Jakarta (ANTARA) - Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) dr Hari Paraton mengatakan pada tahun 2020 para dokter di Tanah Air akan diawasi oleh tim khusus yang ada pada setiap rumah sakit untuk mencegah kekeliruan dalam memberikan antibiotik.
"Tahun depan mudah-mudahan bisa diterapkan karena pedomannya sudah disusun, beberapa rumah sakit sudah menjadi pilot project dan sedang berjalan," kata dia di Jakarta, Kamis.
Ia mengatakan para dokter di Indonesia harus terus diberikan pembekalan karena masih banyak kurang tepat dalam memberikan antibiotik kepada pasien.
"Jadi 80 persen itu harus dibetulin, bukan salah," katanya.
Baca juga: FAO : Asia Tenggara adalah pusat penyalahgunaan antibiotik
Baca juga: WHO: Penggunaan antibiotik harus dilakukan dengan bijak
Kesalahan dalam pemberian antibiotik ini juga disebabkan ketidaktahuan para dokter. Tetapi faktor yang terbesar adalah tidak adanya sarana dianogstik laboratorium atau layanan mikrobiologi.
"Jadi misalnya kita infeksi paru-paru penyebabnya banyak, bisa bakteri A, B, atau C. Tiap bakteri punya antibiotik tersendiri pula," katanya.
Namun, praktik yang sering terjadi selama ini yaitu para tenaga medis banyak salah atau keliru dalam memberikan antibiotik. Dengan kata lain tidak sesuai dengan bakteri yang ada dalam tubuh pasien sehingga resisten terhadap antibiotik.
Melihat kondisi tersebut, KPRA memiliki sejumlah rekomendasi di antaranya perlu meningkatkan pemahaman dan pengetahuan melalui penyuluhan ke masyarakat maupun dokter melalui penyuluhan.
Baca juga: Pemprov Lampung komit tangani resistensi antimikroba
Selanjutnya tahapan surveilans dengan tujuan agar masyarakat mengetahui statusnya. Jika sudah mengetahui bakteri mana yang tinggi maka tenaga medis bisa lebih spesifik mengatasinya.
Hal lain pencegahan infeksi melalui vaksin maupun cuci tangan. Kemudian penggunaan antibiotik yang lebih dimonitor menggunakan pedoman penatagunaan antibiotik.
"Jadi ke depan dokter tidak boleh salah lagi lah," tegasnya.
Selain itu, menurut Hari ke depan para dokter juga perlu dibekali oleh masing-masing organisasi profesi untuk mendapatkan pengetahuan lebih terkait pemberian antibiotik.
Hal penting pula termasuk pengajaran mata kuliah ilmu kedokteran di universitas, kata Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba dr Hari Paraton.
Baca juga: Dokter : Cegah stroke sejak dini dengan pola hidup sehat
Baca juga: Bukan jantung atau kanker, tapi stroke penyebab kematian nomor satu di Indonesia
"Tahun depan mudah-mudahan bisa diterapkan karena pedomannya sudah disusun, beberapa rumah sakit sudah menjadi pilot project dan sedang berjalan," kata dia di Jakarta, Kamis.
Ia mengatakan para dokter di Indonesia harus terus diberikan pembekalan karena masih banyak kurang tepat dalam memberikan antibiotik kepada pasien.
"Jadi 80 persen itu harus dibetulin, bukan salah," katanya.
Baca juga: FAO : Asia Tenggara adalah pusat penyalahgunaan antibiotik
Baca juga: WHO: Penggunaan antibiotik harus dilakukan dengan bijak
Kesalahan dalam pemberian antibiotik ini juga disebabkan ketidaktahuan para dokter. Tetapi faktor yang terbesar adalah tidak adanya sarana dianogstik laboratorium atau layanan mikrobiologi.
"Jadi misalnya kita infeksi paru-paru penyebabnya banyak, bisa bakteri A, B, atau C. Tiap bakteri punya antibiotik tersendiri pula," katanya.
Namun, praktik yang sering terjadi selama ini yaitu para tenaga medis banyak salah atau keliru dalam memberikan antibiotik. Dengan kata lain tidak sesuai dengan bakteri yang ada dalam tubuh pasien sehingga resisten terhadap antibiotik.
Melihat kondisi tersebut, KPRA memiliki sejumlah rekomendasi di antaranya perlu meningkatkan pemahaman dan pengetahuan melalui penyuluhan ke masyarakat maupun dokter melalui penyuluhan.
Baca juga: Pemprov Lampung komit tangani resistensi antimikroba
Selanjutnya tahapan surveilans dengan tujuan agar masyarakat mengetahui statusnya. Jika sudah mengetahui bakteri mana yang tinggi maka tenaga medis bisa lebih spesifik mengatasinya.
Hal lain pencegahan infeksi melalui vaksin maupun cuci tangan. Kemudian penggunaan antibiotik yang lebih dimonitor menggunakan pedoman penatagunaan antibiotik.
"Jadi ke depan dokter tidak boleh salah lagi lah," tegasnya.
Selain itu, menurut Hari ke depan para dokter juga perlu dibekali oleh masing-masing organisasi profesi untuk mendapatkan pengetahuan lebih terkait pemberian antibiotik.
Hal penting pula termasuk pengajaran mata kuliah ilmu kedokteran di universitas, kata Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba dr Hari Paraton.
Baca juga: Dokter : Cegah stroke sejak dini dengan pola hidup sehat
Baca juga: Bukan jantung atau kanker, tapi stroke penyebab kematian nomor satu di Indonesia