Bandarlampung (ANTARA) - Direktur Indonesian Court Monitoring (ICM) Tri Wahyu menilai proses eksaminasi yang dilakukan ahli hukum dapat mempengaruhi independensi majelis hakim yang mengadili Peninjauan Kembali (PK) terpidana korupsi Mardani Maming.
"Eksaminasi dilakukan dalam situasi pengajuan PK terpidana, sehingga rentan mempengaruhi independensi majelis hakim PK. Publik Indonesia juga wajar bertanya, siapa sponsor eksaminasi dan publikasi buku eksaminasi tersebut," ujar Tri Wahyu dalam pernyataan di Bandarlampung, Jumat.
Menurut dia, eksaminasi yang dituangkan para ahli hukum ke dalam sebuah buku tersebut justru berlawanan dengan sikap pemberantasan korupsi yang sedang berjalan di Indonesia.
"Tentu publik berharap banyak akademisi lintas kampus di Indonesia berperan serta mendukung penuh agenda pemberantasan korupsi dan bukan sebaliknya. Dalam kasus yang dieksaminasi, ada terkait suap, gratifikasi berbungkus fee," katanya.
Oleh karena itu, ia mengharapkan majelis hakim di Mahkamah Agung (MA) dapat berkomitmen dalam mengadili PK dengan memberikan putusan pro terhadap pemberantasan korupsi di tanah air.
"ICM meminta MA khususnya hakim PK untuk tetap independen dalam memutus perkara PK dan tetap berkomitmen pro pemberantasan korupsi di Indonesia , melanjutkan komitmen warisan baik Alm Artidjo Alkostar," tandasnya.
Sementara itu, mantan Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Haryono Umar juga menilai proses eksaminasi tidak bisa dilakukan hanya dengan asumsi, karena harus didukung dengan dua alat bukti baru.
Menurut dia, eksaminasi yang didorong para ahli hukum terhadap perkara terpidana korupsi izin usaha pertambangan (IUP) Mardani Maming di tengah proses PK tidak bisa dilakukan hanya dengan pemikiran.
"Pernyataan (eksaminasi) harus didukung dengan minimal dua alat bukti baru. Tidak bisa hanya asumsi atau pemikiran," ujar Haryono.
Sebelumnya, terpidana korupsi Mardani Maming kembali mendaftarkan PK bernomor 784/PAN.PN/W15-U1/HK2.2/IV/2024 pada 6 Juni 2024 kepada MA dengan status saat ini dalam proses pemeriksaan majelis hakim.
Padahal, pengusaha asal Kalimantan Selatan tersebut terbukti menerima suap atas penerbitan SK Pengalihan IUP OP dari PT Bangun Karya Pratama Lestari (BKPL) kepada PT Prolindo Cipta Nusantara (PT PCN) dan telah divonis 10 tahun dengan denda Rp500 juta.
Mardani Maming sempat mengajukan banding atas putusan tersebut ke Pengadilan Tinggi (PT) Banjarmasin, tetapi justru mendapatkan tambahan hukuman menjadi 12 tahun.
Kemudian, mantan Bupati Tanah Bumbu tersebut mengajukan kasasi ke MA. Namun, Hakim Agung Suhadi didampingi Hakim Agung Agustinus Purnomo Hadi dan Hakim Agung Suharto, tegas menolak kasasi tersebut.
Untuk proses pengajuan PK terbaru, Komisi Yudisial (KY) telah menyurati pimpinan MA untuk memantau persidangan guna mencegah terjadinya pelanggaran kode etik dari majelis hakim.
"Eksaminasi dilakukan dalam situasi pengajuan PK terpidana, sehingga rentan mempengaruhi independensi majelis hakim PK. Publik Indonesia juga wajar bertanya, siapa sponsor eksaminasi dan publikasi buku eksaminasi tersebut," ujar Tri Wahyu dalam pernyataan di Bandarlampung, Jumat.
Menurut dia, eksaminasi yang dituangkan para ahli hukum ke dalam sebuah buku tersebut justru berlawanan dengan sikap pemberantasan korupsi yang sedang berjalan di Indonesia.
"Tentu publik berharap banyak akademisi lintas kampus di Indonesia berperan serta mendukung penuh agenda pemberantasan korupsi dan bukan sebaliknya. Dalam kasus yang dieksaminasi, ada terkait suap, gratifikasi berbungkus fee," katanya.
Oleh karena itu, ia mengharapkan majelis hakim di Mahkamah Agung (MA) dapat berkomitmen dalam mengadili PK dengan memberikan putusan pro terhadap pemberantasan korupsi di tanah air.
"ICM meminta MA khususnya hakim PK untuk tetap independen dalam memutus perkara PK dan tetap berkomitmen pro pemberantasan korupsi di Indonesia , melanjutkan komitmen warisan baik Alm Artidjo Alkostar," tandasnya.
Sementara itu, mantan Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Haryono Umar juga menilai proses eksaminasi tidak bisa dilakukan hanya dengan asumsi, karena harus didukung dengan dua alat bukti baru.
Menurut dia, eksaminasi yang didorong para ahli hukum terhadap perkara terpidana korupsi izin usaha pertambangan (IUP) Mardani Maming di tengah proses PK tidak bisa dilakukan hanya dengan pemikiran.
"Pernyataan (eksaminasi) harus didukung dengan minimal dua alat bukti baru. Tidak bisa hanya asumsi atau pemikiran," ujar Haryono.
Sebelumnya, terpidana korupsi Mardani Maming kembali mendaftarkan PK bernomor 784/PAN.PN/W15-U1/HK2.2/IV/2024 pada 6 Juni 2024 kepada MA dengan status saat ini dalam proses pemeriksaan majelis hakim.
Padahal, pengusaha asal Kalimantan Selatan tersebut terbukti menerima suap atas penerbitan SK Pengalihan IUP OP dari PT Bangun Karya Pratama Lestari (BKPL) kepada PT Prolindo Cipta Nusantara (PT PCN) dan telah divonis 10 tahun dengan denda Rp500 juta.
Mardani Maming sempat mengajukan banding atas putusan tersebut ke Pengadilan Tinggi (PT) Banjarmasin, tetapi justru mendapatkan tambahan hukuman menjadi 12 tahun.
Kemudian, mantan Bupati Tanah Bumbu tersebut mengajukan kasasi ke MA. Namun, Hakim Agung Suhadi didampingi Hakim Agung Agustinus Purnomo Hadi dan Hakim Agung Suharto, tegas menolak kasasi tersebut.
Untuk proses pengajuan PK terbaru, Komisi Yudisial (KY) telah menyurati pimpinan MA untuk memantau persidangan guna mencegah terjadinya pelanggaran kode etik dari majelis hakim.