way Penet.
Kendati dipisahkan sungai Way Penet, gajah-gajah liar Way Kambas dapat menyeberang sungai untuk mencari makan di perkebunan.
Akibat konflik itu, kadang timbul korban di antara kedua belah pihak.
Untuk meminimalkan konflik, Balai TNWK pun merancang program penyuluhan dan program pemberdayaan masyarakat bagi warga di desa-desa yang menjadi penyangga hutan Way Kambas untuk meminimalkan konflik dan melestarikan hutan.
Dalam menjalankan program-programnya itu, Balai TNWK pun bekerjasama dengan sejumlah lembaga mitra yakni lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang fokus terhadap pelestarian hutan Way Kambas serta satwanya.
Dan dampak program itu kini mulai terasa, masyarakat mulai sadar untuk dapat hidup berdampingan dengan gajah dan
dapat mengambil manfaat dari hutan tanpa merusak hutannya dan satwa-satwanya.