Denpasar (ANTARA) - Mantan Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Bahrullah Akbar membantah menerima Rp500 juta dari utusan eks bupati Tabanan Ni Putu Eka Wiryastuti terkait pengurusan alokasi Dana Insentif Daerah (DID) Tahun Anggaran 2018.
Dalam persidangan di Pengadilan Tipikor, Denpasar, Bali, pada Kamis, Bahrullah yang hadir sebagai saksi mengatakan dirinya tidak pernah menerima dan tidak pernah mengetahui ada penerimaan uang senilai Rp500 juta dari I Dewa Nyoman Wiratmaja alias Dewa, yang saat kejadian merupakan staf khusus (stafsus) Eka.
“Tidak, setahu saya tidak pernah, apalagi soal uang,” kata dia menjawab pertanyaan Jaksa KPK Luki Dwi Nugroho di persidangan.
Meski demikian, jaksa kembali bertanya kepada para saksi --dua eks pejabat Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Yaya Purnomo dan Rifa Surya yang dalam berita acara pemeriksaan (BAP) menyebut Bahrullah menerima uang tersebut.
Yaya, yang saat itu menjabat Kepala Seksi Pengembangan Pendanaan Kawasan Perumahan dan Permukiman Kemenkeu, menjelaskan informasi tentang penyerahan uang itu dia peroleh dari Dewa.
“Pak Dewa sampaikan (kepada saya), ini Prof dulu. Maksudnya, (uang) yang akan diberikan ke saya (diberikan lebih dulu) ke Prof (Bahrullah),” kata Yaya menjawab pertanyaan jaksa.
Yaya, yang saat itu mahasiswa S3 Universitas Padjajaran di bawah bimbingan Bahrullah, juga mendapatkan informasi itu selepas keduanya bertemu untuk membahas disertasi.
Oleh karena itu, Yaya mempertahankan pernyataannya di BAP, begitu pun saksi lainnya, Rifa Surya.
Jaksa pada persidangan pada Kamis itu juga mendalami isi percakapan teks antara Bahrullah dan Dewa. Dalam percakapan itu, Dewa, yang memperkenalkan diri sebagai utusan Eka, meminta bertemu Bahrullah.
Bahrullah pun membalas permintaan itu dengan memberi jadwal pertemuan dan alamat kediamannya di Jakarta.
Namun, saat kembali ditanya jaksa, Bahrullah mengaku batal bertemu Dewa di kediamannya karena urusan keluarga.
Eks pejabat BPK itu tidak memberi tahu Dewa, meskipun keduanya sepakat bertemu sebagaimana isi percakapan pesan singkat yang ditunjukkan oleh jaksa di persidangan.
Bahrullah yang hadir secara virtual mengatakan dirinya tidak pernah mengetahui urusan DID Kabupaten Tabanan, karena pertemuan dia dengan Eka dan Dewa sebatas pekerjaan. Di beberapa kesempatan, Bahrullah kerap diundang sebagai pembicara acara bedah dan peluncuran buku.
Dalam kasus suap pengurusan DID Tabanan itu, nama Bahrullah sering disebut oleh saksi-saksi lain, termasuk Yaya dan Rifa.
Dewa, yang merupakan utusan Eka, disebut menghubungi Bahrullah sebelum akhirnya dipertemukan dengan Yaya.
Yaya kemudian menghubungi Rifa untuk membahas permintaan Eka yang ingin agar alokasi anggaran DID Tabanan 2018 ditambah.
Kemudian, Yaya, Rifa, dan Dewa lanjut bertemu setidaknya empat kali di Jakarta untuk membahas permintaan Eka itu, termasuk besaran suap, atau yang disebut oleh saksi sebagai “Dana Adat Istiadat”.
Dalam rangkaian pertemuan itu, Yaya dan Rifa menyanggupi permintaan Eka yang disampaikan melalui Dewa. Syaratnya, dua eks pejabat Kemenkeu meminta “Dana Adat Istiadat” senilai 2,5 persen dari alokasi DID yang ditetapkan pemerintah.
DID Kabupaten Tabanan Tahun Anggaran 2018 saat itu diputuskan mencapai Rp51 miliar.
Dari perolehan itu, Eka melalui Dewa memberi imbalan kepada Yaya dan Rifa senilai total Rp600 juta yang diberikan tunai dalam kantong plastik, dan 55.300 dolar AS (sekitar Rp1,4 miliar) yang diberikan tunai dalam amplop. Uang itu kemudian dibagi dua untuk Yaya dan Rifa.
