Bandarlampung (ANTARA) - Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai biaya denda impor (demurrage) akibat peti kemas berisi beras impor yang tertahan di pelabuhan harus tetap dibayarkan untuk mengurangi kerugian negara.
"(Demurrage atau denda) itu yang dihitung sebagai kerugian negara kalau tidak dibayar," kata Fickar dalam pernyataan di Bandarlampung, Minggu.
Ia pun memastikan pihak berwenang harus segera meminta keterangan dari pengangkut, terkait kejelasan kontainer yang masih tertahan tersebut dan pembayaran biaya denda yang dikenakan.
"Jika sudah jelas siapa yang bertanggung jawab maka bisa diminta paksa membayar atau mengembalikan barang itu ke tempat awal pengiriman," ujar Fickar.
Selain itu, menurut dia, operator kepelabuhanan juga bisa meminta penetapan atas isi kontainer kepada pengadilan apabila tidak ada kejelasan dari pemilik peti kemas tersebut.
"Jika tidak jelas juga, pihak pelabuhan bisa minta penetapan ke pengadilan untuk diputuskan menjadi milik negara atau dimusnahkan," katanya.
Sementara itu, Kementerian Perindustrian mencatat adanya sekitar 26.425 peti kemas yang masih tertahan di Pelabuhan Tanjung Priok dan Tanjung Perak. Dari peti kemas tersebut, sebanyak 1.600 di antaranya diduga merupakan beras impor.
Sebelumnya, Studi Demokrasi Rakyat (SDR) melaporkan Perum Bulog dan Bapanas kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Rabu (3/7), atas dugaan penggelembungan harga beras impor dari Vietnam serta kerugian negara akibat demurrage di pelabuhan.
Meski demikian, belum ada perkembangan lanjutan terkait penanganan kasus tersebut, karena penyelidikan yang dilakukan oleh KPK masih bersifat rahasia.
Dugaan kerugian demurrage senilai Rp294,5 miliar muncul karena impor terhambat oleh dokumen pengadaan impor yang tidak layak dan lengkap, sehingga menimbulkan biaya denda peti kemas di sejumlah wilayah kepabeanan tempat masuknya beras impor.
"(Demurrage atau denda) itu yang dihitung sebagai kerugian negara kalau tidak dibayar," kata Fickar dalam pernyataan di Bandarlampung, Minggu.
Ia pun memastikan pihak berwenang harus segera meminta keterangan dari pengangkut, terkait kejelasan kontainer yang masih tertahan tersebut dan pembayaran biaya denda yang dikenakan.
"Jika sudah jelas siapa yang bertanggung jawab maka bisa diminta paksa membayar atau mengembalikan barang itu ke tempat awal pengiriman," ujar Fickar.
Selain itu, menurut dia, operator kepelabuhanan juga bisa meminta penetapan atas isi kontainer kepada pengadilan apabila tidak ada kejelasan dari pemilik peti kemas tersebut.
"Jika tidak jelas juga, pihak pelabuhan bisa minta penetapan ke pengadilan untuk diputuskan menjadi milik negara atau dimusnahkan," katanya.
Sementara itu, Kementerian Perindustrian mencatat adanya sekitar 26.425 peti kemas yang masih tertahan di Pelabuhan Tanjung Priok dan Tanjung Perak. Dari peti kemas tersebut, sebanyak 1.600 di antaranya diduga merupakan beras impor.
Sebelumnya, Studi Demokrasi Rakyat (SDR) melaporkan Perum Bulog dan Bapanas kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Rabu (3/7), atas dugaan penggelembungan harga beras impor dari Vietnam serta kerugian negara akibat demurrage di pelabuhan.
Meski demikian, belum ada perkembangan lanjutan terkait penanganan kasus tersebut, karena penyelidikan yang dilakukan oleh KPK masih bersifat rahasia.
Dugaan kerugian demurrage senilai Rp294,5 miliar muncul karena impor terhambat oleh dokumen pengadaan impor yang tidak layak dan lengkap, sehingga menimbulkan biaya denda peti kemas di sejumlah wilayah kepabeanan tempat masuknya beras impor.