Kepolisian Austria menangkap 14 orang berusia 18-28 tahun yang dicurigai terlibat dalam aksi teror di Wina. Aparat keamanan setempat masih menyelidiki kemungkinan mereka punya hubungan dengan organisasi teroris, kata Nehammer. Tidak hanya itu, kepolisian juga akan memeriksa aktivitas masing-masing individu, tambah dia.
"Sebelum teror terjadi, menurut informasi yang saat ini tersedia, ada beberapa insiden yang terjadi," kata Nehammer saat jumpa pers.
Badan Intelijen Slowakia pada Juli telah meneruskan informasi mengenai adanya kemungkinan pelaku berupaya membeli amunisi senjata di wilayah tersebut. Namun, pelaku gagal membeli amunisi, kata Nehammer dan Direktur Jenderal Keamanan Publik Austria Franz Ruf.
"Beberapa saat selanjutnya, ada hal-hal yang tidak beres terjadi di sini, khususnya terkait dengan akses komunikasi," kata Nehammer seraya mendorong pembentukan komisi independen untuk menyelidiki kesalahan tersebut.
Berbekal informasi dari Slowakia, Badan Intelijen Dalam Negeri Austria di tingkat pusat dan daerah melakukan pemeriksaan dan mengirim sejumlah pertanyaan ke Bratislava, kata Ruf.
"Komisi akan menentukan apakah proses (pencegahan, red) telah berjalan optimal dan sesuai dengan aturan undang-undang," kata dia. Dewan Keamanan Nasional Austria telah mengesahkan pembentukan komisi independen, Rabu.
Pelaku penembakan, yang menyebabkan empat warga sipil menjadi korban di Wina, tewas tertembak oleh peluru polisi beberapa menit setelah ia melakukan aksinya. Pelaku merupakan seorang pria berusia 20 tahun yang memiliki dua kebangsaan, yaitu Austria dan Macedonia Utara.
Ia lahir dan besar di Wina dan sempat dipenjara karena berusaha pergi ke Suriah.
Belasan tersangka yang ditahan di kepolisian Austria memiliki "latar belakang sebagai imigran", kata Nehammer. Kepala Kepolisian Wina Gerhard Puerstl menambahkan beberapa di antara mereka memiliki kebangsaan ganda, yaitu Bangladesh, Macedonia Utara, Turki, atau Rusia.
Dalam beberapa tahun terakhir, Austria menilai serangan teroris sebagai ancaman keamanan terbesar di dalam negeri. Otoritas keamanan juga menetapkan pasukan asing yang baru kembali dari Irak atau Suriah beserta para simpatisannya sebagai ancaman untuk masyarakat di dalam negeri. Austria merupakan bagian dari Koalisi Global Lawan ISIS yang dibentuk pada 2014 dan dipimpin oleh Amerika Serikat.
Otoritas di Austria pada 2018 menemukan 320 orang di negaranya berpartisipasi aktif atau ingin berpartisipasi dalam perang di Suriah dan Irak. Dari total itu, sekitar 58 di antaranya diyakini telah meninggal di lokasi perang, sementara 93 orang lainnya telah kembali ke Austria. Sekitar 62 orang dari kelompok itu dilarang pulang ke tanah air.
Nehammer mengatakan pelaku berhasil mengelabui program reintegrasi secara sempurna. Austria meluncurkan program reintegrasi untuk para eks pejuang/pelaku teror agar dapat kembali hidup berdampingan dengan masyarakat. Nehammer kerap mengkritik program deradikalisasi tersebut.
Akan tetapi, Moussa Al-Hassan Diaw membantah pernyataan Nehammer dan mengatakan "jelas pelaku belum lolos deradikalisas." Diaw merupakan salah satu pendiri Derad, organisasi yang menjalankan program reintegrasi dan deradikalisasi eks pasukan dari Suriah dan Irak.
Beraksi sendiri
Masyarakat telah menyerahkan lebih dari 20.000 rekaman video yang kemudian dianalisis oleh badan intelijen Austria. Hasil analisis menunjukkan hanya ada satu pelaku aksi penembakan, kata Nehammer, mengakhiri pertanyaan banyak pihak mengenai kemungkinan ada pihak lain yang terlibat.
Swiss juga menangkap dua pria yang diyakini terlibat dalam serangan itu. Menteri Hukum Swiss mengatakan keduanya "berteman" dengan pelaku teror.
Ruf mengatakan Austria telah menghubungi Swiss dan negara lainnnya terkait penyelidikan tersebut. Namun, ia menolak memberi keterangan lebih lanjut.
Macedonia Utara pada Selasa (3/11) mengatakan tiga orang dicurigai terlibat dalam serangan itu. Ketiganya memiliki kebangsaan ganda, yaitu Austria dan Macedonia Utara. Otoritas setempat hanya menyebut inisial dari tiga orang tersebut.
Kantor Kanselir Austria Sebastian Kurz pada Rabu siang (4/11) mengatakan Presiden Prancis Emmanuel Macron akan mengunjungi Wina, Senin. Prancis belum lama ini mengalami dua aksi teror akibat penerbitan kartun satir mirip Nabi Muhammad.
Enam jam kemudian, kantor kanselir mengatakan pertemuan Kurz dan Macron ditunda karena pandemi COVID-19. Pihak tersebut menambahkan keduanya akan menggelar pertemuan lewat video konferensi pada awal minggu depan. Pertemuan itu akan membahas perang terhadap terorisme dan dunia politik Islam.
Sumber: Reuters