Bandarlampung, (ANTARA) - Ketua Komisi Informasi Publik (KIP) Lampung Juniardi mengharapkan momentum hari pers jadi bahan untuk evaluasi terhadap pers sendiri dan lembaga lain termasuk masyarakat dalam memaknai kebebasan pers.
"Melihat perkembangannya hingga hari ini, pers masih dalam banyak ancaman, mulai dari konstitusi hingga kriminalisasi terhadap pers," kata dia, di Bandarlampung.
Jika dikaitkan dengan UU Pers dan UU Keterbukaan Informasi, yang membedakan hanyalah bahwa pers terkait mencari mengolah, dan menyiarkan, sementara KIP adalah untuk setiap orang. Perslah yang paling sangat dekat dengan Informasi.
Setelah rezim Orde Baru 1998 jatuh, lanjut dia, kehidupan pers di Indonesia memasuki era kebebasan yang nyaris tanpa restriksi (pembatasan).
"Bila di era Orba terjadi banyak restriksi, di era reformasi ini pers menjadi bebas tanpa lagi ada batasan-batasan dari kebijakan pemerintah. Konstelasi tersebut, tentu sangat dibutuhkan pers dan dalam upaya perwujudan masyarakat demokratis serta perlindungan HAM," kata dia.
Juniardi pun menjelaskan, bukankah kebebasan untuk memperoleh dan menyebarluaskan informasi (inti dari kebebasan pers) diakui dalam konstitusi kita (pasal 28 junto pasal 28F UUD 45 amandemen keempat) serta pasal 19 Deklarasi Universal HAM.
"Di tengah kita memperjuangkan kebebasan pers, tapi faktanya saat ini tidak semua pers yang benar benar menjalankan amanat pers, yang netral. Tetapi banyak juga pers dan media yang berpihak pada penguasa. Dan terlibat kepentingan politik tertentu," tegasnya.
Ketua KIP Lampung itu pun menambahkan, bahwa pers yang bebas sangat penting dan fundamental bagi kehidupan demokratis. Sekalipun bisa diakui, bahwa pers yang bebas bisa baik dan buruk. Tapi, tanpa kebebasan pers, yang ada hanya celaka.
"Apakah pers profesional pengelola pers sekarang sudah meningkat? Secara umum saya lihat malah merosot. Dan itu diakui banyak kalangan tokoh pers sendiri," kata dia.
Juniardi pun menjelaskan, kebebasan pers yang sangat longgar saat ini tidak hanya menumbuhkan ratusan penerbit baru. Akan tetapi, juga menimbulkan kebebasan pers yang anarkis.
Kebebasan pers telah menghadirkan secara telanjang segala keruwetan dan kekacauan. Publik bisa menjadi leluasa membaca dan menyaksikan pola tingkah figur publik. Serta, hampir tidak ada lagi rahasia atau privasi.
"Ada kebebasan pers yang kebablasan dan hanya bisa dihentikan melalui pengadilan dan penegakan etika profesi oleh dewan pers atau atas kesadaran pengelola pers untuk menjaga kehormatan profesinya," kata dia.
Sekretaris Forum Martabat Guru Indonesia (FMGI) Lampung Gino Vanollie mengatakan era kebebasan informasi menjadikan rakyat bisa melihat secara terbuka apa pun yang ada.
"Ini momentum terbaik bagi pers untuk membangun masyarakat, dan mendorong kemajuan bangsa," kata dia.
Menurut Gino yang juga Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Waykanan itu, persoalan mendasar saat ini adalah munculnya beragam organisasi pers dan tidak diimbangi dengan kompetensi anggotanya.
"Kita masyarakat di lapangan sering dibuat jengah dengan oknum mengatasnamakan warga pers, tetapi tidak memiliki kompetensi dan media yang layak. Bahkan melakukan tindakan atau kepentingan-kepentingan yang tidak sesuai dengan dunia pers sendiri, serta ada pula yang tidak independen," terang dia.
Namun, lanjutnya, masih ada yang berpihak di tengah, artinya tetap menjaga independensi yakni Kantor Berita ANTARA.
"Saya secara pribadi mengapresiasi ANTARA, sampai saat ini masih menempatkan posisi di tengah, atau menjaga independensi," katanya.
