Bandarlampung (ANTARA) - Memiliki lahan bersertifikat bukan berarti bebas konflik atau aman dari penguasaan secara ilegal oleh pihak lain, karena kelompok mafia tanah bisa memiliki sertifikat palsu dengan memalsukan dokumen. Tetapi, lahan yang memiliki sertifikat jauh lebih aman dibandingkan dengan tanah yang sama sekali belum didaftarkan status penguasaan atasnya.

Mafia pertanahan itu adalah kejahatan sistematis, terencana dan melibatkan sejumlah oknum dari berbagai kalangan, dengan profesi berbeda, termasuk oknum karyawan ATR/BPN yang seharusnya menjadi benteng dalam menegakkan tertib pertanahan.

Modus mafia tanah, sebagaimana disampaikan dalam leaflet Polda Lampung, ada sejumlah cara, seperti mengambil tanah kosong; kemudian mengubah data-data lahan itu di Pusat Data dan Informasi Pertanahan, Tata Ruang dan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (Pusdatin) Kementerian ATR/BPN dengan bekerja sama dengan oknum BPN.

Cara lainnya adalah mengubah nama dan luas tanah. Berikutnya, jika memiliki akses ke Pusdatin Kementerian ATR/BPN secara ilegal, cukup mengubah data-data tanah pada sertifikat elektronik.

Modus lainnya adalah menguasai tanah tanpa izin di atas lahan yang sudah memiliki hak (seperti Hak Milik/HGU/HGB/HPL), mengubah batas tanah dan menduplikasi dokumen pertanahan.

Tak jarang kejahatan mafia tanah itu bukan hanya sekadar merebut tanah orang lain dengan memalsukan administrasi pertanahan, tetapi juga menyasar kepada perubahan peruntukan penggunaan lahan melalui revisi tata ruang wilayah. Revisi tata ruang tentu melibatkan pemerintah dan dewan.

Kasus-kasus mafia tanah bukan hanya terjadi di daerah perkotaan, sehubungan harga lahan di perkotaan makin mahal, tetapi juga melanda daerah perdesaan, seperti halnya di di wilayah Provinsi Lampung.

Sengketa tanah di Lampung bukan lagi antara perusahaan perkebunan besar kontra masyarakat, seperti terjadi di Lampung Tengah, Tulangbawang, Lampung Selatan, dan Mesuji, tetapi juga menyasar lahan penduduk desa yang umumnya berprofesi sebagai petani.

Kanwil ATR/BPN Provinsi Lampung dalam suatu pemberitaan, mencatat ada 50 sengketa kasus tanah di kota/kabupaten, yang dilaporkan ke BPN. Sementara Ditreskrimun Polda Lampung telah menangani 285 kasus pertanahan, mulai 2020 - 2021, dan 198 kasus di antaranya telah berhasil dituntaskan.

Pada tahun 2022, kasus mafia tanah menonjol yang ditangani kepolisian di Lampung, adalah penyerobotan tanah seluas 7.250 di Kota Bandarlampung yang melibatkan tiga orang, yakni seorang wiraswasta, mantan honorer BPN Kota Bandarlampung, dan mantan ASN BPN Kota Bandarlampung. Pengungkapan kasus itu merupakan hasil kerja sama Polda Lampung dan Kantor ATR/BPN Kota Bandarlampung sehubungan adanya laporan pemalsuan kuitansi jual beli. pemalsuan isi sporadik dan pemalsuan dua sertifikat tanah.

Kasus mafia tanah paling anyar di Lampung adalah penyerobotan tanah seluas 10 hektare di Desa Malang Sari, Kecamatan Tanjung Sari, Lampung Selatan. Kasus penyerobotan ini terjadi pada Juni 2020, namun para pelakunya sebanyak 5 orang ditangkap pada Oktober 2022.

Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Lampung menangkap lima orang tersangka dalam perkara dugaan tindak pidana pemalsuan dokumen sertifikat hak milik (SHM), yakni seorang pensiunan polisi berinisial SJO (80), Kades Gunung Agung Lampung Timur berinisial SYT (68), Kepala Satpol PP Lampung Timur berinisial SHN (58), seorang notaris dan PPAT berinisial RA (49), serta juru ukur pada Kantor BPN Kabupaten Pesisir Barat berinisial FBM (44).

Seorang tersangka SJO yang merupakan pensiunan Polri, menjual objek tanah seluas 10 hektare yang berada di Desa Malang Sari, Kabupaten Lampung Selatan, dengan menggunakan dokumen pendukung kepemilikan yang diduga palsu.

Dokumen tersebut, sebagaimana disampaikan Direktur Reserse Kriminal Umum (Dir Reskrimum) Polda Lampung Kombes Pol Reynoald Hutagalung , dibuatkan oleh tersangka SYT, selaku Kades Gunung Agung, Lampung Timur. Karena dikuatkan tersangka SHN atas permintaan SJO, letak wilayah administrasi objek tanah yang semula berada di Desa Gunung Agung, Lampung Timur, berpindah ke Desa Malang Sari, Lampung Selatan.

