Denpasar (ANTARA) - Virus yang satu ini agaknya istimewa sekali karena pembahasan seputar virus Corona yang disebut WHO sebagai COVID-19 itu sudah hampir mengabaikan aspek kemanusiaan, bahkan pasien sepertinya sudah tidak menjadi faktor penting.
Sadis memang, perbincangan seputar virus yang mematikan ini sudah tidak lagi memikirkan nyawa atau jiwa, melainkan disikapi dengan sangat tega melalui informasi-informasi hoaks yang nyaris "menenggelamkan" informasi yang sebenarnya.
Baca juga: Wisatawan sepi, dua operator "watersport" Tanjung Benoa tutup
Bahkan, Pulau Bali yang merupakan destinasi wisata pun "diserang" bertubi-tubi dengan informasi hoaks yang datang dan pergi tanpa jeda ke Pulau Dewata hingga terjadi penurunan kunjungan wisatawan dari China sekitar 18,9 persen.
Tidak terlalu tinggi sebenarnya penurunan wisatawan yang merugikan Rp10 miliar per bulan itu, apalagi khusus wisatawan dari satu negara di Asia saja, namun peringkat wisatawan dari Negeri Tirai Bambu itu pun merosot dari peringkat nomor 1 menjadi nomor 3 setelah Eropa dan Australia.
Namun, masyarakat dan Pemerintah Provinsi Bali sudah tahu risiko wilayahnya sebagai kawasan pariwisata dalam "perang informasi" untuk isu-isu yang merugikan pulau yang juga dikenal sebagai "sepotong surga" di dunia itu.
Oleh karena itu, masyarakat dan pemerintah pulau itu terlihat tenang dengan berbagai informasi yang berputar-putar dan sesekali "diserang" kecamuk hoaks, karena berbagai pengalaman lokal telah mengajari mereka untuk lebih arif, seperti saat erupsi Gunung Agung (2017).
"Lebih baik Pasar Seni Guwang (Kabupaten Gianyar) sepi pembeli, akibat tidak ada turis China ke Bali, daripada wabah virus Corona melanda Bali, yang justru akan merusak bukan hanya sektor pariwisata, tapi seluruh ekonomi akan lesu, bahkan mati, seperti di Wuhan," ujar salah seorang pedagang pasar setempat, Made Sumiti, Kamis (13/2/2020).
Ia mengakui sejak wabah virus Corona muncul di China dan berbagai negara, jumlah pengunjung Pasar Seni Guwang yang berjarak 500 meter dari Pasar Sukawati itu merosot drastis.
"Lihat sendiri pasar sekarang sepi. Dampak larangan Pemerintah China agar warganya tidak bepergian keluar negeri sangat terasa," katanya.
Baca juga: Pemandu wisata berbahasa Mandarin di Bali, 80 persen terdampak penurunan wisatawan
Namun, ia juga merasa terbantu dengan kedatangan turis lokal. "Turis asal China itu biasanya membeli baju, kaos dan patung ukiran, tapi turis China itu kalau membeli baju dan kaos khas Bali cuma untuk dipakai sendiri, sedangkan turis lokal beli baju justru jumlahnya banyak karena oleh-oleh untuk anak, saudara, tetangga, bahkan untuk pembantu," katanya.
Ya, sikap masyarakat Bali yang arif itu pun tidak jauh berbeda dengan wisatawan dari luar China yang datang.
Seorang wisatawan asal Belanda, Rob Horbach, mengaku merasa nyaman berada di Bali. "Kalau datang ke Pulau Dewata, saya memilih tinggal di Puri Santrian, Sanur," katanya.
Terkait virus Corona (COVID-19), ia pun tidak merasa khawatir. "Virus itu kan berada di Wuhan, China. Lagi pula tidak ada larangan dari Pemerintah Indonesia ataupun dari pemerintah untuk kami berwisata ke Indonesia dan Bali khususnya," ujarnya.
Apalagi, COVID-19 di Indonesia juga nihil. "Saya rasa tidak ada Corona. Di Belanda sendiri tidak ada kasus ini. Pemerintah kami di Belanda sendiri sudah ada penutupan penerbangan dari dan ke China. Jadi, orang tidak akan pergi ke China jika kasus ini masih ada," kata Horbach.
Senada dengan itu, wisatawan asal Belanda lainnya, Johannes Tuyt, pun merasa nyaman berada di Bali . Ia bersama keluarganya memang selalu memilih Bali sebagai tempat bersiwsata. Ia sudah beberapa kali datang ke Bali sejak 25 tahun lalu.
