Ankara (ANTARA) - Armenia dan Azerbaijan dalam pertemuan di Jenewa, Jumat (30/10), sepakat untuk tidak menargetkan warga sipil dalam konflik Nagorno-Karabakh, menurut Organisasi untuk Keamanan dan Kerja Sama di Eropa (OSCE) Minsk Group.
"Kedua belah pihak tidak akan dengan sengaja menargetkan penduduk sipil atau objek nonmiliter sesuai dengan hukum humaniter internasional," kata sebuah pernyataan oleh perwakilan OSCE Minsk Group yaitu Igor Popov dari Rusia, Stephane Visconti dari Prancis, dan Andrew Schofer dari Amerika Serikat.
Kelompok itu dibentuk pada 1992 untuk mencari solusi damai bagi konflik Armenia-Azerbaijan.
Perwakilan OSCE Minsk Group telah bertemu dengan Menteri Luar Negeri Azerbaijan Jeyhun Bayramov dan Menteri Luar Negeri Armenia Zohrab Mnatsakanyan. Konsultasi juga diadakan dengan Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi Filippo Grandi dan Presiden Komite Internasional Palang Merah (ICRC) Peter Maurer.
Ketua bersama OSCE mengulangi seruan untuk mengimplementasikan komitmen "secara penuh", termasuk segera dibentuknya gencatan senjata kemanusiaan, di bawah kesepakatan gencatan senjata sebelumnya pada 10 Oktober di Moskow, 17 Oktober---ditegaskan kembali di Paris---dan gencatan senjata 25 Oktober di Washington.
Pernyataan tersebut menggarisbawahi bahwa "tanpa prasangka terhadap implementasi gencatan senjata atau komitmen lain," kedua pihak sepakat untuk mengambil beberapa langkah secara mendesak, termasuk secara aktif terlibat dalam pelaksanaan pemulihan dan pertukaran jenazah di medan perang dengan menyediakan ICRC dan PRCiO "jaminan keamanan yang diperlukan untuk fasilitasi".
Pernyataan itu juga menyebut bahwa kedua pihak setuju dalam waktu seminggu untuk mengirimkan ke ICRC dan PRCiO daftar "tawanan perang yang saat ini ditahan" untuk memberikan akses dan pertukaran akhirnya.
"Kedua belah pihak akan memberikan komentar dan pertanyaan tertulis terkait kemungkinan mekanisme verifikasi gencatan senjata sesuai dengan butir 2 dari pernyataan bersama 10 Oktober," tambahnya.
OSCE mengatakan bahwa para ketua bersama akan terus bekerja dengan Baku dan Yerevan "secara intensif" untuk menemukan solusi damai untuk konflik tersebut.
Sejak bentrokan meletus pada 27 September, Armenia berulang kali menyerang warga sipil dan pasukan Azerbaijan, bahkan melanggar tiga gencatan senjata kemanusiaan sejak 10 Oktober.
Hingga saat ini, setidaknya 91 warga sipil, termasuk 11 anak-anak dan 27 wanita, telah tewas dalam serangan Armenia, menurut Kepala Kantor Kejaksaan Azerbaijan.
Sekitar 400 orang, termasuk sedikitnya 14 bayi, 36 anak-anak, dan 101 wanita, juga terluka dalam serangan itu.
Sedikitnya 2.442 rumah, 92 gedung apartemen, dan 428 bangunan umum telah rusak dan tidak dapat digunakan, kata otoritas tersebut.
Hubungan antara dua bekas republik Soviet itu tegang sejak 1991 ketika militer Armenia menduduki Karabakh Atas, atau Nagorno-Karabakh, wilayah Azerbaijan yang diakui secara internasional, dan tujuh wilayah yang berdekatan.
Empat resolusi Dewan Keamanan PBB dan dua resolusi Sidang Umum PBB, serta organisasi internasional, menuntut "penarikan segera dan tanpa syarat pasukan pendudukan" dari wilayah Azerbaijan yang diduduki.
Sekitar 20 persen wilayah Azerbaijan, termasuk Nagorno-Karabakh dan tujuh wilayah yang berdekatan, berada di bawah pendudukan Armenia secara ilegal selama hampir tiga dekade.
Gencatan senjata, bagaimanapun, disetujui pada tahun 1994.