Dalam pengungkapan tindak pidana pemalsuan dokumen tersebut, polisi menyita barang bukti berupa SHM NO.00021 Tahun 2020, Warkah SHM NO.00021 Tahun 2020, SHM NO.00022 Tahun 2020, Warkah SHM NO.00022 Tahun 2020, SHM NO.00023 Tahun 2020, Warkah SHM NO.00023 Tahun 2020, SHM NO.00024 Tahun 2020, Warkah SHM NO.00024 Tahun 2020, SHM NO.00025 Tahun 2020, Warkah SHM NO.00025 Tahun 2020, SHM NO.00026 Tahun 2020, Warkah SHM NO.00026 Tahun 2020, dan kuitansi pembayaran pembelian tanah sebesar Rp900 juta.


Penindakan dan sertifikasi

Tindakan yang tegas, masif dan cepat proses hukumnya adalah salah satu upaya untuk memberantas mafia pertanahan, selain perbaikan regulasi, mempercepat reformasi birokrasi, memperluas penerapan reformasi agraria dan mencari dukungan politik yang luas.

Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) termasuk yang responsif dalam mendukung pemberantasan mafia tanah dengan membentuk Satgas Anti Mafia Tanah. Selain itu, Mabes Polri juga telah telah menginstruksikan kepada para kapolda dan kapolres di wilayah untuk tidak ragu mengusut tuntas kasus mafia tanah, menjalin kerja sama dengan kantor Kementerian ATR/BPN setempat.

Di berbagai daerah, Satgas Anti Mafia Tanah itu memang telah menunjukkan hasilnya, seperti penangkapan dua pegawai BPN Kabupaten Lebak, atau penangkapan pelaku anggota mafia tanah di Lampung, dan di daerah lainnya.

Polda Lampung sendiri kembali menegaskan komitmennya untuk tidak pandang bulu dalam menindas para pelaku mafia tanah, apakah mereka itu masyarakat, aparat dan anggota kepolisian.

Polda Lampung dibawah kepemimpinan Irjen Pol Akhmad Wiyagus, peraih Hoegeng Awards 2022 kategori Polisi Berintegritas, berkomitmen memberikan perlindungan kepada masyarakat yang memiliki tanah secara sah atau memiliki dokumen pertanahan yang sah. Hal ini sesuai dengan komitmen Presiden RI Joko Widodo dalam mewujudkan negara hadir dan melindungi warga negaranya.

Jadi, masyarakat harus dilindungi secara terintegrasi agar tidak menjadi korban mafia tanah yang melaksanakan aksi kejahatannya secara sistematis dan profesional.

Upaya lain dalam memberantas mafia tanah adalah mempercepat sertifikasi tanah. Ketidakadaan bukti kepemilikan tanah umumnya menjadi penyebab terjadinya konflik agraria.

Pemerintah sejak 2016 sebenarnya telah mencoba memperluas penerbitan sertifikat tanah, misalnya dari target 5 juta sertifikat tanah setahun pada 2016 menjadi 9 juta sertifikat pada tahun ini. Percepatan sertifikasi tanah itu melalui program pendaftaran tanah sistematis lengkap (PTSL) Kementerian ATR/BPN.

Upaya lain dalam memberantas mafia tanah adalah penerapan hukuman yang lebih berat. Dalam pasal 385 ayat 1 KUHP, pasal 167 KUHP, pasal 385 ayat 1 KUHP, Perpu No 51 tahun 1960, hukuman yang dikenakan adalah denda berkisar Rp4.500, dan hukuman maksimal 4 tahun. Hukuman ini tentu terlalu ringan dibandingkan dampak yang ditimbulkan aksi kejahatan mafia tanah.

Hal lain yang perlu dilaksanakan untuk memberantas mafia pertanahan adalah mereformasi birokrasi agar tersedia aparat yang berintegritas, jujur dan profesional. Kemudian, meningkatkan kerja sama antarinstansi, seperti pembentukan Tim Pencegahan dan Pemberantasan Mafia Tanah yang melibatkan Kementerian ATR/BPN, Polri dan Kejaksaan.

Upaya berikut yang tak kalah penting adalah mendorong masyarakat untuk mengecek keaslian sertifikat ke kantor ATR/BPN terdekat, melakukan transaksi langsung dengan pemilik tanah/rumah, dan bisa juga menggunakan jasa notaris terpercaya yang memiliki izin.

Mengecek keaslian sertifikat ke kantor ATR/BPN terdekat adalah salah satu cara yang ampuh dalam melawan mafia pertanahan.

 

 

Pewarta : Damiri/Hisar Sitanggang
Editor : Hisar Sitanggang
Copyright © ANTARA 2024