Bandarlampung (ANTARA) - Menjaga kelestarian hutan dan pemenuhan ekonomi di tengah masyarakat kadang kala menunjukkan kesenjangan yang cukup tinggi.
Pertentangan antara dua hal tersebut terus terjadi hingga munculnya beragam aksi eksploitasi hutan, yang menyebabkan kerusakan alam.
Kadang kala masyarakat lupa cara menjaga kesehatan hutan yang sangat penting bagi mereka yang mencari nafkah darinya.
Namun dengan adanya sistem pengelolaan hutan yang mempertahankan kelestarian melalui perhutanan sosial, menjadi salah satu solusi atas kesenjangan yang ada.
Pada awal tahun 2021 peran negara untuk menjaga keseimbangan antara menjaga kelestarian serta kesejahteraan masyarakat terbukti dengan adanya penyerahan 2.929 SK Perhutanan Sosialnya di seluruh tanah air dengan luas lahan 3.442.000 hektare untuk terus mendorong redistribusi aset melalui kebijakan perhutanan sosial maupun reformasi agraria.
Komitmen menjaga kelestarian hutan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat telah mulai terlihat di Provinsi Lampung sebagai salah satu daerah dengan luas lahan perhutanan sosial cukup luas, yakni 185.913 hektare.
Contoh nyata mewujudkan komitmen tersebut telah dilakukan oleh warga Desa Way Kalam, Kalianda, Lampung Selatan yang tinggal di lereng Gunung Rajabasa yang merupakan salah satu area konservasi yang ada di Sai Bumi Ruwa Jurai.
Dibawah naungan Kelompok Tani Hutan Mulia yang berfokus pada pengelolaan hasil hutan bukan kayu berupa madu yang berasal dari lebah Dorsata, Trigona dan Cerana.
Muhamad Syukur Yakub salah satu pembudidaya madu Trigona telah merasakan reguk manis madu atas terjaganya kelestarian hutan.
Bersama Kelompok Tani Hutan Mulia lelaki berusia 38 tahun yang akrab dipanggil Yakub mulai membudidayakan lebah trigona selama 12 bulan terakhir tepatnya setelah pandemi COVID-19 berlangsung.
"Tepat saat budi daya akan dimulai, pandemi COVID-19 datang, ini menjadi tantangan yang cukup sulit pada awal pelaksanaan budi daya," ujar Yakub.
Ia mengatakan adanya pandemi COVID-19 tidak membuatnya patah arang, dan terus memberikan motivasi bagi anggota kelompok tani hutan untuk mengusahakan hasil hutan berupa madu sembari menjaga kelestarian hutan.
Bermula dengan menyediakan stup (sarang lebah) bagi lebah jenis Trigona, ia bersama anggota kelompok tani hutan mulai mencari koloni lebah didalam hutan Gunung Rajabasa. Pencarian koloni lebah tersebut tidak seperti layaknya perburuan hewan yang merusak hutan namun dilakukan sebaliknya, yaitu dengan tetap memperhatikan keseimbangan ekosistem.
Kelestarian hutan Gunung Rajabasa yang tetap dijaga oleh masyarakat sekitar yang memanfaatkan produksi hasil hutan. (ANTARA/Ruth Intan Sozometa Kanafi)
Yakub bersama sejumlah anggota kelompok tani hutan untuk mendapatkan koloni lebah yang nantinya akan dibudidayakan di kediamannya harus melewati medan yang tidak mudah di hutan konservasi Gunung Rajabasa.
Dengan berjalan kaki menyusuri jalan setapak licin berlumut, berliku-liku dan menanjak di sisi air terjun yang dingin, mereka tidak lupa untuk berbalas budi kepada alam dengan membuat sejumlah rumah lebah untuk didiami lebah yang berada di hutan serta menanam beragam tanaman sebagai pakan alami lebah yang dibiarkan tinggal bebas di hutan.
Deretan sarang lebah dengan bentuk layaknya rumah mungil serta sarang alami yang bergelantungan di pohon aren dengan beragam bunga yang menghiasi halaman serta bahu jalan desa menjadi pemandangan lumrah bagi warga Desa Way Kalam yang menggantungkan hidupnya dari hasil produksi hutan.
“Sejumlah koloni ada yang dibudidayakan di rumah tawon serta ada yang dibiarkan tetap di dalam hutan, agar lebah yang disini (lebah budidaya) biasa tetap hidup bebas mencari nektar kami menanami pekarangan rumah dan bahu jalan dengan beragam bunga, selain untuk memberi makan lebah juga biasa untuk menghijaukan lingkungan sekitar,” ujar Yakub sembari meniriskan tetesan madu kedalam botol.
