Bandarlampung (ANTARA) - Ratusan warga di Karimun Jawa yang selama ini bekerja dan menggantungkan kehidupan di sektor tambak udang, khususnya di Desa Kemujan dan Desa Karimun Jawa, kini kesulitan untuk mendapatkan sumber pendapatan baru yang bisa menjamin kelangsungan hidup mereka dan keluarganya.
Hal iu setelah lebih setahun operasional tambak udang di Karimun Jawa dihentikan secara paksa oleh penyidik Penegakkan Hukum (Gakkum) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK),
Demikian kesimpulan yang bisa ditarik dari percakapan media dengan sejumlah warga Desa Kemujan dan Desa Karimun Jawa, di Kecamatan Karimun Jawa, Jepara, Jateng, pada Jumat (14/6/2024). Diketahui, lokasi sebanyak 33 tambak udang existing yang kini ditutup secara paksa aparat Gakkum KLHK memang tersebar di kedua desa tersebut.
Rikan, warga asli Dusun Mrican Desa Kemujan, Karimun Jawa, dalam keterangannya, Jumat, menegaskan selama tambak-tambak udang beroperasi, baik yang bersifat tradisional maupun semi intensif, warga Karimun Jawa tidak pernah mengalami kesulitan sebagaimana yang mereka alami saat ini. Pria kelahiran tahun 1971 itu bahkan berani memastikan, ketika tambak udang masih ada, tidak ada warga Dusun Mrican yang menganggur.
"Ya, asalkan mau bekerja keras, tambak udang memang menyediakan berbagai jenis pekerjaan yang bisa dikuasai oleh siapa saja tanpa perlu mengenyam pendidikan khusus. Mulai sopir angkutan udang menuju ke pengepul, penebar benih, penebar pakan, pemanen, penyortir udang, bagian penimbangan, pengepakan, teknisi genset, dan masih banyak lagi jenis pekerjaan lainnya," ujarnya.
Menurut perkiraan Rikan, ada 400 orang lebih warga Karimun Jawa yang bekerja dalam pola yang menetap di lokasi tambak. Sedangkan ribuan warga lainnya, merupakan pekerja yang bersifat tidak langsung namun memiliki kontribusi terhadap kelangsungan tambak. Semisal, para pedagang keliling dan warung makan di sekitar lokasi tambak, tukang ojek, ataupun jenis pekerjaan lain yang masih terhubungan dengan aktivitas tambak udang.
“Setelah tambak tutup, dampaknya sangat luar biasa. Kehidupan menjadi luar biasa sulit. Sebagian dari mereka mencoba terjun ke laut ikut kapal nelayan untuk berburu cumi, tapi terkendala angin barat dan keahlian yang kurang bagus. Ada yang coba-coba membantu petani rumput laut, ngojek, jadi kuli bangunan, pokoknya kerja apapun asalkan bisa dapat uang untuk menghidupi keluarga mereka. Banyak juga yang memutuskan untuk merantau karena sudah tidak tahan hidup tanpa pendapatan. Kami ini rakyat kecil hanya bisa pasrah saja menerima keadaan,” papar Rikan dengan suara lirih.
Warga lain yang bermukim di Desa Karimun Jawa, berinisial S menjelaskan secara lebih rinci perihal bagaimana lokasi tambak udang pernah mampu memberi jaminan pendapatan yang teratur dan cukup besar bagi warga Karimun Jawa.
Ketika pemilik tambak melakukan persiapan lokasi untuk penebaran benih, hingga penebaran benih, pemberian pakan dan perawatan, ratusan warga Desa Kemujan dan Desa Karimun Jawa terserap sebagai pekerja harian dengan upah rata-rata Rp150.000/hari.
“Kegembiraan warga Karimun Jawa itu selalu datang saat masa panen tiba. Pekerjaan selama masa panen dilakukan secara borongan dan berkelompok. Ada kelompok penjaring, ada kelompok pemikul, kelompok penyortir, dan kelompok penimbang. Masing-masing kelompok terdiri 6--8 orang, dengan upah bervariasi, tapi jatuhnya tetap lebih besar dibanding harian,” ujar S, mengenang masa-masa kehidupan penuh kemudahan di Karimun Jawa sebelum tambak-tambak ditutup.
Dipaparkan oleh S, upah kelompok penjaring udang yang beranggotakan 6--8 orang dipatok sebesar Rp860.000 untuk hasil panen sebanyak satu truk ukuran sedang dengan sekali muat sekitar 35 ton. Sedangkan upah borongan pekerjaan tukang pikul mencapai Rp980.000 untuk satu truk ukuran sama.