Bahkan, lanjutnya, keberadaannya menjadikan oase tersendiri di tengah informasi yang serba terbuka. (ant)
"Melihat perkembangannya hingga hari ini, pers masih dalam banyak ancaman, mulai dari konstitusi hingga kriminalisasi terhadap pers," kata dia, di Bandarlampung.
Jika dikaitkan dengan UU Pers dan UU Keterbukaan Informasi, yang membedakan hanyalah bahwa pers terkait mencari mengolah, dan menyiarkan, sementara KIP adalah untuk setiap orang. Perslah yang paling sangat dekat dengan Informasi.
Setelah rezim Orde Baru 1998 jatuh, lanjut dia, kehidupan pers di Indonesia memasuki era kebebasan yang nyaris tanpa restriksi (pembatasan).
"Bila di era Orba terjadi banyak restriksi, di era reformasi ini pers menjadi bebas tanpa lagi ada batasan-batasan dari kebijakan pemerintah. Konstelasi tersebut, tentu sangat dibutuhkan pers dan dalam upaya perwujudan masyarakat demokratis serta perlindungan HAM," kata dia.
Juniardi pun menjelaskan, bukankah kebebasan untuk memperoleh dan menyebarluaskan informasi (inti dari kebebasan pers) diakui dalam konstitusi kita (pasal 28 junto pasal 28F UUD 45 amandemen keempat) serta pasal 19 Deklarasi Universal HAM.
"Di tengah kita memperjuangkan kebebasan pers, tapi faktanya saat ini tidak semua pers yang benar benar menjalankan amanat pers, yang netral. Tetapi banyak juga pers dan media yang berpihak pada penguasa. Dan terlibat kepentingan politik tertentu," tegasnya.
Ketua KIP Lampung itu pun menambahkan, bahwa pers yang bebas sangat penting dan fundamental bagi kehidupan demokratis. Sekalipun bisa diakui, bahwa pers yang bebas bisa baik dan buruk. Tapi, tanpa kebebasan pers, yang ada hanya celaka.
"Apakah pers profesional pengelola pers sekarang sudah meningkat? Secara umum saya lihat malah merosot. Dan itu diakui banyak kalangan tokoh pers sendiri," kata dia.
Juniardi pun menjelaskan, kebebasan pers yang sangat longgar saat ini tidak hanya menumbuhkan ratusan penerbit baru. Akan tetapi, juga menimbulkan kebebasan pers yang anarkis.
Kebebasan pers telah menghadirkan secara telanjang segala keruwetan dan kekacauan. Publik bisa menjadi leluasa membaca dan menyaksikan pola tingkah figur publik. Serta, hampir tidak ada lagi rahasia atau privasi.
"Ada kebebasan pers yang kebablasan dan hanya bisa dihentikan melalui pengadilan dan penegakan etika profesi oleh dewan pers atau atas kesadaran pengelola pers untuk menjaga kehormatan profesinya," kata dia.
Sekretaris Forum Martabat Guru Indonesia (FMGI) Lampung Gino Vanollie mengatakan era kebebasan informasi menjadikan rakyat bisa melihat secara terbuka apa pun yang ada.
"Ini momentum terbaik bagi pers untuk membangun masyarakat, dan mendorong kemajuan bangsa," kata dia.
Menurut Gino yang juga Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Waykanan itu, persoalan mendasar saat ini adalah munculnya beragam organisasi pers dan tidak diimbangi dengan kompetensi anggotanya.
"Kita masyarakat di lapangan sering dibuat jengah dengan oknum mengatasnamakan warga pers, tetapi tidak memiliki kompetensi dan media yang layak. Bahkan melakukan tindakan atau kepentingan-kepentingan yang tidak sesuai dengan dunia pers sendiri, serta ada pula yang tidak independen," terang dia.
Namun, lanjutnya, masih ada yang berpihak di tengah, artinya tetap menjaga independensi yakni Kantor Berita ANTARA.
"Saya secara pribadi mengapresiasi ANTARA, sampai saat ini masih menempatkan posisi di tengah, atau menjaga independensi," katanya.
Bahkan, lanjutnya, keberadaannya menjadikan oase tersendiri di tengah informasi yang serba terbuka. (ant)