Jakarta (ANTARA) - Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Arumdriya Murwani menyatakan penggunaan cold storage atau gudang beku/pendingin merupakan sokusi yang tepat untuk menjaga pasokan sekaligus mengatasi fluktuasi harga cabai.
"Ketersediaannya yang fluktuatif serta tidak realistisnya impor cabai segar untuk menjaga kestabilan harga menjadikan penggunaan cold storage solusi untuk mengatasi permasalahan ini," katanys dalam siaran pers di Jakarta, Rabu.
Menurut dia, harga cabai rawit berfluktuasi mengikuti masa panen, biasanya enam kali dalam setahun.
Selain itu, harga tinggi umumnya terjadi pada jeda antara masa tanam yaitu di bulan November-Februari. Namun, harga cabai rawit juga sering anjlok di kala terjadi surplus pasokan pada masa panen raya.
Arum memaparkan diperlukan pendekatan yang menyeluruh atas tata kelola pangan di Indonesia, salah satunya dengan mempertimbangkan preferensi masyarakat Indonesia pada cabai rawit segar.
Selain sifat cabai yang rentan mengalami pembusukan, kerangka impor pangan di Indonesia yang berbelit-belit juga menambah risiko keluarnya kebijakan impor yang tidak mampu menjawab kebutuhan pasar yang dinamis di Tanah Air.
Ia berpendapat bahwa dengan sistem penyimpanan yang modern dan infrastruktur rantai dingin yang memadai, masa simpan cabai rawit dapat diperpanjang dan dengan demikian dapat membantu menstabilkan harga di pasaran.
"Sayangnya, kapasitas sistem penyimpanan dan lemari pendingin di Indonesia belum memadai untuk menjawab kebutuhan pasar sehingga mengakibatkan tingginya tingkat limbah pangan, sekaligus berkontribusi kepada fluktuasi harga pangan di masyarakat," paparnya.
Laporan ERIA (Economic Research Institute for ASEAN and East Asia), memperlihatkan potensi pemanfaatan ruang penyimpanan dingin di Indonesia pada 2018 mencapai 17,6 juta ton per tahun, namun saat ini kapasitas yang ada hanya mampu menampung 370 ribu ton per tahun.
Arum menyebutkan bahwa kurangnya kapasitas ruang atau gudang pendingin di Indonesia turut meningkatkan risiko membusuknya komoditas pangan dalam proses distribusi dari petani ke konsumen.
“Pemerintah perlu mempertimbangkan untuk berinvestasi pada lemari pendingin yang modern untuk memperpanjang masa simpan stok cabai rawit,” jelas Arum.
Ia mengapresiasi langkah tepat Menteri Perdagangan M Lutfi untuk memulai uji coba penggunaan sistem penyimpanan Controlled Atmosphere Storage (CAS) yang akan dapat memperpanjang masa simpan produk komoditas hortikultura hingga 3 sampai 6 bulan.
"Ketersediaannya yang fluktuatif serta tidak realistisnya impor cabai segar untuk menjaga kestabilan harga menjadikan penggunaan cold storage solusi untuk mengatasi permasalahan ini," katanys dalam siaran pers di Jakarta, Rabu.
Menurut dia, harga cabai rawit berfluktuasi mengikuti masa panen, biasanya enam kali dalam setahun.
Selain itu, harga tinggi umumnya terjadi pada jeda antara masa tanam yaitu di bulan November-Februari. Namun, harga cabai rawit juga sering anjlok di kala terjadi surplus pasokan pada masa panen raya.
Arum memaparkan diperlukan pendekatan yang menyeluruh atas tata kelola pangan di Indonesia, salah satunya dengan mempertimbangkan preferensi masyarakat Indonesia pada cabai rawit segar.
Selain sifat cabai yang rentan mengalami pembusukan, kerangka impor pangan di Indonesia yang berbelit-belit juga menambah risiko keluarnya kebijakan impor yang tidak mampu menjawab kebutuhan pasar yang dinamis di Tanah Air.
Ia berpendapat bahwa dengan sistem penyimpanan yang modern dan infrastruktur rantai dingin yang memadai, masa simpan cabai rawit dapat diperpanjang dan dengan demikian dapat membantu menstabilkan harga di pasaran.
"Sayangnya, kapasitas sistem penyimpanan dan lemari pendingin di Indonesia belum memadai untuk menjawab kebutuhan pasar sehingga mengakibatkan tingginya tingkat limbah pangan, sekaligus berkontribusi kepada fluktuasi harga pangan di masyarakat," paparnya.
Laporan ERIA (Economic Research Institute for ASEAN and East Asia), memperlihatkan potensi pemanfaatan ruang penyimpanan dingin di Indonesia pada 2018 mencapai 17,6 juta ton per tahun, namun saat ini kapasitas yang ada hanya mampu menampung 370 ribu ton per tahun.
Arum menyebutkan bahwa kurangnya kapasitas ruang atau gudang pendingin di Indonesia turut meningkatkan risiko membusuknya komoditas pangan dalam proses distribusi dari petani ke konsumen.
“Pemerintah perlu mempertimbangkan untuk berinvestasi pada lemari pendingin yang modern untuk memperpanjang masa simpan stok cabai rawit,” jelas Arum.
Ia mengapresiasi langkah tepat Menteri Perdagangan M Lutfi untuk memulai uji coba penggunaan sistem penyimpanan Controlled Atmosphere Storage (CAS) yang akan dapat memperpanjang masa simpan produk komoditas hortikultura hingga 3 sampai 6 bulan.