JAKARTA (ANTARA) - Ada banyak profesi yang memerlukan dukungan citra diri positif karena jenis pekerjaan berhubungan dengan khalayak. Atas kebutuhan itu, lantas orang berupaya membangun citra diri yang baik, dengan--salah satunya--manajemen kesan. Lantas bagaimana agar kesan baik itu melekat, tidak terhenti sebatas pada pandangan pertama saja?

Mengenai manajemen kesan (impression management) ini, sosiolog Universitas Udayana, Denpasar, Bali, Wahyu Budi Nugroho, M.A., mengaitkannya dengan Teori Dramaturgi yang dikenalkan oleh Erving Goffman pada tahun 1959 lewat bukunya yang berjudul Presentation of Self in Everyday Life.

Menurut Wahyu, dalam kehidupan sosial di masyarakat, manajemen kesan atau manajemen aib itu terkait bagaimana seseorang berupaya menampilkan hal baik dalam dirinya, untuk memengaruhi persepsi orang lain. Bersamaan dengan itu, yang bersangkutan akan menyembunyikan kekurangan dan kesalahannya.

Agar citra diri tidak bersifat kamuflase dan kesan sesaat, seseorang perlu membangun pribadi yang baik terlebih dulu sehingga citra positif akan terpancar dari dalam seperti halnya inner beauty, bukan sekadar polesan riasan.

Membangun pribadi baik adalah bicara software individu, bukan laku visual yang dapat dibuat-buat. Bagaimana menciptakannya, berikut sejumlah hal di antaranya:

Lakukan tujuh hal

1. Tulus. Lakukan segala hal baik tanpa pamrih, lakukan saja atas nama kebaikan, tanpa ingin dilihat orang, mendapat perhatian atau pujian, apalagi mengharap imbalan. Beri senyuman tulus pada siapa saja yang berpapasan, untuk menebar energi positif pada sesama. Segala yang berasal dari hati, akan sampai ke hati juga.

2. Memberi. Konsep cinta adalah memberi, karena kita harus menggaungkan cinta kepada sesama serta alam seisinya, maka berilah apa saja yang anda punya. Memberi ilmu dan wawasan pada yang bertanya, memberi makan pada orang yang lapar, juga memberi perhatian kepada satwa dan tumbuhan.

3. Menolong. Mempermudah urusan orang lain, menyediakan diri menjadi solusi bagi setiap permasalahan yang datang diadukan. Membantu meringankan beban orang yang sedang kesulitan. Ulurkan tanganmu setiap waktu bagi orang-orang yang memerlukan pertolongan.

4. Mengapresiasi. Pujilah hasil kerja atau karya orang lain, betapa pun itu kurang layak untuk dibanggakan. Besarkanlah hati orang, agar ia tak patah arang untuk membuat karya yang lebih baik lagi.

5. Berempati. Tempatkan dirimu pada posisi orang yang sedang kurang beruntung, rasakan sakit dan kekecewaannya, lantas berilah dukungan moril atau apa pun itu.

6. Jujur, apa adanya. Bersikap wajar, normal, tidak dibuat-buat dan too much atau lebay.

7. Respons cepat. Komunikatif, jangan menunda membalas pesan, mengangkat panggilan telepon atau menjawab sapaan orang. Bila memang masih dalam keadaan sibuk, setidaknya jelaskan situasinya agar orang memahami. Jika berada dalam situasi tidak dapat berkomunikasi via telepon genggam, lebih baik ponsel dimatikan atau disetel dengan mode pesawat, agar pesan tidak masuk namun terabaikan. Ketika kesibukan telah mereda, luangkan waktu untuk merespons ulang pesan atau telpon yang membutuhkan jawaban panjang dan detail.

Dengan memiliki setidaknya tujuh hal baik itu, akan menjadikan seseorang berkepribadian menarik. Namun juga harus dibarengi dengan menghindari hal buruk, sebagaimana terangkum di bawah ini:

Tiga jangan

1. Pamer. Memamerkan harta benda demi memperoleh pengakuan, memamerkan sensualitas tubuh dan mempertontonkan kemesraan di ruang publik untuk memuaskan hasrat narsistik.

2. Pura-pura (bohong). Berperilaku seolah-olah, bukan yang sebenarnya dan sesuai kehendaknya, demi tujuan menutupi hal tertentu dan menampilkan kesan yang diinginkan.

3. Drama. Memanfaatkan kelemahan untuk bermain peran sebagai korban atau playing victim.

Ilmuwan psikologi Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Jawa Tengah, Aldani Putri Wijayanti S.Psi., M.Sc., menggolongkan orang dengan aksi kepura-puraan itu sebagai mythomania atau orang dengan tendensi kepribadian narsistik.

“Itu mythomania ya, orang yang berbohong demi mendapatkan impresi atau memuaskan citra diri ideal yang diharapkan,” kata Alda, panggilan akrabnya.

Orang yang sibuk membangun kesan, apakah di dunia nyata atau di media sosial, dengan aksi pamer atau kepura-puraan, sesungguhnya dia adalah orang yang rendah diri.

“Dia mungkin memang butuh pengakuan dia punya inferiority complex karena merasa sebenarnya dirinya itu inferior gitu ya, jadi butuh divalidasi oleh orang lain butuh terus-menerus diakui gitu,” paparnya.

Mengapa orang bisa bermain drama di kehidupan nyata, Wahyu Budi Nugroho, dengan meminjam perspektif dari sosiolog Max Weber mengungkapkan bahwa tindakan setiap manusia itu rasional, oleh karena setiap orang akan merasionalkan tindakannya sebagai upaya pembenaran.

Lantas Wahyu, Koordinator Prodi Sosiologi FISIP Universitas Udaya itu, mengambil contoh orang yang playing victim, umumnya mereka bermain di wilayah rasionalitas nilai dan afeksi.

“Dan, ketika tindakan itu ketahuan atau dicemooh, pelaku kemudian berupaya agar orang lain melihat rasionalitas tindakannya atau alasan mengapa dia melakukan hal itu,” jelasnya.

Sementara, untuk memiliki citra diri positif, tiga hal buruk tersebut haruslah dihindari.

Dalam dunia kerja, terutama mereka yang berkaitan dengan pelayanan umum atau para selebritas dan figur publik, reputasi baik amatlah penting.

Anda yang memiliki citra positif akan dihampiri banyak keberuntungan dan tawaran kesempatan, begitupun sebaliknya.

Tentu masih segar di ingatan, bagaimana selebritas yang terlibat kasus KDRT langsung masuk daftar hitam dan diputus kontrak dalam berbagai proyek, sedangkan pejabat yang memiliki harta tak wajar dan pamer kemewahan, dia menjemput petaka, diusut KPK, dan kehilangan jabatan.

Maka jadilah pribadi yang baik bereputasi bagus dan segera songsong keberuntunganmu.


Pewarta : Sizuka
Editor : Hisar Sitanggang
Copyright © ANTARA 2024