Beijing (ANTARA) - "Saya sudah ajak dia pulang, tapi nggak mau. Tanggung katanya."
Suara Ahmad Syaifuddin Zuhri terdengar parau menceritakan kondisi istrinya, Hilyatu Millati Rusdiyah, di detik-detik akhir menjelang penutupan total akses keluar-masuk Wuhan.
Ia hanya bisa pasrah pada masa-masa kritis tanggal 23 Januari 2020 pagi menjelang siang itu. "Dia punya pilihan sendiri," ujar Zuhri saat dihubungi ANTARA dari Tianjin, setengah jam sebelum Wuhan ditutup total pada pukul 10.00 waktu setempat (09.00 WIB).
Zuhri dan Mila, panggilan perempuan berusia 33 tahun itu, tinggal di Wuhan, Provinsi Hubei, bersama anak semata wayang mereka yang baru berusia 2 tahun.
Mila sendiri sebenarnya mahasiswi semester akhir Program Doktoral Administrasi Bisnis Chongqing University yang berjarak sekitar 920 kilometer di barat daya Wuhan.
Dia memilih tinggal di Wuhan untuk menemani sang suami tercinta yang sedang menyelesaikan program PhD jurusan Hubungan Internasional di Central China Normal University.
Baca juga: WHO: Virus corona capai 1.320 kasus di 10 negara
Namun pada tanggal 9 Januari 2020, Zuhri dan anak semata wayangnya terbang ke Indonesia untuk mengisi liburan semester di kampung halaman istrinya di Klaten, Jawa Tengah. "Saya tidak kuat musim dingin di sini," ujar pria berusia 35 tahun itu beralasan.
Agak mengherankan memang alasan itu karena dia sudah lebih dari enam tahun tinggal di China setelah pernah menetap di Provinsi Jiangxi saat menggondol gelar masternya di Nanchang University sehingga sudah sangat terbiasa dengan suhu udara di wilayah tengah daratan Tiongkok itu pada musim dingin.
"Maaf, yang ga kuat itu anak saya karena masih kecil," elaknya mengoreksi pernyataan sebelumnya.
Dia mengaku sudah mengajak istrinya pulang bersama. Namun alasan disertasilah yang membuat Mila berat meninggalkan Wuhan.
"Pertengahan Februari nanti, saya harus mulai registrasi disertasi. Setelah itu saya bisa pulang", ujarnya.
Memang saat ini tahun terakhir bagi Mila untuk menyelesaikan program doktornya itu sehingga waktu liburan bersama keluarganya di Tanah Air dilewatkan begitu saja demi mengejar cita-cita.
"Biarkan dia melakukan hibernasi. Saya tidak mau mengganggu," tutur Zuhri yang mengaku telah menyediakan kebutuhan logistik untuk istrinya itu sebelum ditinggal pulang ke Klaten.
Kegalauan Zuhri makin bertambah manakala pihak maskapai mengabarinya bahwa jadwal penerbangan kembali ke Wuhan pada tanggal 10 Maret 2020 dibatalkan karena situasi yang tidak menentu seiring dengan bertambahnya korban serangan virus corona jenis baru itu.
"Saya tidak tahu harus berbuat apa kecuali hanya kontak dengan istri," tuturnya seraya memohon doa untuk istrinya yang tertahan di Wuhan itu.
Para penumpang kereta api cepat Tianjin-Beijingnan mengenakan masker dalam perjalanan Kamis (23/1/2020). (ANTARA/M. Irfan Ilmie)
Ironi Imlek
Rencana kepulangan Mila bulan depan tinggalah rencana karena Kamis (23/1/2020) tepat pukul 10.00 waktu setempat, semua orang yang berada di Kota Wuhan, termasuk 93 warga negara Indonesia, tidak bisa keluar karena semua pintu masuk, mulai dari gerbang tol, gapura perbatasan, dermaga feri sungai dan danau, stasiun kereta api, dan bandar udara ditutup total.