S juga menerangkan, untuk kelompok penyortir dan pengepakan, upahnya mencapai rata-rata Rp1.000.000 untuk satu truknya.
"Kalau lokasi tambaknya luas seperti milik Pak Trisno yang kini ditahan, para pekerja ini bisa dapat upah sampai puluhan truk. Tinggal tergantung seberapa kuat tenaganya," kenangnya.
Bila menilik fenomena angka pengangguran yang dirilis resmi oleh perangkat Desa Karimun Jawa, penuturan Rikan dan seorang warga lain berinisial S itu, bisa dipastikan bukan hanya isapan jempol. Statistik resmi Desa Karimun Jawa melalui website yang dirilis pada tahun 2024 mencatatkan angka pengangguran yang relatif tinggi dan mencemaskan, yakni sebanyak 1.042 orang usia kerja produktif atau sebesar 24.27 persen.
Bila angka pengangguran tersebut ditambahkan dengan kelompok usia kerja yang tercatat berkegiatan hanya mengurus rumah tangga, yakni sebesar 1.009 orang, total usia produktif yang tidak terserap di satu desa itu saja mencapai 2.051 orang atau 47,77 persen. Sayangnya, kondisi angkatan kerja pascapenutupan tambak udang di Desa Kemujan belum bisa diketahui lantaran website resmi perangkat Desa Kemujan tidak menerbitkan data tersebut.
Kritik Praktisi Pariwisata
Fenomena kleleran atau dalam ungkapan lain lontang-lantung, yang dialami sebagian warga Karimun Jawa lantaran tidak memiliki pekerjaan jelas pascapenutupan paksa tambak udang, mengundang kritik pedas dari seorang praktisi bidang pariwisata senior alumni Sastra Perancis Universitas Indonesia (UI) Sunarto (62).
Pria yang sudah puluhan tahun malang melintang di dunia pariwisata dan kini berkecimpung di bisnis turisme bahari itu memaparkan, langkah pemerintah lokal di Karimun Jawa yang ingin mengubah haluan ekonomi daerah dari sektor budidaya udang ke sektor wisata maritim berlangsung dengan sangat sembrono dan dilakukan tanpa perhitungan cermat.
Menurut Sunarto yang kini bermukim di Ubud, Bali, Pemerintah Kabupaten Jepara, Balai Taman Nasional Karimun Jawa, bahkan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, seharusnya mempersiapkan terlebih dahulu perubahan yang bakal dialami oleh warga Karimun Jawa. Di antaranya, dengan memberi bekal ketrampilan di sektor utama yang hendak digalakkan, yakni sektor wisata maritim.
"Kebiasaan warga usia produktif yang biasa bekerja di sektor tambak butuh adaptasi dengan pendidikan ketrampilan yang cukup untuk dialihkan ke sektor wisata. Hal ini sama sekali tidak terlihat dilakukan, sehingga berpotensi sektor wisata bahari di Karimun Jawa pun kelak dikuasai oleh para pekerja yang berasal dari luar Karimun Jawa. Ini tidak benar sama sekali,"tandas Sunarto.
Sunarto memaparkan, kemampuan dan niat baik Pemkab Jepara dalam melakukan pendekatan dan sosialisasi tentang kegiatan pariwisata serta pemberian bekal keterampilan khusus kepada warga Karimun Jawa, akan menjadi penentu sukses atau tidaknya proses peralihan sumber daya ekonomi dari budidaya tambak ke sektor wisata bahari. Lebih jauh Sunarto menggambarkan, jenis pekerjaan wisata maritim lazimnya adalah snorkeling, diving, menjejaki biota laut langka seperti ikan hiu dan manta.
Pekerjaan sejenis itu, menurut Sunarto, tidak mungkin bisa dikuasai warga dalam waktu singkat, tanpa didahului oleh adanya bimbingan dan pelatihan.
"Sebaliknya, jika sektor wisata bahari benar-benar terwujud di Karimun Jawa, dan tenaga kerjanya diisi oleh pendatang, maka hal itu justru berpotensi memicu kerawanan sosial di kemudian hari," pungkasnya.
Keberadaan budidaya udang terbukti telah memberi jaminan ketersediaan lapangan kerja bagi warga lokal. Perlu dipertimbangkan adanya masa transisi, sehingga perubahan tidak dilakukan secara serta-merta.