Jakarta (ANTARA) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan keputusan Dewan Pengawas KPK menggugurkan sidang dugaan pelanggaran etik oleh Lili Pintauli Siregar sudah tepat.

"Bahwa dengan pengunduran diri pimpinan KPK Ibu Lili Pintauli Siregar, yang telah disetujui Presiden RI maka statusnya bukan lagi sebagai insan komisi. Dengan begitu secara otomatis, syarat subjektifnya tidak terpenuhi sehingga keputusan dewas menggugurkan sidang etiknya sudah tepat," kata Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK, Ali Fikri, di Jakarta, Rabu.

Ia menjelaskan sesuai UU KPK pada psal 37B ayat 1 huruf e disebut: "Dewan Pengawas KPK bertugas menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh pimpinan dan pegawai KPK".

"Ketika sudah mundur sebagai pimpinan KPK maka terperiksa bukan lagi menjadi subjek persidangan dimaksud," ujar Fikri.

Menurut dia, jika dipaksakan tetap bersidang, justru melanggar ketentuan penegakan kode etik itu sendiri. Oleh karena itu, dengan tidak adanya sidang maka belum dapat dibuktikan apakah Lili terbukti melakukan pelanggaran etik atau tidak. Terlebih, jika bicara dugaan pidananya.

"Mengingat sebagaimana Dewas Pengawas (KPK) sampaikan bahwa KPK menerapkan standar etik tinggi. Bisa saja sesuatu yang mungkin dianggap lazim di instansi lain, namun bila di KPK dapat dikenakan sanksi etik," ujar dia.

Sebelumnya, Indonesia Corruption Watch meminta agar Dewan Pengawas KPK tetap melanjutkan sidang pelanggaran etik yang dilakukan Siregar.

"ICW mendesak agar Dewan Pengawas (KPK) membatalkan penetapan dan melanjutkan proses sidang etik terhadap Lili Pintauli Siregar dan harus meneruskan bukti-bukti awal yang telah dimiliki kepada aparat penegak hukum jika ada dugaan kuat adanya gratifikasi yang dianggap suap," kata peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, di Jakarta, Senin (11/7).

Sebelumnya, dia kembali dilaporkan ke Dewan Pengawas KPK karena diduga menerima fasilitas akomodasi hotel hingga tiket menonton ajang balap MotoGP 2022 di Sirkuit Internasional Mandalika, Nusa Tenggara Barat dari salah satu BUMN.

Siregar pernah dijatuhi sanksi berat berupa pemotongan gaji pokok sebesar 40 persen selama 12 bulan karena terbukti melakukan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku berupa menyalahgunakan pengaruh selaku pimpinan KPK untuk kepentingan pribadi dan berhubungan langsung dengan pihak yang perkaranya sedang ditangani KPK, yakni Wali Kota Tanjungbalai, M Syahrial.

Pewarta : Benardy Ferdiansyah
Editor : Edy Supriyadi
Copyright © ANTARA 2024