Demikian pula dengan orang-orang yang hendak menuju Ibu Kota Provinsi Hubei itu dicegati sehingga terjadilah kemacetan yang cukup parah di pintu-pintu tol.
Nomor perjalanan kereta api cepat menuju Wuhan dihapus dari daftar di papan elektronik jadwal keberangkatan di sejumlah stasiun di Beijing, Tianjin, Shanghai, dan kota-kota lain di China.
Sungguh sebuah ironi yang terjadi pada masa-masa kepadatan arus mudik Tahun Baru Imlek. Hampir semua pemerintah daerah di China mengeluarkan surat edaran mengenai ditiadakannya berbagai acara perayaan, kegiatan massal, termasuk aktivitas rutin keagamaan di rumah-rumah ibadah.
Objek-objek wisata berkelas internasional seperti Tembok Besar dan Kota Terlarang di Beijing, Disneyland di Shanghai dan berbagai museum serta gedung-gedung bioskop tutup total. Sebuah kerugian finansial massif sudah pasti di depan mata karena pada saat liburan Imlek pusat keramaian tersebut menjadi pundi-pundi harta bernilai triliunan rupiah.
Jalanan umum pun di beberapa kota sepi. Kontras dengan pemandangan Tahun Baru China sebelumnya. Pada Imlek tahun ini banyak kendaraan terparkir di areal halaman atau areal bawah tanah apartemen dan permukiman lainnya.
Hal ini menandakan bahwa pemiliknya lebih memilih berdiam diri di dalam rumah masing-masing daripada keluar tak karuan arah, salah-salah malah terpapar virus yang sudah merenggut 52 nyawa manusia hingga Minggu (26/1/2020) pagi.
Hanya mal, pusat perbelanjaan, restoran, dan toko bahan pangan yang buka untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, termasuk di Wuhan sendiri, meskipun harganya agak mahal dibandingkan hari-hari sebelumnya.
"Wuhan bukan berarti meniadakan aktivitas warga secara total. Masih ada kendaraan pribadi yang bisa digunakan untuk beraktivitas. Hampir semua warga Wuhan punya kendaraan pribadi. Saya pun punya motor listrik jika ingin beraktivitas bepergian," tulis Mila yang diunggah di akun Facebook pribadinya pada 25 Januari 2020 itu.
Dalam tulisan yang menyertai gambar video itu, dia mengungkapkan bahwa keputusan untuk tetap tinggal di dalam rumah adalah pilihan pribadi masing-masing warga Wuhan, termasuk dirinya.
Dia ingin menepis anggapan mencekam tentang Wuhan yang ada di benak dan pikiran orang-orang di luar sana, terutama yang suka menghujat dan memvonis setiap peristiwa bencana.
Kalaupun suasana jalanan umum di kota-kota besar di China sepi merupakan hal yang lumrah terjadi pada musim libur Imlek yang secara resmi mulai tanggal 24 hingga 31 Januari 2020. Fenomena yang sama persis dengan Hari Raya Idul Fitri di Jakarta yang lengang karena ditinggal mudik warganya.
Oleh karena itu, Mila dan 92 rekannya yang kini tertahan di Wuhan merasa prihatin dengan pemberitaan di Indonesia dan komentar dari warganet yang menganggap kasus itu sebagai azab.
"Komentar-komentar jahat itu tak ubahnya dengan virus corona. Sama-sama penyakit. Bedanya kalau komentar jahat itu penyakit hati alias benci yang bisa menambah dosa, sedangkan virus corona itu penyakit jasmani yang bisa mengurangi dosa penderita," tulisnya.
Kedutaan Besar RI di Beijing dan Kementerian Luar Negeri RI di Jakarta terus memantau kondisi 93 WNI di Wuhan yang sampai saat ini baik-baik saja dan tidak ada satu pun dari mereka terpapar 2019-nCoV itu.