"Saya merasa sangat senang dengan keramahan masyarakat Bali. Begitu bertemu, saya merasa bersama orang yang sudah berteman lama, sehingga membawa perasaan, seperti berada di rumah sendiri. Di rumah kami hanya ada cuaca dingin serta hujan. Di sini, cuacanya sangat bagus dan orang-orang ramah yang sangat baik. Negara dan cuacanya hangat," katanya.
"Perang informasi" kesehatan-pariwisata
Pandangan masyarakat Bali dan wisatawan yang sering ke Bali agaknya memberikan optimisme tersendiri dalam "perang informasi" terkait COVID-19 di kawasan pariwisata Bali, termasuk hoaks terbaru yang "menyerang" Bali bahwa virus itu dibawa warga China dari Pulau Dewata.
Ya, virus itu sudah hampir satu bulan terjadi di Wuhan, China, namun 12 Februari 2020 muncul informasi bahwa warga negara China berinisial Jin yang dilaporkan terjangkit virus Corona (COVID-19) sebelum 23 Januari 2020 itu sempat melakukan perjalanan ke Pulau Dewata, sehingga dia membawa virus itu dari Bali.
"Secara teori, Jin tidak terpapar di Bali, alasannya dia sudah meninggalkan Bali pada 28 Januari, kemudian masuk China. Setelah itu terkena virus itu (COVID-19) 5 Februari, artinya delapan hari setelah meninggalkan Bali. Masa inkubasi normal virus itu 3-7 hari," kata Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bali dr Ketut Suarjaya di Denpasar, Kamis (13/2/2020).
Untuk kemungkinan kedua dengan memakai masa inkubasi yang terpanjang atau terlama yakni 14 hari, maka di Bali hingga saat ini juga belum ada satupun kasus positif COVID-19.
"Kalau toh dia (WN China) yang membawa virus dan saat di Bali masih masa inkubasi, mestinya di Bali ada kasus itu. Buktinya sampai sekarang tidak ada kasus dan sekarang sudah hari ke-16, tidak ada yang terkena, Bali masih aman," ucapnya.
Oleh karena itu, lanjut Suarjaya, sangat kecil kemungkinan atau hampir tidak mungkin WN China itu terpapar atau menularkan COVID-19 itu di Pulau Dewata.
Selain itu, Jin saat berwisata ke Bali juga tidak pernah menjalani observasi di RSUP Sanglah. "Jadi, WN China itu kemungkinan besar terinfeksi setelah kembali ke negaranya," katanya.
Hingga saat ini, total sudah 20 pasien yang diobservasi di RSUP Sanglah yang sebelumnya dicurigai atau dikhawatirkan terjangkit virus yang awalnya mewabah di Wuhan China itu.
Namun hasil observasi hingga pemeriksaan sampel di Balitbangkes Kementerian Kesehatan mencatat 18 pasien dinyatakan negatif terjangkit COVID-19 dan dua pasien yang terbaru (1 WN China dan 1 WNI) masih menunggu hasil pemeriksaan laboratorium Balitbangkes Kemenkes.
Meskipun demikian, Pemerintah Provinsi Bali sudah menyiapkan sejumlah langkah penanganan bila terjadi kemungkinan yang terburuk ada yang tertular, di antaranya ada tiga rumah sakit rujukan untuk mengisolasi yakni RSUP Sanglah, RSUD Tabanan dan RS Sanjiwani Gianyar. RS yang lain juga mampu untuk melakukan isolasi.
"Jadi protapnya sudah lengkap, alatnya sudah ada, SDMnya sudah siap. Jadi tidak perlu ada kekhawatiran, andaikata memang terjadi. Tetapi kita semua berharap mudah-mudahan tidak sampai terjadi, kita doakan tidak ada," ucapnya.
Selain informasi hoaks terkait kesehatan dalam isu COVID-19, Bali pun mengalami "perang informasi" dalam informasi hoaks terkait pariwisata dalam isu COVID-19 itu, bahkan "jantung" pariwisata Indonesia itu dikabarkan menjadi "kota hantu" akibat sepinya wisatawan.