Kekuatan dunia, termasuk Rusia, Prancis, dan AS, telah menyerukan gencatan senjata yang berkelanjutan. Turki, sementara itu, telah mendukung hak Baku untuk membela diri dan menuntut penarikan pasukan pendudukan Armenia.
Sumber: Anadolu
"Kedua belah pihak tidak akan dengan sengaja menargetkan penduduk sipil atau objek nonmiliter sesuai dengan hukum humaniter internasional," kata sebuah pernyataan oleh perwakilan OSCE Minsk Group yaitu Igor Popov dari Rusia, Stephane Visconti dari Prancis, dan Andrew Schofer dari Amerika Serikat.
Kelompok itu dibentuk pada 1992 untuk mencari solusi damai bagi konflik Armenia-Azerbaijan.
Perwakilan OSCE Minsk Group telah bertemu dengan Menteri Luar Negeri Azerbaijan Jeyhun Bayramov dan Menteri Luar Negeri Armenia Zohrab Mnatsakanyan. Konsultasi juga diadakan dengan Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi Filippo Grandi dan Presiden Komite Internasional Palang Merah (ICRC) Peter Maurer.
Ketua bersama OSCE mengulangi seruan untuk mengimplementasikan komitmen "secara penuh", termasuk segera dibentuknya gencatan senjata kemanusiaan, di bawah kesepakatan gencatan senjata sebelumnya pada 10 Oktober di Moskow, 17 Oktober---ditegaskan kembali di Paris---dan gencatan senjata 25 Oktober di Washington.
Pernyataan tersebut menggarisbawahi bahwa "tanpa prasangka terhadap implementasi gencatan senjata atau komitmen lain," kedua pihak sepakat untuk mengambil beberapa langkah secara mendesak, termasuk secara aktif terlibat dalam pelaksanaan pemulihan dan pertukaran jenazah di medan perang dengan menyediakan ICRC dan PRCiO "jaminan keamanan yang diperlukan untuk fasilitasi".
Pernyataan itu juga menyebut bahwa kedua pihak setuju dalam waktu seminggu untuk mengirimkan ke ICRC dan PRCiO daftar "tawanan perang yang saat ini ditahan" untuk memberikan akses dan pertukaran akhirnya.
"Kedua belah pihak akan memberikan komentar dan pertanyaan tertulis terkait kemungkinan mekanisme verifikasi gencatan senjata sesuai dengan butir 2 dari pernyataan bersama 10 Oktober," tambahnya.
OSCE mengatakan bahwa para ketua bersama akan terus bekerja dengan Baku dan Yerevan "secara intensif" untuk menemukan solusi damai untuk konflik tersebut.
Sejak bentrokan meletus pada 27 September, Armenia berulang kali menyerang warga sipil dan pasukan Azerbaijan, bahkan melanggar tiga gencatan senjata kemanusiaan sejak 10 Oktober.
Hingga saat ini, setidaknya 91 warga sipil, termasuk 11 anak-anak dan 27 wanita, telah tewas dalam serangan Armenia, menurut Kepala Kantor Kejaksaan Azerbaijan.
Sekitar 400 orang, termasuk sedikitnya 14 bayi, 36 anak-anak, dan 101 wanita, juga terluka dalam serangan itu.
Sedikitnya 2.442 rumah, 92 gedung apartemen, dan 428 bangunan umum telah rusak dan tidak dapat digunakan, kata otoritas tersebut.
Hubungan antara dua bekas republik Soviet itu tegang sejak 1991 ketika militer Armenia menduduki Karabakh Atas, atau Nagorno-Karabakh, wilayah Azerbaijan yang diakui secara internasional, dan tujuh wilayah yang berdekatan.
Empat resolusi Dewan Keamanan PBB dan dua resolusi Sidang Umum PBB, serta organisasi internasional, menuntut "penarikan segera dan tanpa syarat pasukan pendudukan" dari wilayah Azerbaijan yang diduduki.
Sekitar 20 persen wilayah Azerbaijan, termasuk Nagorno-Karabakh dan tujuh wilayah yang berdekatan, berada di bawah pendudukan Armenia secara ilegal selama hampir tiga dekade.
Gencatan senjata, bagaimanapun, disetujui pada tahun 1994.
Kekuatan dunia, termasuk Rusia, Prancis, dan AS, telah menyerukan gencatan senjata yang berkelanjutan. Turki, sementara itu, telah mendukung hak Baku untuk membela diri dan menuntut penarikan pasukan pendudukan Armenia.
Sumber: Anadolu