Bandarlampung (ANTARA) - Ketua Majeiis Hakim Pengadilan Negeri Tanjungkarang Kelas I Bandarlampung, Dedi Wijaya Susanto belum menerima surat keterangan meninggalnya terdakwa Iwan Parera dalam perkara penipuan jual beli beras.
"Kami baru mendapat informasi saja bahwa terdakwa Iwan Palera meninggal dunia ketika berada di rumah sakit," katanya di Bandarlampung, Senin.
Dia menjelaskan secara resmi pihaknya belum menerima surat keterangan kematian baik dari pihak Rumah Tahanan Negara (Rutan) maupun pihak jaksa yang menyidangkan.
Proses persidangan terdakwa sendiri, lanjut Dedi, baru memasuki tahap pembuktian dengan memeriksa sejumlah saksi korban.
"Secara resmi belum kami dapatkan sehingga proses persidangannya akan tetap berjalan pada Rabu mendatang," kata dia.
Dalam persidangan, tambah Humas PN Tanjungkarang itu, nantinya akan dikonfirmasi kepada penuntut umum yang bertanggungjawab terhadap terdakwa sehingga diketahui apakah terdakwa benar-benar telah meninggal atau tidaknya.
"Secara resminya mungkin hari Rabu mendatang dalam persidangan," kata dia..
Ia menambahkan jika benar ternyata terdakwa meninggal dunia, maka proses hukum terhadap terdakwa otomatis dinyatakan berhenti.
"Perkara pidana berbeda dengan perdata. Jika masih ada sangkut paut keperdataan, maka bisa dimintakan gugatan perdata dengan digantikan oleh ahli warisnya. Namun harus mengetahui dulu siapa ahli warisnya," katanya.
Kepala Pengamanan Rutan Kelas I Bandarlampung, Yusuf Priyo Widodo mengatakan, atas meninggalnya salah satu warga binaan pihaknya telah menyerahkan kepada pihak keluarga maupun pihak jaksa yang menangani.
"Pada Sabtu pagi 8 Oktober 2022, kita serahkan ke jaksa di Rumah Sakit Airan Raya karena masih tahanan titipan jaksa. Setelah itu jaksa dan keluarga merujuknya ke Rumah Sakit Umum Abdul Moeloek (RSUDAM). Terdakwa dinyatakan meninggal dunia pada Sabtu malam," katanya.
Terdakwa Iwan Parera meninggal dunia atas penyakit yang dideritanya yakni penyakit ugula. Ia meninggal pada Sabtu malam di RSUDAM Bandarlampung.
Iwan Parera merupakan terdakwa perkara tindak pidana perkara penipuan jual beli beras dengan korban puluhan para petani. Sebelumnya, dalam persidangan beberapa waktu, jaksa Irma menghadirkan empat orang saksi.
Empat orang saksi yang hadir tersebut di antaranya Sofa Mayasari selaku marketing, Ngadimin selaku petani, serta dua orang supir Feriadi dan Julian.
Saksi Sofa saat itu menjelaskan kepada hakim, jaksa, dan penasihat hukum terdakwa bahwa dirinya tertipu dalam jual beli beras. Pada bulan April-Juli 2021 dirinya mengaku telah memberikan beras sebanyak 160 ton kepada terdakwa yang akan digunakan untuk bantuan dari pihak Kemensos.
Berjalan waktu terdakwa baru memberikan uang muka sebesar Rp120 juta dan sisa uang tersebut tidak diberikan oleh terdakwa hingga saksi Sofa dan Ngadimin diminta untuk melunasi beras yang telah diberi dari petani.
Saksi Sofa sempat mendatangi dan menelepon terdakwa namun tidak pernah direspon sehingga sertifikat rumah dirinya ditahan oleh para petani.
Dalam perkara itu, terdakwa sempat memberikan enam buah sertifikat tanah yang berada di Way Kanan yang diklaim nilainya mencapai Rp2 miliar sebagai bentuk jaminan. Usut punya usut, ternyata tanah tersebut bermasalah dan bersengketa dengan pihak lain.
