Pendapat Menkes atas pendidikan dokter dan harga obat

id Harga obat, jasa titip obat,STR/SIP, pendidikan dokter, RUU Kesehatan

Pendapat Menkes atas pendidikan dokter dan harga obat

Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin (tengah) saat menyampaikan keterangan kepada wartawan usai menghadiri agenda Public Hearing Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan di Gedung Kemenkes Kuningan, Jakarta, Rabu (15/3/2023). (ANTARA/Andi Firdaus)

Jakarta (ANTARA) - Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan keterkaitan biaya pendidikan kedokteran yang mahal dengan harga obat yang kini berlipat di Tanah Air.

"Kalau beda pajak, bedanya persen dong, 20 persen, 30 persen. Kalau di sana (luar negeri) 1.000, di Indonesia 4.000 (persen), itu namanya kali lipat, bukan persen lagi. Empat kali, tiga kali, itu enggak mungkin urusan pajak. Kalau pajak tuh beda 30 persen, 40 persen," kata Budi Gunadi Sadikin dalam agenda Public Hearing Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan di Gedung Kemenkes Kuningan, Jakarta, Rabu.

Budi yang juga mantan Direktur Perbankan Mikro PT Bank Mandiri (2006), meyakini jika harga obat yang berlipat di Indonesia dipengaruhi biaya penjualan dan pemasaran atau sales and marketing expances yang dibebankan pada harga obat di Indonesia.

Menurut Budi, fenomena itu memiliki keterkaitan dengan biaya pendidikan dokter yang mahal dalam memperoleh Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin Praktik (SIP).

Berdasarkan laporan Wakil Menteri Kesehatan RI Prof dr Dante Sakono Harbuwono, kata Budi, besaran biaya untuk penerbitan STR/SIP berkisar Rp6 juta per orang. Sedangkan jumlah rata-rata penerbitan STR untuk dokter spesialis per tahun mencapai 77 ribu sertifikat.

"Aku kan bankir, 77 ribu dikali Rp6 juta kan Rp430 miliar setahun. Oh, pantas ribut," katanya.

Untuk memperoleh STR, kata Budi, seorang peserta didik kedokteran membutuhkan 250 Satuan Kredit Partisipasi (SKP) yang dapat diperoleh dengan mengikuti kegiatan tertentu, salah satunya seminar.

Sekali penyelenggaraan seminar, kata Budi, rata-rata memperoleh empat SKP dengan biaya berkisar Rp1 juta per peserta.

"Jadi, kalau ada 250 SKP per tahun, menjadi Rp62 juta, dikali 140 ribu jumlah dokter, itu kan Rp1 triliun lebih," katanya.

Budi mengatakan besaran biaya itu harus ditanggung dokter untuk menebus kelulusan.

"Kasihan dokternya, karena mereka harus membayar. Kalau dokternya gak bayar, nanti dibayarin orang lain, dan obat jadi mahal karena sales and marketing expances jadi naik. Menderita juga rakyatnya," katanya.

Budi mengungkap persoalan itu dalam upaya memperbaiki layanan kesehatan terhadap masyarakat melalui RUU Kesehatan yang kini sedang dalam pembahasan bersama pemangku kebijakan bersama masukan masyarakat.