Jakarta (ANTARA) - Apabila Korea Utara dipimpin kalangan senior selepas Kim Jon Un meninggal dunia, hubungan Korea Utara dengan Korea Selatan maupun Amerika Serikat dapat berpengaruh ke arah yang negatif.
Hal tersebut disampaikan oleh pengamat internasional dan guru besar hukum internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana kepada ANTARA di Jakarta, Minggu, untuk menanggapi calon pengganti Kim Jong Un.
Pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un, beberapa waktu lalu dikabarkan kritis setelah menjalani operasi jantung.
Namun Media Korea Utara tutup mulut terkait keberadaan Kim Jong Un.
"Saat ini banyak spekulasi yang beredar siapa yang menjadi pengganti Kim Jong Un. Kalau penggantinya lebih senior dari Kim Jong Un maka garis kebijakannya tentu berbeda dengan Kim Jong Un dan mempengaruhi hubungan Korea Utara dengan Korea Selatan ke arah negatif," ujar Hikmahanto Juwana.
Ia mencontohkan calon yang pantas menggantikan posisi Kim Jong Un dari kalangan senior itu yaitu bibi dari Kim Jong Un, Kim Kyong Hui.
Kim Kyong Hui pernah menjadi figur yang kuat pada masa kepemimpinan saat kakaknya Kim Jong Il menjadi pemimpin Korea Utara.
"Bibinya itu mengalami masa-masa ayahnya Kim Jong Un yaitu Kim Jong Il berkuasa. Apabila Kim Kyong Hui menggantikan Kim Jong Un sebagai pemimpin Korea Utara, maka garis kebijakan pemerintahannya yang seperti di masa Kim Jong Il akan diterapkan kembali," kata Hikmahanto.
Apabila pengganti Kim Jong Un berasal dari kalangan anak muda atau lebih muda dari pemimpin Korea Utara itu, maka garis kebijakannya lebih progresif.
"Artinya dia akan meneruskan apa yang dilakukan oleh Kim Jong Un," kata dia.
Selain itu Korea Selatan maupun Amerika Serikat harus waspada dalam menjalin hubungan dengan Korea Utara.
Hal itu dilakukan oleh Korsel maupun AS, apabila pengganti Kim Jong Un berasal dari kalangan senior.
"Kalau pengganti Kim Jong Un itu berasal dari kalangan muda, maka Korsel maupun AS dapat menjalin hubungan sepenuhnya dengan Korut," ujar Hikmahanto.
Ia mengatakan semua garis kebijakan pemerintah Korea Utara itu tergantung dari pucuk pimpinan negara itu.
"Tidak ada demokrasi jadi tergantung penggantinya itu seperti apa," pungkas Hikmahanto.
Hal tersebut disampaikan oleh pengamat internasional dan guru besar hukum internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana kepada ANTARA di Jakarta, Minggu, untuk menanggapi calon pengganti Kim Jong Un.
Pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un, beberapa waktu lalu dikabarkan kritis setelah menjalani operasi jantung.
Namun Media Korea Utara tutup mulut terkait keberadaan Kim Jong Un.
"Saat ini banyak spekulasi yang beredar siapa yang menjadi pengganti Kim Jong Un. Kalau penggantinya lebih senior dari Kim Jong Un maka garis kebijakannya tentu berbeda dengan Kim Jong Un dan mempengaruhi hubungan Korea Utara dengan Korea Selatan ke arah negatif," ujar Hikmahanto Juwana.
Ia mencontohkan calon yang pantas menggantikan posisi Kim Jong Un dari kalangan senior itu yaitu bibi dari Kim Jong Un, Kim Kyong Hui.
Kim Kyong Hui pernah menjadi figur yang kuat pada masa kepemimpinan saat kakaknya Kim Jong Il menjadi pemimpin Korea Utara.
"Bibinya itu mengalami masa-masa ayahnya Kim Jong Un yaitu Kim Jong Il berkuasa. Apabila Kim Kyong Hui menggantikan Kim Jong Un sebagai pemimpin Korea Utara, maka garis kebijakan pemerintahannya yang seperti di masa Kim Jong Il akan diterapkan kembali," kata Hikmahanto.
Apabila pengganti Kim Jong Un berasal dari kalangan anak muda atau lebih muda dari pemimpin Korea Utara itu, maka garis kebijakannya lebih progresif.
"Artinya dia akan meneruskan apa yang dilakukan oleh Kim Jong Un," kata dia.
Selain itu Korea Selatan maupun Amerika Serikat harus waspada dalam menjalin hubungan dengan Korea Utara.
Hal itu dilakukan oleh Korsel maupun AS, apabila pengganti Kim Jong Un berasal dari kalangan senior.
"Kalau pengganti Kim Jong Un itu berasal dari kalangan muda, maka Korsel maupun AS dapat menjalin hubungan sepenuhnya dengan Korut," ujar Hikmahanto.
Ia mengatakan semua garis kebijakan pemerintah Korea Utara itu tergantung dari pucuk pimpinan negara itu.
"Tidak ada demokrasi jadi tergantung penggantinya itu seperti apa," pungkas Hikmahanto.