Sumatera Selatan (ANTARA Lampung) - Setelah selama tiga bulan lebih dibekap asap hingga menyebabkan dua orang meninggal dunia, yaitu Sukinah dan Purwanto akibat terkena infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), keduanya warga Desa Nusantara Kecamatan Air Sugihan Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Kedua korban ini tidak sempat mendapat perhatian pemerintah dan terpantau media massa, karena lokasi yang jauh di pedalaman.

Setelah masalah asap meredup, kini masyarakat Desa Nusantara selaku warga transmigrasi asal Kediri, Jawa Timur dihadapkan pula masalah gagal panen (puso). Areal tanaman padi di lahan seluas 1.200 ha tersebut mengalami puso. Padi tersebut mulanya tumbuh sehat dan sudah berbuah, hanya saja keseluruhannya hampa.

Masyarakat setempat, menurut Sukirman (44) menyebutnya kena penyakit patah leher dan keputihan. "Kami sudah mendatangi penyuluh pertanian lapangan untuk minta dibantu, namun belum mendapat jawabannya untuk mengatasi masalah tersebut," ujar Sukirman.
 
Meski demikian, dia masih bersyukur kepada Tim Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), di antaranya Mukri Friatna (Manager Penanganan Bencana dan Konflik Walhi Nasional) yang datang ke lokasi, Rabu (20/1).

Ternyata, dari total luas sawah yang puso tersebut, masih terdapat 2,5 hektare sawah yang tetap bisa dipanen. Bibit seberat lima kilogram pemberian dari Walhi menjadi satu-satunya areal padi sawah yang bisa dipanen pada akhir bulan ini. Padi tersebut, menurut Sukirman, murni tidak diapa-apakan seperti dipupuk dan disemprot, hanya ditanam secara alami.

Sebelumnya, pada bulan Februari lalu, katanya lagi, sudah merasakan untuk pertama kalinya panen padi asal Lampung ini yang ditanam di sawah seluas seperempat hektare dan menghasilkan 720 kg beras.

Bibit padi itu sendiri, ujar Mukri Friatna, didapatkan dari Kabupaten Lampung Tengah yang dikenal dengan nama Padi Sertani. Bibit padi tersebut merupakan pemberian Surono selaku pembudidaya dan pengembang benih padi varietas lokal.

"Kami sedang menyebarluaskan padi dari Pak Surono itu ke sejumlah daerah, di antaranya ke Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan," ujarnya pula.

Menurut Sukirman dan penghitungan yang dilakukan tim Walhi, ujar Mukri lagi, satu butir padi tersebut menghasilkan tangkai buah padi paling sedikit 13 dan paling banyak 41 tangkai. Kelebihan dari padi asal Lampung ini, lebih cepat berbuah dan dalam tiga bulan sudah bisa dipanen dan tanpa mengenal pupuk serta berbeda dengan Padi Ciherang yang mayoritas ditanam oleh petani setempat.

Kondisi gagal panen itu tidak saja dirasakan oleh warga Desa Nusantara semata, namun merata di desa-desa di Kecamatan Air Sugihan.

Karena lokasi tersebut sebagai lumbung padi dan kini sedang mengalami kegagalan, maka Walhi berharap kepada pemerintah setempat untuk bisa meninjau lokasi dan sekaligus memberikan jalan keluar untuk meringkankan beban petani terutama terkait utang pengadaan pupuk dan obat-obatan pembasmi hama.

"Kami juga mengharapkan petani di Lampung sendiri bisa lebih luas mengembangan Padi Sertani karena sudah terbukti keunggulannya selaku padi lokal," ujar Mukri pula.

Pewarta :
Editor :
Copyright © ANTARA 2024