Jakarta (ANTARA) - Imam Nahrawi disebut meminta dana operasional ke para bawahannya hingga mencapai Rp500 juta namun hanya terkumpul Rp25 juta.
"Bukan Ulum yang meminta untuk disisihkan biaya operasional Menpora tapi asisten pribadi Menpora yang lain namanya Nur Rochman alias Pak Komeng, dia di Kemenpora juga sama dengan Ulum," kata Sekretaris Menpora (Sesmenpora) Gatot S Dewa Broto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis.
Gatot bersaksi untuk asisten pribadi Menpora Miftahul Ulum yang bersama-sama dengan Imam Nahrawi didakwa menerima suap totalnya sejumlah Rp11,5 miliar dan gratifikasi berupa uang seluruhnya berjumlah Rp8,648 miliar.
"Peristiwa terjadi awal Desember 2014, saya ditemui Pak Komeng intinya jelang akhir tahun mohon Deputi V yaitu saya melakukan pengumpulan uang sebesar Rp500 juta. Saya katakan saya orang baru, belum setahun karena baru bertugas dari Maret 2014. Dia (Komeng) minta semacam sisa hasil usaha, saya tidak mampu melakukannya, kata Pak Komeng untuk kepentingan Pak Imam Nahrawi," ungkap Gatot.
Namun karena Gatot tidak kunjung merespon maka ia pun mengatakan kepada Komeng bahwa hanya mampu menyerahkan Rp25 juta.
"Saya minta Pak Komeng berhubungan dengan Pak Chandra, karena Pak Chandra ini asisten saya di Deputi V dan saya tidak tahu kapan diserahkan Pak Chandra tapi saya yakin diserahkan Desember 2015 yaitu Rp25 juta hasil dari patungan asisten-asisten deputi di Kedeputian V," tambah Gatot.
Chandra yang Gatot maksudkan adalah Chandra Bakti dan saat ini menjabat sebagai Staf Ahli Bidang Kerjasama Kelembagaan Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora).
"Saya minta Pak Chandra lakukan eksekusi, saya minta Pak Komeng berhubungan dengan Pak Chandra," ungkap Gatot.
"Dalam BAP saudara menyebutkan karena sudah malam saya minta Komeng mengambil keesokan harinya di Chandra Bakti, salah satu asdep saya. Keesokan harinya saya tanya ke Chandra apakah Nurrohman alias Komeng sudah ambil uang, dijawab Chandra Bakti sudah, namun tidak ada tanda terima uang tersebut', benar demikian?" tanya hakim Ni Made Sudani.
"Saya tidak serahkan uang Rp25 juta, tapi saya tahu soal permintaan itu," jawab Chandra yang juga jadi saksi dalam pengadilan.
"Pak Nurrohman jadi ketemu Pak Chandra?" tanya jaksa Ronald Worotikan.
"Tidak, saya tidak berikan uang itu, saya tidak ingat lagi Pak Jaksa," jawab Chandra.
"Tapi tahu soal kesanggupan pihak deputi V untuk memenuhi permintaan Rp25 juta?" tanya jaksa Ronald.
"Permintaan itu ketika arahan Pak Deputi menyanggupi Rp25 juta, kolektif asdep," jawab Chandra.
"Kenapa dilimpahkan ke Pak Chandra Bakti?" tanya hakim Ni Made.
"Karena uang dikumpulkan dari asdep, saya sendiri tidak keluar uang, jadi asdep bilang uang itu akan dikumpulkan," jawab Gatot.
"Lalu uangnya dari mana?" tanya hakim.
"Uang dari perjalanan dinas, dari DIPA hingga terkumpul Rp25 juta, tapi salah satu asdep, Pak Johny tidak mau bayar," kata Chandra.
Dalam perkara ini Miftahul Ulum selaku asisten pribadi Menpora bersama-sama dengan Imam Nahrawi didakwa menerima suap totalnya sejumlah Rp11,5 miliar dari Sekretaris Jenderal Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Ending Fuad Hamidy dan Bendahara KONI Johnny E Awuy yaitu terkait proposal bantuan dana hibah kepada Kemenpora dalam pelaksanaan tugas pengawasan dan pendampingan program Asian Games dan Asian Para Games 2018 serta proposal dukungan KONI Pusat dalam pengawasan dan pendampingan seleksi calon atlet dan pelatih atlet berprestasi tahun 2018.
Sedangkan dalam dakwaan kedua Miftahul Ulum didakwa menerima gratifikasi berupa uang seluruhnya berjumlah Rp8,648 miliar dengan rincian Rp300 juta dari Ending Fuad Hamidy; uang Rp4,948 miliar sebagai tambahan operasional Menpora RI, Rp2 miliar sebagai pembayaran jasa desain Konsultan Arsitek Kantor Budipradono Architecs dari Lina Nurhasanah selaku Bendahara Pengeluaran Pembantu (BPP) Program Indonesia Emas (PRIMA) Kemenpora RI tahun anggaran 2015-2016; uang Rp1 miliar dari Edward Taufan Panjaitan selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) program Satlak Prima 2016-2017 dan uang sejumlah Rp400 juta dari Supriyono selaku BPP Peningkatan Prestasi Olahraga Nasional (PPON) tahun 2017-2018 dari KONI Pusat.