Sofa dalam persidangan saat itu sempat menangis sejadi-jadinya. Ia mengatakan kepada majelis hakim bahwa dirinya orang susah dan terdakwa tega telah menipunya.
"Kami baru mendapat informasi saja bahwa terdakwa Iwan Palera meninggal dunia ketika berada di rumah sakit," katanya di Bandarlampung, Senin.
Dia menjelaskan secara resmi pihaknya belum menerima surat keterangan kematian baik dari pihak Rumah Tahanan Negara (Rutan) maupun pihak jaksa yang menyidangkan.
Proses persidangan terdakwa sendiri, lanjut Dedi, baru memasuki tahap pembuktian dengan memeriksa sejumlah saksi korban.
"Secara resmi belum kami dapatkan sehingga proses persidangannya akan tetap berjalan pada Rabu mendatang," kata dia.
Dalam persidangan, tambah Humas PN Tanjungkarang itu, nantinya akan dikonfirmasi kepada penuntut umum yang bertanggungjawab terhadap terdakwa sehingga diketahui apakah terdakwa benar-benar telah meninggal atau tidaknya.
"Secara resminya mungkin hari Rabu mendatang dalam persidangan," kata dia..
Ia menambahkan jika benar ternyata terdakwa meninggal dunia, maka proses hukum terhadap terdakwa otomatis dinyatakan berhenti.
"Perkara pidana berbeda dengan perdata. Jika masih ada sangkut paut keperdataan, maka bisa dimintakan gugatan perdata dengan digantikan oleh ahli warisnya. Namun harus mengetahui dulu siapa ahli warisnya," katanya.
Kepala Pengamanan Rutan Kelas I Bandarlampung, Yusuf Priyo Widodo mengatakan, atas meninggalnya salah satu warga binaan pihaknya telah menyerahkan kepada pihak keluarga maupun pihak jaksa yang menangani.
"Pada Sabtu pagi 8 Oktober 2022, kita serahkan ke jaksa di Rumah Sakit Airan Raya karena masih tahanan titipan jaksa. Setelah itu jaksa dan keluarga merujuknya ke Rumah Sakit Umum Abdul Moeloek (RSUDAM). Terdakwa dinyatakan meninggal dunia pada Sabtu malam," katanya.
Terdakwa Iwan Parera meninggal dunia atas penyakit yang dideritanya yakni penyakit ugula. Ia meninggal pada Sabtu malam di RSUDAM Bandarlampung.
Iwan Parera merupakan terdakwa perkara tindak pidana perkara penipuan jual beli beras dengan korban puluhan para petani. Sebelumnya, dalam persidangan beberapa waktu, jaksa Irma menghadirkan empat orang saksi.
Empat orang saksi yang hadir tersebut di antaranya Sofa Mayasari selaku marketing, Ngadimin selaku petani, serta dua orang supir Feriadi dan Julian.
Saksi Sofa saat itu menjelaskan kepada hakim, jaksa, dan penasihat hukum terdakwa bahwa dirinya tertipu dalam jual beli beras. Pada bulan April-Juli 2021 dirinya mengaku telah memberikan beras sebanyak 160 ton kepada terdakwa yang akan digunakan untuk bantuan dari pihak Kemensos.
Berjalan waktu terdakwa baru memberikan uang muka sebesar Rp120 juta dan sisa uang tersebut tidak diberikan oleh terdakwa hingga saksi Sofa dan Ngadimin diminta untuk melunasi beras yang telah diberi dari petani.
Saksi Sofa sempat mendatangi dan menelepon terdakwa namun tidak pernah direspon sehingga sertifikat rumah dirinya ditahan oleh para petani.
Dalam perkara itu, terdakwa sempat memberikan enam buah sertifikat tanah yang berada di Way Kanan yang diklaim nilainya mencapai Rp2 miliar sebagai bentuk jaminan. Usut punya usut, ternyata tanah tersebut bermasalah dan bersengketa dengan pihak lain.
Sofa dalam persidangan saat itu sempat menangis sejadi-jadinya. Ia mengatakan kepada majelis hakim bahwa dirinya orang susah dan terdakwa tega telah menipunya.