Bandarlampung (ANTARA) - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Lampung menganggap belum ada langkah serius dari Pemerintah Kota (Pemkot) Bandarlampung dalam mengatasi kerusakan lingkungan hidup yang sudah mulai kritis.
"Pembentukan Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bandarlampung 2021-2040 kami nilai belum menjamin keselamatan lingkungan dan keadilan ekologis," kata Manajer Advokasi dan Kampanye Walhi Lampung, Edi Santoso, di Bandarlampung, Sabtu.
Ia mengatakan bahwa rancangan perda RTRW Kota Bandarlampung yang direvisi tidak menjadi solusi atas krisis lingkungan yang terjadi, hal tersebut bisa dilihat total luas kawasan lindung saat ini hanya 22,69 persen dari total luas daerah ini yang seharusnya 30 persen.
Belum lagi, lanjut dia, pada Ranperda RTRW Kota Bandarlampung dalam pasal 22 huruf (b) yaitu kawasan hutan lindung batu srampog Register 17 di Kecamatan Panjang direncakanan ditetapkan sebagai kawasan perumahan.
"Hal ini merupakan sebuah kemunduran, alih-alih menambah luasan RTH yang saat ini diklaim 11,08 persen yang seharusnya RTH berada di angka 20 persen, namun pemerintah justru semakin meminimalisir RTH," ujarnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Permukiman dan Perumahan Rakyat (Disperkim) Kota Bandarlampung, Yustam Effendi, mengatakan poses revisi Raperda RTRW ini melibatkan lembaga dan kementerian terkait.
"Prosesnya cukup panjang dari 2018, melibatkan seluruh sektor bahkan akademika, pengusaha dan Walhi serta LSM lainnya kami untuk berkonsulatsi dengan harapan 2041 RTH 20 persen bisa terpenuhi yang saat ini baru 4,7 persen," ujarnya.
Ia mengatakan Pemkot Bandarlampung terus melakukan terobosan guna menambah RTH, seperti meminta kepada pengembang perumahan agar menyediakan 10 persen untuk RTH.
"Untuk masalah hutan lindung batu srampog Register 17 di Kecamatan Panjang, kita dengan kementerian kehutanan memintanya karena wilayah tersebut sudah menjadi pemukiman," kata dia.
Ia menjelaskan bahwa daerah tersebut memang telah digarap secara tradisional oleh masyarakat sekitar 2-3 hektare menjadi pemukiman penduduk, sehingga pemkot pun memberikan surat kepada Kementerian Hutan.
"Itu masuk ke dalam rencana untuk dijadikan pemukiman, tapi kembali lagi keputusannya bukan dari pemerintah daerah, namun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Sampai saat ini kami pun belum mendapatkan persetujuan itu, jadi itu hanya di plot saja, dan masih masuk wilayah hutan lindung," kata dia.
"Pembentukan Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bandarlampung 2021-2040 kami nilai belum menjamin keselamatan lingkungan dan keadilan ekologis," kata Manajer Advokasi dan Kampanye Walhi Lampung, Edi Santoso, di Bandarlampung, Sabtu.
Ia mengatakan bahwa rancangan perda RTRW Kota Bandarlampung yang direvisi tidak menjadi solusi atas krisis lingkungan yang terjadi, hal tersebut bisa dilihat total luas kawasan lindung saat ini hanya 22,69 persen dari total luas daerah ini yang seharusnya 30 persen.
Belum lagi, lanjut dia, pada Ranperda RTRW Kota Bandarlampung dalam pasal 22 huruf (b) yaitu kawasan hutan lindung batu srampog Register 17 di Kecamatan Panjang direncakanan ditetapkan sebagai kawasan perumahan.
"Hal ini merupakan sebuah kemunduran, alih-alih menambah luasan RTH yang saat ini diklaim 11,08 persen yang seharusnya RTH berada di angka 20 persen, namun pemerintah justru semakin meminimalisir RTH," ujarnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Permukiman dan Perumahan Rakyat (Disperkim) Kota Bandarlampung, Yustam Effendi, mengatakan poses revisi Raperda RTRW ini melibatkan lembaga dan kementerian terkait.
"Prosesnya cukup panjang dari 2018, melibatkan seluruh sektor bahkan akademika, pengusaha dan Walhi serta LSM lainnya kami untuk berkonsulatsi dengan harapan 2041 RTH 20 persen bisa terpenuhi yang saat ini baru 4,7 persen," ujarnya.
Ia mengatakan Pemkot Bandarlampung terus melakukan terobosan guna menambah RTH, seperti meminta kepada pengembang perumahan agar menyediakan 10 persen untuk RTH.
"Untuk masalah hutan lindung batu srampog Register 17 di Kecamatan Panjang, kita dengan kementerian kehutanan memintanya karena wilayah tersebut sudah menjadi pemukiman," kata dia.
Ia menjelaskan bahwa daerah tersebut memang telah digarap secara tradisional oleh masyarakat sekitar 2-3 hektare menjadi pemukiman penduduk, sehingga pemkot pun memberikan surat kepada Kementerian Hutan.
"Itu masuk ke dalam rencana untuk dijadikan pemukiman, tapi kembali lagi keputusannya bukan dari pemerintah daerah, namun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Sampai saat ini kami pun belum mendapatkan persetujuan itu, jadi itu hanya di plot saja, dan masih masuk wilayah hutan lindung," kata dia.