"Kalau wisatawan yang lain (di luar China), saya perhatikan masih berjalan seperti biasa, bahkan hotel-hotel di kawasan Sanur (Kota Denpasar), misalnya, tingkat okupansinya masih rata-rata di atas 70 persen dan kondisi normal itu terjadi dalam bulan Februari yang termasuk dalam "low season", bahkan ada hotel yang okupansinya 95 persen," kata Kepala Dinas Pariwisata Bali Putu Astawa di Denpasar, Sabtu (15/2/2020).
Oleh karena itu, isu yang menyebutkan Bali ibarat "kota hantu" karena kehilangan kunjungan wisatawan China itu sama sekali tidak benar. Itulah isu kesekian yang menerpa "jantung" pariwisata Indonesia itu setelah sebelum terpapar isu adanya delapan orang terpapar COVID-19 masuk Bali saat Pemerintah China mengisolasi wilayah Wuhan sejak 23 Januari 2020.
"Jika wabah virus Corona (COVID-19) yang melanda China berkepanjangan, dalam satu tahun itu Bali berpotensi kehilangan wisman hingga 18,9 persen lebih, jika berkaca dari kunjungan wisman ke Bali pada 2019 yang berjumlah 6.275.210 jiwa, sedangkan wisatawan China mencapai 1.186.057 jiwa, sehingga dalam satu tahun berpotensi kehilangan 18,9 persen dari total kunjungan wisatawan China," ujar Astawa.
Potensi kehilangan wisatawan China agaknya menyadarkan Pemerintah Bali untuk memetik dua pelajaran dari upaya menghindarkan Corona "berwisata" ke Bali, yakni perlunya mendongkrak potensi wisatawan domestik tanpa mengabaikan pangsa pasar lain seperti wisatawan Australia, Eropa, Jepang dan Korea, yang datang ke Bali dan bahkan bertambah.
"Tentu perlu terobosan di antaranya untuk menambah penerbangan terutama dari Amerika Serikat, Timur Tengah dan dari Eropa," katanya.
Namun, potensi lain yang juga tidak kalah pentingnya adalah melirik potensi wisata MICE (pertemuan, perjalanan insentif, konvensi dan pameran).
"Dengan adanya virus Corona itu, Bali justru dapat menarik wisata MICE (pertemuan, perjalanan insentif, konvensi dan pameran) skala regional dan global yang biasanya diselenggarakan di Singapura," kata Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bali Trisno Nugroho saat menerima audiensi dengan LKBN ANTARA Biro Bali di Perpustakaan BI Bali, Rabu (12/2/2020).
Sadis memang, perbincangan seputar virus yang mematikan ini sudah tidak lagi memikirkan nyawa atau jiwa, melainkan disikapi dengan sangat tega melalui informasi-informasi hoaks yang nyaris "menenggelamkan" informasi yang sebenarnya.
Baca juga: Wisatawan sepi, dua operator "watersport" Tanjung Benoa tutup
Bahkan, Pulau Bali yang merupakan destinasi wisata pun "diserang" bertubi-tubi dengan informasi hoaks yang datang dan pergi tanpa jeda ke Pulau Dewata hingga terjadi penurunan kunjungan wisatawan dari China sekitar 18,9 persen.
Tidak terlalu tinggi sebenarnya penurunan wisatawan yang merugikan Rp10 miliar per bulan itu, apalagi khusus wisatawan dari satu negara di Asia saja, namun peringkat wisatawan dari Negeri Tirai Bambu itu pun merosot dari peringkat nomor 1 menjadi nomor 3 setelah Eropa dan Australia.
Namun, masyarakat dan Pemerintah Provinsi Bali sudah tahu risiko wilayahnya sebagai kawasan pariwisata dalam "perang informasi" untuk isu-isu yang merugikan pulau yang juga dikenal sebagai "sepotong surga" di dunia itu.
Oleh karena itu, masyarakat dan pemerintah pulau itu terlihat tenang dengan berbagai informasi yang berputar-putar dan sesekali "diserang" kecamuk hoaks, karena berbagai pengalaman lokal telah mengajari mereka untuk lebih arif, seperti saat erupsi Gunung Agung (2017).
"Lebih baik Pasar Seni Guwang (Kabupaten Gianyar) sepi pembeli, akibat tidak ada turis China ke Bali, daripada wabah virus Corona melanda Bali, yang justru akan merusak bukan hanya sektor pariwisata, tapi seluruh ekonomi akan lesu, bahkan mati, seperti di Wuhan," ujar salah seorang pedagang pasar setempat, Made Sumiti, Kamis (13/2/2020).
