Bandar Lampung (ANTARA) - PT Kereta Api Indonesia (Persero) Divre IV Tanjungkarang melakukan penutupan di sejumlah perlintasan sebidang. Hal ini sejalan dengan Peraturan Menteri  Perhubungan Nomor 94 Tahun 2018 tentang Peningkatan Keselamatan Perlintasan Sebidang antara Jalur Kereta Api dan Jalan.

Kabag Humas Divre IV Tanjungkarang, Jaka Jarkasih mengatakan bahwa tercatat ada sebanyak 77 perlintasan sebidang yang resmi dan 149 perlintasan sebidang yang tidak resmi di wilayah Divre IV Tanjungkarang. 

“Di tahun 2022 ini, telah diprogram akan dilakukan penutupan sebanyak 7 perlintasan sebidang di wilayah Divre IV Tanjungkarang. Hingga akhir Juni 2022 Divre IV Tanjungkarang telah melakukan sebanyak 3 perlintasan sebidang dan hari ini, Rabu (6/7) Divre IV Tnk beserta jajaran terkait kembali melakukan penutupan dan pembatasan cikal bakal perlintasan liar di wilayah Divre IV Tanjungkarang diantaranya 
Km 26 +6/ 7 petak jalan Gedungratu-Rejosari, Km 35+1/2 petak jalan Branti-Tegineneng dan Km 37+1/2 petak jalan Branti-Tegineneng Sehingga, total ada 6 perlintasan sebidang yang telah kita tutup sampai dengan Juli tahun 2021 ini” ujarnya di Bandarlampung, Rabu..

Pada kegiatan penutupan perlintasan kali ini, PT KAI Divre IV Tnk melibatkan Balai Teknik Perkeretaapian Kelas II Wilayah Sumatera Bagian Selatan, Dinas Perhubungan Provinsi Lampung, Dinas Perhubungan Kabupaten Lampung Selatan, PT Jasa Raharja Provinsi Lampung, Camat Natar, Polda Lampung, Babin Polsek Natar, Pol PP, Komunitas Pencinta KA Baradipat dan instansi terkait lainnya.

Jaka menjelaskan bahwa ada 3 (tiga) unsur untuk menghadirkan keselamatan di perlintasan kereta api yaitu dari sisi infrastruktur, penegakan hukum dan budaya.

Pada sisi infrastruktur, evaluasi perlintasan itu harus dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan KAI dan pihak terkait lainnya secara berkala. Sesuai dengan Undang-undang Perkeretaapian Nomor 23 Tahun 2017 Pasal 94 ayat 2 yang berbunyi “Penutupan perlintasan sebidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah”. Berdasarkan hasil evaluasi tersebut, perlintasan dapat dibuat tidak sebidang, ditutup, ataupun ditingkatkan keselamatannya. 

“ Upaya penutupan perlintasan sebidang ini, perlu dukungan dari semua pihak demi keselamatan bersama. Keselamatan perjalanan kereta api maupun keselamatan lalu lintas jalan umum merupakan tanggung jawab bersama. Tidak memberatkan hanya ke satu pihak saja” ungkap Jaka.

Sementara dari sisi penegakan hukum, dibutuhkan penindakan bagi setiap pelanggar agar menimbulkan efek jera dan meningkatkan kedisiplinan para pengguna jalan. 

Lebih lanjut, Jaka menjelaskan bahwa ada ancaman pidana bagi pelanggar lalu lintas yang melibatkan kereta api sesuai dengan yang tertulis pada pasal 296 Undang-undang Lalu Lintas “Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor pada perlintasan antara kereta api dan Jalan yang tidak berhenti ketika sinyal sudah berbunyi, palang pintu kereta api sudah mulai ditutup, dan/atau ada isyarat lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 huruf a dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp750.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah)”. Selanjutnya juga pada Pasal 310 UU Lalu lintas menekankan bahwa : (1) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah).
(2) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000 (dua juta rupiah).
(3) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000 (sepuluh juta rupiah).
(4) Dalam hal kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000 (dua belas juta rupiah).

Adapun di sisi budaya, perlu ada kesadaran dari setiap pengguna jalan untuk mematuhi seluruh rambu-rambu dan isyarat yang ada saat melalui perlintasan sebidang.

“Kami menghimbau kembali kepada seluruh masyarakat khususnya yang melakukan aktivitas lalu lintas di perlintasan sebidang agar lebih meningkatkan kesadaran berlalu lintas dengan mematuhi peraturan yang ada, dan apabila terjadi kecelakaan lalu lintas yang melibatkan kereta api maka tidak hanya pelanggar mengalami kerugian namun PT KAI pun mengalami kerugian” tutup Jaka.

Turut hadir dalam kegiatan ini Kabag PAM, Kabag Humas, tim JJ, Aset Divre IV Tnk, Kepala Seksi Lalulintas, Sarana, dan Keselamatan Perkeretaapian Balai Teknik Perkeretaapian Kelas II Wiayah Sumatera Bagian Selatan Ferrry Candra Hasibuan MM. Tr, Kadis Perhubungan Provinsi Lampung, Camat Natar Rendy Eko  S.STP, Kepala Cabang PT. Jasa Raharja Provinsi Lampung.

Pewarta : Ardiansyah
Editor : Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2024