"Bukan Ulum yang meminta untuk disisihkan biaya operasional Menpora tapi asisten pribadi Menpora yang lain namanya Nur Rochman alias Pak Komeng, dia di Kemenpora juga sama dengan Ulum," kata Sekretaris Menpora (Sesmenpora) Gatot S Dewa Broto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis.
Gatot bersaksi untuk asisten pribadi Menpora Miftahul Ulum yang bersama-sama dengan Imam Nahrawi didakwa menerima suap totalnya sejumlah Rp11,5 miliar dan gratifikasi berupa uang seluruhnya berjumlah Rp8,648 miliar.
"Peristiwa terjadi awal Desember 2014, saya ditemui Pak Komeng intinya jelang akhir tahun mohon Deputi V yaitu saya melakukan pengumpulan uang sebesar Rp500 juta. Saya katakan saya orang baru, belum setahun karena baru bertugas dari Maret 2014. Dia (Komeng) minta semacam sisa hasil usaha, saya tidak mampu melakukannya, kata Pak Komeng untuk kepentingan Pak Imam Nahrawi," ungkap Gatot.
Namun karena Gatot tidak kunjung merespon maka ia pun mengatakan kepada Komeng bahwa hanya mampu menyerahkan Rp25 juta.
"Saya minta Pak Komeng berhubungan dengan Pak Chandra, karena Pak Chandra ini asisten saya di Deputi V dan saya tidak tahu kapan diserahkan Pak Chandra tapi saya yakin diserahkan Desember 2015 yaitu Rp25 juta hasil dari patungan asisten-asisten deputi di Kedeputian V," tambah Gatot.
Chandra yang Gatot maksudkan adalah Chandra Bakti dan saat ini menjabat sebagai Staf Ahli Bidang Kerjasama Kelembagaan Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora).
"Saya minta Pak Chandra lakukan eksekusi, saya minta Pak Komeng berhubungan dengan Pak Chandra," ungkap Gatot.
"Dalam BAP saudara menyebutkan karena sudah malam saya minta Komeng mengambil keesokan harinya di Chandra Bakti, salah satu asdep saya. Keesokan harinya saya tanya ke Chandra apakah Nurrohman alias Komeng sudah ambil uang, dijawab Chandra Bakti sudah, namun tidak ada tanda terima uang tersebut', benar demikian?" tanya hakim Ni Made Sudani.
"Saya tidak serahkan uang Rp25 juta, tapi saya tahu soal permintaan itu," jawab Chandra yang juga jadi saksi dalam pengadilan.
"Pak Nurrohman jadi ketemu Pak Chandra?" tanya jaksa Ronald Worotikan.
"Tidak, saya tidak berikan uang itu, saya tidak ingat lagi Pak Jaksa," jawab Chandra.
"Tapi tahu soal kesanggupan pihak deputi V untuk memenuhi permintaan Rp25 juta?" tanya jaksa Ronald.
"Permintaan itu ketika arahan Pak Deputi menyanggupi Rp25 juta, kolektif asdep," jawab Chandra.
"Kenapa dilimpahkan ke Pak Chandra Bakti?" tanya hakim Ni Made.
"Karena uang dikumpulkan dari asdep, saya sendiri tidak keluar uang, jadi asdep bilang uang itu akan dikumpulkan," jawab Gatot.
"Lalu uangnya dari mana?" tanya hakim.
"Uang dari perjalanan dinas, dari DIPA hingga terkumpul Rp25 juta, tapi salah satu asdep, Pak Johny tidak mau bayar," kata Chandra.
Dalam perkara ini Miftahul Ulum selaku asisten pribadi Menpora bersama-sama dengan Imam Nahrawi didakwa menerima suap totalnya sejumlah Rp11,5 miliar dari Sekretaris Jenderal Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Ending Fuad Hamidy dan Bendahara KONI Johnny E Awuy yaitu terkait proposal bantuan dana hibah kepada Kemenpora dalam pelaksanaan tugas pengawasan dan pendampingan program Asian Games dan Asian Para Games 2018 serta proposal dukungan KONI Pusat dalam pengawasan dan pendampingan seleksi calon atlet dan pelatih atlet berprestasi tahun 2018.
Sedangkan dalam dakwaan kedua Miftahul Ulum didakwa menerima gratifikasi berupa uang seluruhnya berjumlah Rp8,648 miliar dengan rincian Rp300 juta dari Ending Fuad Hamidy; uang Rp4,948 miliar sebagai tambahan operasional Menpora RI, Rp2 miliar sebagai pembayaran jasa desain Konsultan Arsitek Kantor Budipradono Architecs dari Lina Nurhasanah selaku Bendahara Pengeluaran Pembantu (BPP) Program Indonesia Emas (PRIMA) Kemenpora RI tahun anggaran 2015-2016; uang Rp1 miliar dari Edward Taufan Panjaitan selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) program Satlak Prima 2016-2017 dan uang sejumlah Rp400 juta dari Supriyono selaku BPP Peningkatan Prestasi Olahraga Nasional (PPON) tahun 2017-2018 dari KONI Pusat.