Ia mengakui sejak wabah virus Corona muncul di China dan berbagai negara, jumlah pengunjung Pasar Seni Guwang yang berjarak 500 meter dari Pasar Sukawati itu merosot drastis.
"Lihat sendiri pasar sekarang sepi. Dampak larangan Pemerintah China agar warganya tidak bepergian keluar negeri sangat terasa," katanya.
Baca juga: Pemandu wisata berbahasa Mandarin di Bali, 80 persen terdampak penurunan wisatawan
Namun, ia juga merasa terbantu dengan kedatangan turis lokal. "Turis asal China itu biasanya membeli baju, kaos dan patung ukiran, tapi turis China itu kalau membeli baju dan kaos khas Bali cuma untuk dipakai sendiri, sedangkan turis lokal beli baju justru jumlahnya banyak karena oleh-oleh untuk anak, saudara, tetangga, bahkan untuk pembantu," katanya.
Ya, sikap masyarakat Bali yang arif itu pun tidak jauh berbeda dengan wisatawan dari luar China yang datang.
Seorang wisatawan asal Belanda, Rob Horbach, mengaku merasa nyaman berada di Bali. "Kalau datang ke Pulau Dewata, saya memilih tinggal di Puri Santrian, Sanur," katanya.
Terkait virus Corona (COVID-19), ia pun tidak merasa khawatir. "Virus itu kan berada di Wuhan, China. Lagi pula tidak ada larangan dari Pemerintah Indonesia ataupun dari pemerintah untuk kami berwisata ke Indonesia dan Bali khususnya," ujarnya.
Apalagi, COVID-19 di Indonesia juga nihil. "Saya rasa tidak ada Corona. Di Belanda sendiri tidak ada kasus ini. Pemerintah kami di Belanda sendiri sudah ada penutupan penerbangan dari dan ke China. Jadi, orang tidak akan pergi ke China jika kasus ini masih ada," kata Horbach.
Senada dengan itu, wisatawan asal Belanda lainnya, Johannes Tuyt, pun merasa nyaman berada di Bali . Ia bersama keluarganya memang selalu memilih Bali sebagai tempat bersiwsata. Ia sudah beberapa kali datang ke Bali sejak 25 tahun lalu.
"Saya merasa sangat senang dengan keramahan masyarakat Bali. Begitu bertemu, saya merasa bersama orang yang sudah berteman lama, sehingga membawa perasaan, seperti berada di rumah sendiri. Di rumah kami hanya ada cuaca dingin serta hujan. Di sini, cuacanya sangat bagus dan orang-orang ramah yang sangat baik. Negara dan cuacanya hangat," katanya.
"Perang informasi" kesehatan-pariwisata
Pandangan masyarakat Bali dan wisatawan yang sering ke Bali agaknya memberikan optimisme tersendiri dalam "perang informasi" terkait COVID-19 di kawasan pariwisata Bali, termasuk hoaks terbaru yang "menyerang" Bali bahwa virus itu dibawa warga China dari Pulau Dewata.
Ya, virus itu sudah hampir satu bulan terjadi di Wuhan, China, namun 12 Februari 2020 muncul informasi bahwa warga negara China berinisial Jin yang dilaporkan terjangkit virus Corona (COVID-19) sebelum 23 Januari 2020 itu sempat melakukan perjalanan ke Pulau Dewata, sehingga dia membawa virus itu dari Bali.
"Secara teori, Jin tidak terpapar di Bali, alasannya dia sudah meninggalkan Bali pada 28 Januari, kemudian masuk China. Setelah itu terkena virus itu (COVID-19) 5 Februari, artinya delapan hari setelah meninggalkan Bali. Masa inkubasi normal virus itu 3-7 hari," kata Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bali dr Ketut Suarjaya di Denpasar, Kamis (13/2/2020).
Untuk kemungkinan kedua dengan memakai masa inkubasi yang terpanjang atau terlama yakni 14 hari, maka di Bali hingga saat ini juga belum ada satupun kasus positif COVID-19.
"Kalau toh dia (WN China) yang membawa virus dan saat di Bali masih masa inkubasi, mestinya di Bali ada kasus itu. Buktinya sampai sekarang tidak ada kasus dan sekarang sudah hari ke-16, tidak ada yang terkena, Bali masih aman," ucapnya.
Oleh karena itu, lanjut Suarjaya, sangat kecil kemungkinan atau hampir tidak mungkin WN China itu terpapar atau menularkan COVID-19 itu di Pulau Dewata.
