Denpasar (ANTARA) - Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Pemerintahan Mahasiswa (BEM PM) Universitas Udayana Darryl Dwi Putra menanggapi tuduhan yang menyebut dirinya sebagai provokator untuk menolak G20.
"Itu saya juga cukup kaget, karena di siang hari tadi tiba-tiba ramai (di media sosial, Red) dan memang saya duga akun-akun bodong, cuma memang awalnya muncul ketika saya membuat kisah Instagram untuk mempertanyakan terkait ruang demokrasi yang dipersempit selama G20," kata Darryl.
Di Denpasar, Bali, Rabu (16/11) malam, Ketua BEM PM Universitas Udayana itu menegaskan bahwa dirinya tidak melakukan provokasi, lantaran selama ini Darryl tidak pernah menyatakan untuk menolak G20, namun namanya ramai disebut menggunakan tagar di platform Twitter hingga menjadi topik teratas.
"Iya memang saya tidak pernah menyebutkan saya mendukung atau menolak, tapi saya memang mengkritisi bagaimana ketika G20 ini berjalan, apa-apa saja yang menjadi permasalahan," ujar mahasiswa Bali tersebut.
Adapun yang dimaksud dirinya terkait mempersempit ruang demokrasi adalah salah satunya soal pembubaran kelompok mahasiswa yang hendak melakukan diskusi di Gedung Media Center Universitas Udayana pada Senin (14/11) lalu.
Darryl menuturkan, mulanya ia menaikkan sebuah gambar yang diunggah kembali dari akun milik Bangsa Mahasiswa, dalam kisah Instagram tersebut ia menambahkan pertanyaan soal tanggapan penonton mengenai ruang demokrasi yang dipersempit, namun tak lama unggahan tersebut lenyap dengan sendirinya.
Lebih jauh, Ketua BEM perguruan tinggi tertua di Pulau Dewata itu mengatakan bahwa organisasi lingkungan Greenpeace terlebih dahulu mengunggah hal serupa sebagai bentuk pandangannya terkait krisis iklim.
"Tapi memang makna dari kisah Instagram yang saya sebutkan adalah untuk menyampaikan pertanyaan saya, dan saya ingin memantik forum diskusi makanya saya juga meletakkan kolom pertanyaan di sana," ujarnya meluruskan.
Ia sendiri memandang perhelatan G20 yang berhasil dilewati puncaknya dua hari di Bali itu sebagai pertemuan yang menghadirkan sisi pro dan kontra, namun Darryl menyatakan harapannya agar segala kesepakatan dan janji dalam forum tersebut berpihak kepada masyarakat.
Terhadap akun-akun yang ramai menyebut namanya di media sosial, Darryl mengaku belum dapat memutuskan langkah selanjutnya untuk mengusut maupun tidak, dan saat ini tuduhan di sosial media tersebut mulai mereda.
"Itu saya juga cukup kaget, karena di siang hari tadi tiba-tiba ramai (di media sosial, Red) dan memang saya duga akun-akun bodong, cuma memang awalnya muncul ketika saya membuat kisah Instagram untuk mempertanyakan terkait ruang demokrasi yang dipersempit selama G20," kata Darryl.
Di Denpasar, Bali, Rabu (16/11) malam, Ketua BEM PM Universitas Udayana itu menegaskan bahwa dirinya tidak melakukan provokasi, lantaran selama ini Darryl tidak pernah menyatakan untuk menolak G20, namun namanya ramai disebut menggunakan tagar di platform Twitter hingga menjadi topik teratas.
"Iya memang saya tidak pernah menyebutkan saya mendukung atau menolak, tapi saya memang mengkritisi bagaimana ketika G20 ini berjalan, apa-apa saja yang menjadi permasalahan," ujar mahasiswa Bali tersebut.
Adapun yang dimaksud dirinya terkait mempersempit ruang demokrasi adalah salah satunya soal pembubaran kelompok mahasiswa yang hendak melakukan diskusi di Gedung Media Center Universitas Udayana pada Senin (14/11) lalu.
Darryl menuturkan, mulanya ia menaikkan sebuah gambar yang diunggah kembali dari akun milik Bangsa Mahasiswa, dalam kisah Instagram tersebut ia menambahkan pertanyaan soal tanggapan penonton mengenai ruang demokrasi yang dipersempit, namun tak lama unggahan tersebut lenyap dengan sendirinya.
Lebih jauh, Ketua BEM perguruan tinggi tertua di Pulau Dewata itu mengatakan bahwa organisasi lingkungan Greenpeace terlebih dahulu mengunggah hal serupa sebagai bentuk pandangannya terkait krisis iklim.
"Tapi memang makna dari kisah Instagram yang saya sebutkan adalah untuk menyampaikan pertanyaan saya, dan saya ingin memantik forum diskusi makanya saya juga meletakkan kolom pertanyaan di sana," ujarnya meluruskan.
Ia sendiri memandang perhelatan G20 yang berhasil dilewati puncaknya dua hari di Bali itu sebagai pertemuan yang menghadirkan sisi pro dan kontra, namun Darryl menyatakan harapannya agar segala kesepakatan dan janji dalam forum tersebut berpihak kepada masyarakat.
Terhadap akun-akun yang ramai menyebut namanya di media sosial, Darryl mengaku belum dapat memutuskan langkah selanjutnya untuk mengusut maupun tidak, dan saat ini tuduhan di sosial media tersebut mulai mereda.