Menurutnya, komitmen menjaga kelestarian hutan juga dilakukan dengan melakukan panen madu setiap 6 bulan sekali agar tidak terlalu sering mengganggu habitat lebah, selain itu edukasi untuk mencintai hutan layaknya mencintai dan melindungi keluarga selalu disampaikan bersama anggota lembaga pemberdayaan hutan kepada kolega, anak hingga wisatawan yang sering berkunjung ke Gunung Rajabasa.
Selarasnya energi antara kelestarian alam dan kehidupan manusia di Desa Way Kalam membuahkan kado manis bagi masyarakat setempat.
Hasil hutan bukan kayu berupa madu dapat dipanen oleh warga, selain itu lanskap hijaunya hutan serta sejuknya udara dan beningnya air terjun menjadi salah satu daya tarik wisata alam yang dapat dimanfaatkan oleh warga sekitar untuk menghidupi keluarga di tengah pandemi COVID-19 yang masih terus berlangsung.
Pengelolaan hutan yang berkelanjutan melalui skema perhutanan sosial tidak hanya terjadi di Kabupaten Lampung Selatan tepatnya di Desa Way Kalam, namun juga dilakukan oleh salah seorang pembudidaya lebah di Kabupaten Tanggamus, Tarmudzi yang telah tujuh tahun menggantungkan hidup dari hasil produksi hutan bukan kayu berupa madu.
Dengan tetap menggunakan cara tradisional dalam mengunduh madu, Tarmudzi mengaku hanya memanen madu tua guna memberikan kesempatan kepada lebah jenis Gong untuk berkembang biak dengan baik.
Menurutnya, bila madu muda dipanen lebih awal, selain merusak tatanan kehidupan lebah juga tidak akan mendapatkan madu dengan kualitas baik pula.
Ia mengatakan panen akan dilakukan sesuai dengan musim dengan jumlah hasil madu yang dituai hingga mencapai 1 kuintal.
Bagi sejumlah warga yang menggantungkan hidup dari hasil hutan, kelestarian hutan menjadi salah satu hal yang mutlak dan wajib dilakukan.
“Bila hutan rusak dan tidak kami jaga tentu kehidupan kami pun tidak akan berlangsung lama, oleh karena itu menjaganya tetap lestari mutlak untuk menjaga kehidupan anak cucu tetap sejahtera,” ujar Tarmudzi.
Kearifan sangatlah diperlukan dalam memanfaatkan hutan, pengelolaan perhutanan sosial dengan memperhatikan prinsip keadilan, keberlanjutan, kepastian hukum, partisipatif, dan bertanggung gugat seperti yang telah tertuang dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.38/mnlhk/setjen/kim.1/10/2016 tentang perhutanan sosial, menjadi salah satu jawaban untuk menyelaraskan keseimbangan ekosistem, kesejahteraan manusia, serta keberlangsungan hidup flora dan fauna.
Pertentangan antara dua hal tersebut terus terjadi hingga munculnya beragam aksi eksploitasi hutan, yang menyebabkan kerusakan alam.
Kadang kala masyarakat lupa cara menjaga kesehatan hutan yang sangat penting bagi mereka yang mencari nafkah darinya.
Namun dengan adanya sistem pengelolaan hutan yang mempertahankan kelestarian melalui perhutanan sosial, menjadi salah satu solusi atas kesenjangan yang ada.
Pada awal tahun 2021 peran negara untuk menjaga keseimbangan antara menjaga kelestarian serta kesejahteraan masyarakat terbukti dengan adanya penyerahan 2.929 SK Perhutanan Sosialnya di seluruh tanah air dengan luas lahan 3.442.000 hektare untuk terus mendorong redistribusi aset melalui kebijakan perhutanan sosial maupun reformasi agraria.
Komitmen menjaga kelestarian hutan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat telah mulai terlihat di Provinsi Lampung sebagai salah satu daerah dengan luas lahan perhutanan sosial cukup luas, yakni 185.913 hektare.
Contoh nyata mewujudkan komitmen tersebut telah dilakukan oleh warga Desa Way Kalam, Kalianda, Lampung Selatan yang tinggal di lereng Gunung Rajabasa yang merupakan salah satu area konservasi yang ada di Sai Bumi Ruwa Jurai.
Dibawah naungan Kelompok Tani Hutan Mulia yang berfokus pada pengelolaan hasil hutan bukan kayu berupa madu yang berasal dari lebah Dorsata, Trigona dan Cerana.
Muhamad Syukur Yakub salah satu pembudidaya madu Trigona telah merasakan reguk manis madu atas terjaganya kelestarian hutan.
Bersama Kelompok Tani Hutan Mulia lelaki berusia 38 tahun yang akrab dipanggil Yakub mulai membudidayakan lebah trigona selama 12 bulan terakhir tepatnya setelah pandemi COVID-19 berlangsung.
"Tepat saat budi daya akan dimulai, pandemi COVID-19 datang, ini menjadi tantangan yang cukup sulit pada awal pelaksanaan budi daya," ujar Yakub.