"Sekali lagi, kami butuh doa dan dukungan bukan nyinyiran. Agama bukan sekedar ritual, tapi nilai-nilai yang harus dihayati. Bijaksanalah dalam berkomentar & hargai perbedaan," ujar Mila memungkasi unggahannya itu.
Suara Ahmad Syaifuddin Zuhri terdengar parau menceritakan kondisi istrinya, Hilyatu Millati Rusdiyah, di detik-detik akhir menjelang penutupan total akses keluar-masuk Wuhan.
Ia hanya bisa pasrah pada masa-masa kritis tanggal 23 Januari 2020 pagi menjelang siang itu. "Dia punya pilihan sendiri," ujar Zuhri saat dihubungi ANTARA dari Tianjin, setengah jam sebelum Wuhan ditutup total pada pukul 10.00 waktu setempat (09.00 WIB).
Zuhri dan Mila, panggilan perempuan berusia 33 tahun itu, tinggal di Wuhan, Provinsi Hubei, bersama anak semata wayang mereka yang baru berusia 2 tahun.
Mila sendiri sebenarnya mahasiswi semester akhir Program Doktoral Administrasi Bisnis Chongqing University yang berjarak sekitar 920 kilometer di barat daya Wuhan.
Dia memilih tinggal di Wuhan untuk menemani sang suami tercinta yang sedang menyelesaikan program PhD jurusan Hubungan Internasional di Central China Normal University.
Baca juga: WHO: Virus corona capai 1.320 kasus di 10 negara
Namun pada tanggal 9 Januari 2020, Zuhri dan anak semata wayangnya terbang ke Indonesia untuk mengisi liburan semester di kampung halaman istrinya di Klaten, Jawa Tengah. "Saya tidak kuat musim dingin di sini," ujar pria berusia 35 tahun itu beralasan.
Agak mengherankan memang alasan itu karena dia sudah lebih dari enam tahun tinggal di China setelah pernah menetap di Provinsi Jiangxi saat menggondol gelar masternya di Nanchang University sehingga sudah sangat terbiasa dengan suhu udara di wilayah tengah daratan Tiongkok itu pada musim dingin.
"Maaf, yang ga kuat itu anak saya karena masih kecil," elaknya mengoreksi pernyataan sebelumnya.
Dia mengaku sudah mengajak istrinya pulang bersama. Namun alasan disertasilah yang membuat Mila berat meninggalkan Wuhan.
"Pertengahan Februari nanti, saya harus mulai registrasi disertasi. Setelah itu saya bisa pulang", ujarnya.
Memang saat ini tahun terakhir bagi Mila untuk menyelesaikan program doktornya itu sehingga waktu liburan bersama keluarganya di Tanah Air dilewatkan begitu saja demi mengejar cita-cita.
"Biarkan dia melakukan hibernasi. Saya tidak mau mengganggu," tutur Zuhri yang mengaku telah menyediakan kebutuhan logistik untuk istrinya itu sebelum ditinggal pulang ke Klaten.
Kegalauan Zuhri makin bertambah manakala pihak maskapai mengabarinya bahwa jadwal penerbangan kembali ke Wuhan pada tanggal 10 Maret 2020 dibatalkan karena situasi yang tidak menentu seiring dengan bertambahnya korban serangan virus corona jenis baru itu.
"Saya tidak tahu harus berbuat apa kecuali hanya kontak dengan istri," tuturnya seraya memohon doa untuk istrinya yang tertahan di Wuhan itu.
Ironi Imlek
Rencana kepulangan Mila bulan depan tinggalah rencana karena Kamis (23/1/2020) tepat pukul 10.00 waktu setempat, semua orang yang berada di Kota Wuhan, termasuk 93 warga negara Indonesia, tidak bisa keluar karena semua pintu masuk, mulai dari gerbang tol, gapura perbatasan, dermaga feri sungai dan danau, stasiun kereta api, dan bandar udara ditutup total.
Demikian pula dengan orang-orang yang hendak menuju Ibu Kota Provinsi Hubei itu dicegati sehingga terjadilah kemacetan yang cukup parah di pintu-pintu tol.
