Jakarta (ANTARA) - Hasil penelitian Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI) menunjukkan sebanyak 61,2 persen warung rokok di DKI Jakarta berada sekitar 100 meter dari area sekolah.
"Apabila dibandingkan dengan luas wilayah per kilometer (km) persegi, secara rata-rata terdapat ±15 warung rokok eceran setiap satu km persegi di DKI Jakarta," kata Ketua Peneliti Risky Kusuma Hartono sebagaimana dikutip dalam siaran pers PKJS UI yang diterima di Jakarta, Rabu.
Menurut hasil penelitian PKJS UI yang bertajuk "Densitas dan Aksesibilitas Rokok Batangan Anak-Anak Usia Sekolah di DKI Jakarta: Gambaran dan Kebijakan Pengendalian", ada 8.371 warung rokok eceran di wilayah DKI Jakarta, paling banyak di Jakarta Timur dengan 3.085 warung rokok.
Hasil penelitian juga menunjukkan ada kurang lebih delapan warung rokok eceran di setiap area sekitar sekolah di wilayah DKI Jakarta.
Baca juga: Sulit berhenti merokok, ini saran dokter ahli UGM
Menurut hasil penelitian, perbandingan jumlah warung rokok dengan jumlah penduduk di DKI Jakarta kurang lebih satu banding 1.000.
Warung rokok eceran, menurut hasil riset PKJS UI, mudah diakses oleh penduduk DKI Jakarta, termasuk anak-anak.
Hasil studi juga menunjukkan bahwa sebagian besar warung memiliki media promosi rokok berupa spanduk (80,7 persen).
Selain itu ada 11,3 persen warung yang pernah melakukan promosi rokok eceran dengan memberikan produk lain secara gratis dan 58,1 persen warung memperbolehkan konsumen membeli rokok eceran secara berutang.
Harga eceran rokok juga tergolong murah. Rokok dijual dengan harga kurang lebih Rp1.500 per batang.
Baca juga: Pengguna rokok elektronik juga berisiko lebih tinggi terkena COVID-19
Belum adanya regulasi khusus mengenai pembatasan penjualan rokok secara eceran per batang dan harga rokok yang hanya berkisar Rp1.000 sampai Rp4.000 per batang, menurut PKJS UI, menjadi penghambat upaya pengendalian konsumsi rokok.
Menurut PKJS UI, Kementerian Kesehatan perlu mendukung opsi pelarangan penjualan rokok batangan pada revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.
Risky mengemukakan, opsi kebijakan restriksi yang paling banyak didukung oleh penjual, yaitu larangan menjual rokok di lingkungan perumahan atau zona di sekitar area sekolah (37,1 persen) disusul dengan penerapan lisensi pada penjual rokok (17,7 persen).
"Apabila dibandingkan dengan luas wilayah per kilometer (km) persegi, secara rata-rata terdapat ±15 warung rokok eceran setiap satu km persegi di DKI Jakarta," kata Ketua Peneliti Risky Kusuma Hartono sebagaimana dikutip dalam siaran pers PKJS UI yang diterima di Jakarta, Rabu.
Menurut hasil penelitian PKJS UI yang bertajuk "Densitas dan Aksesibilitas Rokok Batangan Anak-Anak Usia Sekolah di DKI Jakarta: Gambaran dan Kebijakan Pengendalian", ada 8.371 warung rokok eceran di wilayah DKI Jakarta, paling banyak di Jakarta Timur dengan 3.085 warung rokok.
Hasil penelitian juga menunjukkan ada kurang lebih delapan warung rokok eceran di setiap area sekitar sekolah di wilayah DKI Jakarta.
Baca juga: Sulit berhenti merokok, ini saran dokter ahli UGM
Menurut hasil penelitian, perbandingan jumlah warung rokok dengan jumlah penduduk di DKI Jakarta kurang lebih satu banding 1.000.
Warung rokok eceran, menurut hasil riset PKJS UI, mudah diakses oleh penduduk DKI Jakarta, termasuk anak-anak.
Hasil studi juga menunjukkan bahwa sebagian besar warung memiliki media promosi rokok berupa spanduk (80,7 persen).
Selain itu ada 11,3 persen warung yang pernah melakukan promosi rokok eceran dengan memberikan produk lain secara gratis dan 58,1 persen warung memperbolehkan konsumen membeli rokok eceran secara berutang.
Harga eceran rokok juga tergolong murah. Rokok dijual dengan harga kurang lebih Rp1.500 per batang.
Baca juga: Pengguna rokok elektronik juga berisiko lebih tinggi terkena COVID-19
Belum adanya regulasi khusus mengenai pembatasan penjualan rokok secara eceran per batang dan harga rokok yang hanya berkisar Rp1.000 sampai Rp4.000 per batang, menurut PKJS UI, menjadi penghambat upaya pengendalian konsumsi rokok.
Menurut PKJS UI, Kementerian Kesehatan perlu mendukung opsi pelarangan penjualan rokok batangan pada revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.
Risky mengemukakan, opsi kebijakan restriksi yang paling banyak didukung oleh penjual, yaitu larangan menjual rokok di lingkungan perumahan atau zona di sekitar area sekolah (37,1 persen) disusul dengan penerapan lisensi pada penjual rokok (17,7 persen).