Dari jumlah itu, Rp300 juta yang pertama diserahkan Dewa kepada Yaya dan Rifa sebagai tanda jadi, kata Rifa di persidangan.
Dalam persidangan di Pengadilan Tipikor, Denpasar, Bali, pada Kamis, Bahrullah yang hadir sebagai saksi mengatakan dirinya tidak pernah menerima dan tidak pernah mengetahui ada penerimaan uang senilai Rp500 juta dari I Dewa Nyoman Wiratmaja alias Dewa, yang saat kejadian merupakan staf khusus (stafsus) Eka.
“Tidak, setahu saya tidak pernah, apalagi soal uang,” kata dia menjawab pertanyaan Jaksa KPK Luki Dwi Nugroho di persidangan.
Meski demikian, jaksa kembali bertanya kepada para saksi --dua eks pejabat Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Yaya Purnomo dan Rifa Surya yang dalam berita acara pemeriksaan (BAP) menyebut Bahrullah menerima uang tersebut.
Yaya, yang saat itu menjabat Kepala Seksi Pengembangan Pendanaan Kawasan Perumahan dan Permukiman Kemenkeu, menjelaskan informasi tentang penyerahan uang itu dia peroleh dari Dewa.
“Pak Dewa sampaikan (kepada saya), ini Prof dulu. Maksudnya, (uang) yang akan diberikan ke saya (diberikan lebih dulu) ke Prof (Bahrullah),” kata Yaya menjawab pertanyaan jaksa.
Yaya, yang saat itu mahasiswa S3 Universitas Padjajaran di bawah bimbingan Bahrullah, juga mendapatkan informasi itu selepas keduanya bertemu untuk membahas disertasi.
Oleh karena itu, Yaya mempertahankan pernyataannya di BAP, begitu pun saksi lainnya, Rifa Surya.
Jaksa pada persidangan pada Kamis itu juga mendalami isi percakapan teks antara Bahrullah dan Dewa. Dalam percakapan itu, Dewa, yang memperkenalkan diri sebagai utusan Eka, meminta bertemu Bahrullah.
Bahrullah pun membalas permintaan itu dengan memberi jadwal pertemuan dan alamat kediamannya di Jakarta.
Namun, saat kembali ditanya jaksa, Bahrullah mengaku batal bertemu Dewa di kediamannya karena urusan keluarga.
Eks pejabat BPK itu tidak memberi tahu Dewa, meskipun keduanya sepakat bertemu sebagaimana isi percakapan pesan singkat yang ditunjukkan oleh jaksa di persidangan.
Bahrullah yang hadir secara virtual mengatakan dirinya tidak pernah mengetahui urusan DID Kabupaten Tabanan, karena pertemuan dia dengan Eka dan Dewa sebatas pekerjaan. Di beberapa kesempatan, Bahrullah kerap diundang sebagai pembicara acara bedah dan peluncuran buku.
Dalam kasus suap pengurusan DID Tabanan itu, nama Bahrullah sering disebut oleh saksi-saksi lain, termasuk Yaya dan Rifa.
Dewa, yang merupakan utusan Eka, disebut menghubungi Bahrullah sebelum akhirnya dipertemukan dengan Yaya.
Yaya kemudian menghubungi Rifa untuk membahas permintaan Eka yang ingin agar alokasi anggaran DID Tabanan 2018 ditambah.
Kemudian, Yaya, Rifa, dan Dewa lanjut bertemu setidaknya empat kali di Jakarta untuk membahas permintaan Eka itu, termasuk besaran suap, atau yang disebut oleh saksi sebagai “Dana Adat Istiadat”.
Dalam rangkaian pertemuan itu, Yaya dan Rifa menyanggupi permintaan Eka yang disampaikan melalui Dewa. Syaratnya, dua eks pejabat Kemenkeu meminta “Dana Adat Istiadat” senilai 2,5 persen dari alokasi DID yang ditetapkan pemerintah.
DID Kabupaten Tabanan Tahun Anggaran 2018 saat itu diputuskan mencapai Rp51 miliar.
Dari perolehan itu, Eka melalui Dewa memberi imbalan kepada Yaya dan Rifa senilai total Rp600 juta yang diberikan tunai dalam kantong plastik, dan 55.300 dolar AS (sekitar Rp1,4 miliar) yang diberikan tunai dalam amplop. Uang itu kemudian dibagi dua untuk Yaya dan Rifa.
Dari jumlah itu, Rp300 juta yang pertama diserahkan Dewa kepada Yaya dan Rifa sebagai tanda jadi, kata Rifa di persidangan.