Selain itu, Jin saat berwisata ke Bali juga tidak pernah menjalani observasi di RSUP Sanglah. "Jadi, WN China itu kemungkinan besar terinfeksi setelah kembali ke negaranya," katanya.
Hingga saat ini, total sudah 20 pasien yang diobservasi di RSUP Sanglah yang sebelumnya dicurigai atau dikhawatirkan terjangkit virus yang awalnya mewabah di Wuhan China itu.
Namun hasil observasi hingga pemeriksaan sampel di Balitbangkes Kementerian Kesehatan mencatat 18 pasien dinyatakan negatif terjangkit COVID-19 dan dua pasien yang terbaru (1 WN China dan 1 WNI) masih menunggu hasil pemeriksaan laboratorium Balitbangkes Kemenkes.
Meskipun demikian, Pemerintah Provinsi Bali sudah menyiapkan sejumlah langkah penanganan bila terjadi kemungkinan yang terburuk ada yang tertular, di antaranya ada tiga rumah sakit rujukan untuk mengisolasi yakni RSUP Sanglah, RSUD Tabanan dan RS Sanjiwani Gianyar. RS yang lain juga mampu untuk melakukan isolasi.
"Jadi protapnya sudah lengkap, alatnya sudah ada, SDMnya sudah siap. Jadi tidak perlu ada kekhawatiran, andaikata memang terjadi. Tetapi kita semua berharap mudah-mudahan tidak sampai terjadi, kita doakan tidak ada," ucapnya.
Selain informasi hoaks terkait kesehatan dalam isu COVID-19, Bali pun mengalami "perang informasi" dalam informasi hoaks terkait pariwisata dalam isu COVID-19 itu, bahkan "jantung" pariwisata Indonesia itu dikabarkan menjadi "kota hantu" akibat sepinya wisatawan.
"Kalau wisatawan yang lain (di luar China), saya perhatikan masih berjalan seperti biasa, bahkan hotel-hotel di kawasan Sanur (Kota Denpasar), misalnya, tingkat okupansinya masih rata-rata di atas 70 persen dan kondisi normal itu terjadi dalam bulan Februari yang termasuk dalam "low season", bahkan ada hotel yang okupansinya 95 persen," kata Kepala Dinas Pariwisata Bali Putu Astawa di Denpasar, Sabtu (15/2/2020).
Oleh karena itu, isu yang menyebutkan Bali ibarat "kota hantu" karena kehilangan kunjungan wisatawan China itu sama sekali tidak benar. Itulah isu kesekian yang menerpa "jantung" pariwisata Indonesia itu setelah sebelum terpapar isu adanya delapan orang terpapar COVID-19 masuk Bali saat Pemerintah China mengisolasi wilayah Wuhan sejak 23 Januari 2020.
"Jika wabah virus Corona (COVID-19) yang melanda China berkepanjangan, dalam satu tahun itu Bali berpotensi kehilangan wisman hingga 18,9 persen lebih, jika berkaca dari kunjungan wisman ke Bali pada 2019 yang berjumlah 6.275.210 jiwa, sedangkan wisatawan China mencapai 1.186.057 jiwa, sehingga dalam satu tahun berpotensi kehilangan 18,9 persen dari total kunjungan wisatawan China," ujar Astawa.
Potensi kehilangan wisatawan China agaknya menyadarkan Pemerintah Bali untuk memetik dua pelajaran dari upaya menghindarkan Corona "berwisata" ke Bali, yakni perlunya mendongkrak potensi wisatawan domestik tanpa mengabaikan pangsa pasar lain seperti wisatawan Australia, Eropa, Jepang dan Korea, yang datang ke Bali dan bahkan bertambah.
"Tentu perlu terobosan di antaranya untuk menambah penerbangan terutama dari Amerika Serikat, Timur Tengah dan dari Eropa," katanya.
Namun, potensi lain yang juga tidak kalah pentingnya adalah melirik potensi wisata MICE (pertemuan, perjalanan insentif, konvensi dan pameran).
"Dengan adanya virus Corona itu, Bali justru dapat menarik wisata MICE (pertemuan, perjalanan insentif, konvensi dan pameran) skala regional dan global yang biasanya diselenggarakan di Singapura," kata Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bali Trisno Nugroho saat menerima audiensi dengan LKBN ANTARA Biro Bali di Perpustakaan BI Bali, Rabu (12/2/2020).