Jakarta (ANTARA) - Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan bahwa keterwakilan perempuan minimal 30 persen di KPU dan Bawaslu penting untuk mengatasi tantangan dan halangan yang dihadapi oleh pemilih perempuan dalam pemilihan umum (pemilu).
“Yang memahami kendala-kendala perempuan, yang mengerti bagaimana tantangan dan halangan-halangan yang dihadapi oleh pemilih perempuan tentu perempuan dan pembuat kebijakan yang pro dengan perempuan itu sendiri,” kata Feri.
Pernyataan tersebut ia sampaikan dalam konferensi pers bertajuk “Memastikan Keterpilihan Perempuan Minimal 30 Persen dalam Penyelenggara Pemilu” yang disiarkan di kanal YouTube Perludem, dipantau dari Jakarta, Minggu.
Dalam kesempatan tersebut, Feri juga mengatakan bahwa seharusnya angka keterwakilan perempuan bukanlah minimal 30 persen, melainkan minimal 50 persen dari masing-masing jumlah anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu).
“Pemilih perempuan sekitar 26 ribu orang lebih banyak daripada pemilih laki-laki,” ucap dia.
Baca juga: Puskapol UI dorong DPR RI penuhi keterwakilan perempuan di KPU-Bawaslu
Oleh karena itu, penting untuk memiliki penyelenggara pemilu yang dapat memahami dan mengatasi kendala apa saja yang dihadapi oleh pemilih perempuan. Hal ini bertujuan untuk memaksimalkan hasil dari penyelenggaraan pemilu.
“Kami mendorong untuk pemilu yang lebih baik agar DPR mempertimbangkan penyelenggara perempuan dalam komposisi yang berimbang dengan penyelenggara pria demi pemilu yang lebih baik ke depannya,” tuturnya.
Dalam kesempatan yang sama, dosen Politik Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Ferry Daud Liando mengatakan bahwa perempuan yang menjadi penyelenggara pemilu harus mampu melahirkan kebijakan-kebijakan yang berperspektif gender.
Ferry menegaskan pentingnya aspek profesionalisme sebagai seorang penyelenggara pemilu.
“Yang kita perjuangkan bukan perempuan dari jenis kelamin, melainkan perempuan yang memang betul-betul memiliki perspektif gender ketika menjadi penyelenggara,” kata dia.
Kerja-kerja penyelenggara berperspektif gender bukan berarti berpihak pada perempuan dari aspek keterpilihan dan elektabilitas. Mereka tetap harus memegang teguh sifat independen dan netralitas.
“Yang memahami kendala-kendala perempuan, yang mengerti bagaimana tantangan dan halangan-halangan yang dihadapi oleh pemilih perempuan tentu perempuan dan pembuat kebijakan yang pro dengan perempuan itu sendiri,” kata Feri.
Pernyataan tersebut ia sampaikan dalam konferensi pers bertajuk “Memastikan Keterpilihan Perempuan Minimal 30 Persen dalam Penyelenggara Pemilu” yang disiarkan di kanal YouTube Perludem, dipantau dari Jakarta, Minggu.
Dalam kesempatan tersebut, Feri juga mengatakan bahwa seharusnya angka keterwakilan perempuan bukanlah minimal 30 persen, melainkan minimal 50 persen dari masing-masing jumlah anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu).
“Pemilih perempuan sekitar 26 ribu orang lebih banyak daripada pemilih laki-laki,” ucap dia.
Baca juga: Puskapol UI dorong DPR RI penuhi keterwakilan perempuan di KPU-Bawaslu
Oleh karena itu, penting untuk memiliki penyelenggara pemilu yang dapat memahami dan mengatasi kendala apa saja yang dihadapi oleh pemilih perempuan. Hal ini bertujuan untuk memaksimalkan hasil dari penyelenggaraan pemilu.
“Kami mendorong untuk pemilu yang lebih baik agar DPR mempertimbangkan penyelenggara perempuan dalam komposisi yang berimbang dengan penyelenggara pria demi pemilu yang lebih baik ke depannya,” tuturnya.
Dalam kesempatan yang sama, dosen Politik Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Ferry Daud Liando mengatakan bahwa perempuan yang menjadi penyelenggara pemilu harus mampu melahirkan kebijakan-kebijakan yang berperspektif gender.
Ferry menegaskan pentingnya aspek profesionalisme sebagai seorang penyelenggara pemilu.
“Yang kita perjuangkan bukan perempuan dari jenis kelamin, melainkan perempuan yang memang betul-betul memiliki perspektif gender ketika menjadi penyelenggara,” kata dia.
Kerja-kerja penyelenggara berperspektif gender bukan berarti berpihak pada perempuan dari aspek keterpilihan dan elektabilitas. Mereka tetap harus memegang teguh sifat independen dan netralitas.