Ia mengatakan adanya pandemi COVID-19 tidak membuatnya patah arang, dan terus memberikan motivasi bagi anggota kelompok tani hutan untuk mengusahakan hasil hutan berupa madu sembari menjaga kelestarian hutan.
Bermula dengan menyediakan stup (sarang lebah) bagi lebah jenis Trigona, ia bersama anggota kelompok tani hutan mulai mencari koloni lebah didalam hutan Gunung Rajabasa. Pencarian koloni lebah tersebut tidak seperti layaknya perburuan hewan yang merusak hutan namun dilakukan sebaliknya, yaitu dengan tetap memperhatikan keseimbangan ekosistem.
Yakub bersama sejumlah anggota kelompok tani hutan untuk mendapatkan koloni lebah yang nantinya akan dibudidayakan di kediamannya harus melewati medan yang tidak mudah di hutan konservasi Gunung Rajabasa.
Dengan berjalan kaki menyusuri jalan setapak licin berlumut, berliku-liku dan menanjak di sisi air terjun yang dingin, mereka tidak lupa untuk berbalas budi kepada alam dengan membuat sejumlah rumah lebah untuk didiami lebah yang berada di hutan serta menanam beragam tanaman sebagai pakan alami lebah yang dibiarkan tinggal bebas di hutan.
Deretan sarang lebah dengan bentuk layaknya rumah mungil serta sarang alami yang bergelantungan di pohon aren dengan beragam bunga yang menghiasi halaman serta bahu jalan desa menjadi pemandangan lumrah bagi warga Desa Way Kalam yang menggantungkan hidupnya dari hasil produksi hutan.
“Sejumlah koloni ada yang dibudidayakan di rumah tawon serta ada yang dibiarkan tetap di dalam hutan, agar lebah yang disini (lebah budidaya) biasa tetap hidup bebas mencari nektar kami menanami pekarangan rumah dan bahu jalan dengan beragam bunga, selain untuk memberi makan lebah juga biasa untuk menghijaukan lingkungan sekitar,” ujar Yakub sembari meniriskan tetesan madu kedalam botol.
Menurutnya, komitmen menjaga kelestarian hutan juga dilakukan dengan melakukan panen madu setiap 6 bulan sekali agar tidak terlalu sering mengganggu habitat lebah, selain itu edukasi untuk mencintai hutan layaknya mencintai dan melindungi keluarga selalu disampaikan bersama anggota lembaga pemberdayaan hutan kepada kolega, anak hingga wisatawan yang sering berkunjung ke Gunung Rajabasa.
Selarasnya energi antara kelestarian alam dan kehidupan manusia di Desa Way Kalam membuahkan kado manis bagi masyarakat setempat.
Hasil hutan bukan kayu berupa madu dapat dipanen oleh warga, selain itu lanskap hijaunya hutan serta sejuknya udara dan beningnya air terjun menjadi salah satu daya tarik wisata alam yang dapat dimanfaatkan oleh warga sekitar untuk menghidupi keluarga di tengah pandemi COVID-19 yang masih terus berlangsung.
Pengelolaan hutan yang berkelanjutan melalui skema perhutanan sosial tidak hanya terjadi di Kabupaten Lampung Selatan tepatnya di Desa Way Kalam, namun juga dilakukan oleh salah seorang pembudidaya lebah di Kabupaten Tanggamus, Tarmudzi yang telah tujuh tahun menggantungkan hidup dari hasil produksi hutan bukan kayu berupa madu.
Dengan tetap menggunakan cara tradisional dalam mengunduh madu, Tarmudzi mengaku hanya memanen madu tua guna memberikan kesempatan kepada lebah jenis Gong untuk berkembang biak dengan baik.
Menurutnya, bila madu muda dipanen lebih awal, selain merusak tatanan kehidupan lebah juga tidak akan mendapatkan madu dengan kualitas baik pula.
Ia mengatakan panen akan dilakukan sesuai dengan musim dengan jumlah hasil madu yang dituai hingga mencapai 1 kuintal.
Bagi sejumlah warga yang menggantungkan hidup dari hasil hutan, kelestarian hutan menjadi salah satu hal yang mutlak dan wajib dilakukan.
“Bila hutan rusak dan tidak kami jaga tentu kehidupan kami pun tidak akan berlangsung lama, oleh karena itu menjaganya tetap lestari mutlak untuk menjaga kehidupan anak cucu tetap sejahtera,” ujar Tarmudzi.
Kearifan sangatlah diperlukan dalam memanfaatkan hutan, pengelolaan perhutanan sosial dengan memperhatikan prinsip keadilan, keberlanjutan, kepastian hukum, partisipatif, dan bertanggung gugat seperti yang telah tertuang dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.38/mnlhk/setjen/kim.1/10/2016 tentang perhutanan sosial, menjadi salah satu jawaban untuk menyelaraskan keseimbangan ekosistem, kesejahteraan manusia, serta keberlangsungan hidup flora dan fauna.