Jakarta (ANTARA) - Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Bintang Puspayoga menekankan perlunya pelibatan anak-anak, remaja dan kaum muda untuk mencegah perkawinan usia dini
"Untuk menciptakan sistem perlindungan anak yang holistik guna menghapuskan perkawinan anak (usia dini), dibutuhkan adanya pelibatan dari anak anak, remaja dan kaum muda itu sendiri," ujar Menteri PPPA dalam siaran pers di Jakarta, Jumat (11/3).
Perkawinan usia dini merupakan praktik yang dapat mengancam masa depan anak dan mencoreng seluruh hak anak.
Selain itu, perkawinan usia dini juga merupakan salah satu bentuk tindak kekerasan terhadap anak dan melanggar HAM.
Bintang mengatakan, perkawinan usia dini menimbulkan dampak buruk bagi anak seperti memiliki kerentanan dalam mengakses pendidikan dan layanan kesehatan, berisiko mengalami tindak kekerasan dan hidup dalam kemiskinan.
"Praktik perkawinan anak patut menjadi perhatian dan prioritas kita semua karena telah menimbulkan dampak yang sangat masif. Anak yang menikah memiliki kerentanan yang lebih besar dalam mengakses pendidikan dan layanan kesehatan, berisiko besar mengalami tindak kekerasan dan berpotensi memunculkan dampak buruk lainnya, termasuk pada persoalan kemiskinan lintas generasi," ujarnya.
Bintang juga mengingatkan potensi meningkatnya angka perkawinan anak pasca-pandemi COVID-19.
"Apalagi, saat ini kita masih menghadapi bencana non-alam wabah COVID-19. Studi literatur UNFPA dan UNICEF juga menemukan risiko anak perempuan dinikahkan semakin tinggi dalam situasi setelah terjadinya bencana. Berdasarkan studi UNFPA pada 2020, terdapat potensi terjadinya sekitar 13 juta perkawinan anak di dunia pada rentang waktu 2020-2030 akibat pandemi ini," katanya.
Data menunjukkan pada 2018, 1 dari 9 perempuan berumur 20-24 tahun menikah sebelum usia 18 tahun atau sekitar 11 persen.
Sementara hanya 1 dari 100 laki-laki berumur 20-24 tahun menikah sebelum usia 18 tahun atau sekitar 1 persen.
Berdasarkan data BPS, meski secara nasional angka perkawinan anak turun dari 11,21 persen pada 2018 menjadi 10,82 persen pada 2019 dan 10,35 persen pada 2020, namun terjadi kenaikan di 9 provinsi.
Selain itu, data pada 2020 menunjukkan adanya 22 provinsi dengan angka perkawinan anak yang lebih tinggi dari angka nasional.
"Untuk menciptakan sistem perlindungan anak yang holistik guna menghapuskan perkawinan anak (usia dini), dibutuhkan adanya pelibatan dari anak anak, remaja dan kaum muda itu sendiri," ujar Menteri PPPA dalam siaran pers di Jakarta, Jumat (11/3).
Perkawinan usia dini merupakan praktik yang dapat mengancam masa depan anak dan mencoreng seluruh hak anak.
Selain itu, perkawinan usia dini juga merupakan salah satu bentuk tindak kekerasan terhadap anak dan melanggar HAM.
Bintang mengatakan, perkawinan usia dini menimbulkan dampak buruk bagi anak seperti memiliki kerentanan dalam mengakses pendidikan dan layanan kesehatan, berisiko mengalami tindak kekerasan dan hidup dalam kemiskinan.
"Praktik perkawinan anak patut menjadi perhatian dan prioritas kita semua karena telah menimbulkan dampak yang sangat masif. Anak yang menikah memiliki kerentanan yang lebih besar dalam mengakses pendidikan dan layanan kesehatan, berisiko besar mengalami tindak kekerasan dan berpotensi memunculkan dampak buruk lainnya, termasuk pada persoalan kemiskinan lintas generasi," ujarnya.
Bintang juga mengingatkan potensi meningkatnya angka perkawinan anak pasca-pandemi COVID-19.
"Apalagi, saat ini kita masih menghadapi bencana non-alam wabah COVID-19. Studi literatur UNFPA dan UNICEF juga menemukan risiko anak perempuan dinikahkan semakin tinggi dalam situasi setelah terjadinya bencana. Berdasarkan studi UNFPA pada 2020, terdapat potensi terjadinya sekitar 13 juta perkawinan anak di dunia pada rentang waktu 2020-2030 akibat pandemi ini," katanya.
Data menunjukkan pada 2018, 1 dari 9 perempuan berumur 20-24 tahun menikah sebelum usia 18 tahun atau sekitar 11 persen.
Sementara hanya 1 dari 100 laki-laki berumur 20-24 tahun menikah sebelum usia 18 tahun atau sekitar 1 persen.
Berdasarkan data BPS, meski secara nasional angka perkawinan anak turun dari 11,21 persen pada 2018 menjadi 10,82 persen pada 2019 dan 10,35 persen pada 2020, namun terjadi kenaikan di 9 provinsi.
Selain itu, data pada 2020 menunjukkan adanya 22 provinsi dengan angka perkawinan anak yang lebih tinggi dari angka nasional.