Nomor perjalanan kereta api cepat menuju Wuhan dihapus dari daftar di papan elektronik jadwal keberangkatan di sejumlah stasiun di Beijing, Tianjin, Shanghai, dan kota-kota lain di China.
Sungguh sebuah ironi yang terjadi pada masa-masa kepadatan arus mudik Tahun Baru Imlek. Hampir semua pemerintah daerah di China mengeluarkan surat edaran mengenai ditiadakannya berbagai acara perayaan, kegiatan massal, termasuk aktivitas rutin keagamaan di rumah-rumah ibadah.
Objek-objek wisata berkelas internasional seperti Tembok Besar dan Kota Terlarang di Beijing, Disneyland di Shanghai dan berbagai museum serta gedung-gedung bioskop tutup total. Sebuah kerugian finansial massif sudah pasti di depan mata karena pada saat liburan Imlek pusat keramaian tersebut menjadi pundi-pundi harta bernilai triliunan rupiah.
Jalanan umum pun di beberapa kota sepi. Kontras dengan pemandangan Tahun Baru China sebelumnya. Pada Imlek tahun ini banyak kendaraan terparkir di areal halaman atau areal bawah tanah apartemen dan permukiman lainnya.
Hal ini menandakan bahwa pemiliknya lebih memilih berdiam diri di dalam rumah masing-masing daripada keluar tak karuan arah, salah-salah malah terpapar virus yang sudah merenggut 52 nyawa manusia hingga Minggu (26/1/2020) pagi.
Hanya mal, pusat perbelanjaan, restoran, dan toko bahan pangan yang buka untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, termasuk di Wuhan sendiri, meskipun harganya agak mahal dibandingkan hari-hari sebelumnya.
"Wuhan bukan berarti meniadakan aktivitas warga secara total. Masih ada kendaraan pribadi yang bisa digunakan untuk beraktivitas. Hampir semua warga Wuhan punya kendaraan pribadi. Saya pun punya motor listrik jika ingin beraktivitas bepergian," tulis Mila yang diunggah di akun Facebook pribadinya pada 25 Januari 2020 itu.
Dalam tulisan yang menyertai gambar video itu, dia mengungkapkan bahwa keputusan untuk tetap tinggal di dalam rumah adalah pilihan pribadi masing-masing warga Wuhan, termasuk dirinya.
Dia ingin menepis anggapan mencekam tentang Wuhan yang ada di benak dan pikiran orang-orang di luar sana, terutama yang suka menghujat dan memvonis setiap peristiwa bencana.
Kalaupun suasana jalanan umum di kota-kota besar di China sepi merupakan hal yang lumrah terjadi pada musim libur Imlek yang secara resmi mulai tanggal 24 hingga 31 Januari 2020. Fenomena yang sama persis dengan Hari Raya Idul Fitri di Jakarta yang lengang karena ditinggal mudik warganya.
Oleh karena itu, Mila dan 92 rekannya yang kini tertahan di Wuhan merasa prihatin dengan pemberitaan di Indonesia dan komentar dari warganet yang menganggap kasus itu sebagai azab.
"Komentar-komentar jahat itu tak ubahnya dengan virus corona. Sama-sama penyakit. Bedanya kalau komentar jahat itu penyakit hati alias benci yang bisa menambah dosa, sedangkan virus corona itu penyakit jasmani yang bisa mengurangi dosa penderita," tulisnya.
Kedutaan Besar RI di Beijing dan Kementerian Luar Negeri RI di Jakarta terus memantau kondisi 93 WNI di Wuhan yang sampai saat ini baik-baik saja dan tidak ada satu pun dari mereka terpapar 2019-nCoV itu.
"Sekali lagi, kami butuh doa dan dukungan bukan nyinyiran. Agama bukan sekedar ritual, tapi nilai-nilai yang harus dihayati. Bijaksanalah dalam berkomentar & hargai perbedaan," ujar Mila memungkasi unggahannya itu.