Bandarlampung (ANTARA) -


Gempa 6.9 skala magnitudo yang terjadi pada Jumat, 2 Agustus 2019 pukul 19.03 WIB, dengan episenter di 147 km barat daya Kecamatan Sumur, Kabupaten Pandeglang, Banten, mengindikasikan bahwa ancaman gempa dan tsunami di selatan Jawa adalah sebuah kondisi yang harus disikapi secara nyata. 

Menurut peneliti gempa dari BPPT, Widjokongko, gempa  6,9 SR tersebut merupakan gempa intraslab, dan tidak akan mengurangi potensi energi megathrust, bahkan berpotensi mempercepat pelepasan energi Sunda Megathrust.


Sebelum kejadian gempa tersebut juga tercatat 3 kejadian gempa dangkal terjadi di sepanjang laut selatan Jawa di rentang 1 pekan terakhir; gempa 4,9 SR di 78 km barat daya Kabupaten Pangandaran, gempa 4,5  SR di 95 km barat daya Kab Blitar, gempa 5,2  SR di 59 km barat daya Bayah Banten.

 Bahkan bila ditarik rentang waktu 1 bulan terakhir makin banyak kejadian gempa yang terekam di jalur tersebut. Tentu menarik untuk dicermati lebih jauh, mengingat Selatan Jawa memang menyimpan ancaman gempa Subduksi Megathrust, yang berpotensi mendatangkan tsunami.

Menurut Wahyu Novyan, Executive Director of Disaster Management Institute of Indonesia (DMII) - Aksi Cepat Tanggap (ACT), dalam keterangan tertulis yang diterima di Bandarlampung, Selasa, mengatakan di wilayah Selatan Jawa memang frekuensi gempa memang sedang meningkat. 

Selain Selatan Jawa, wilayah Barat Sumatera perlu mendapat perhatian khusus.

"Dalam pengamatan kami, jalur subduksi di wilayah Barat Sumatera dan Selatan Jawa perlu perhatian ekstra. Selain itu sejumlah sesar (patahan) yang melintasi kota-kota besar di pulau Jawa, seperti Sesar Baribis-Kendeng yang melintasi kota-kota seperti Semarang, Surabaya, dan bahkan Jakarta, dan juga Sesar Lembang yang melintasi Bandung Raya, juga sangat perlu perhatian khusus," papar Wahyu. 

DMII pun mendesak para pemangku kepentingan di dua wilayah yang dimaksud, baik pemerintah, swasta, dan masyarakat, untuk mengambil peran aktif dalam upaya mitigasi bencana secara sistematis, baik mitigasi struktural maupun kultural.

 Agar korban jiwa dan kerugian materil bisa diminimalisir ketika bencana tiba.

"Sebagai gambaran, bila gempa Megathrust Selatan Jawa terjadi dengan Magnitudo 9,2, dari kajian kami,  1,7 juta jiwa penduduk di pesisir selatan Jawa berpotensi terdampak. Sungguh jumlah yang masif. Belum lagi potensi kerugian material. Cukup lah gempa Lombok, gempa Palu Donggala, dan tsunami Selat Sunda 2018.

"Menjadi pelajaran bagi kita, bahwa mitigasi bencana is a must! Sebuah keharusan. Mitigasi bencana adalah harga mati!," ujar Wahyu.

Menurut dia, sejak awal tahun, di forum Disaster Outlook 2019, DMII-ACT sudah menyampaikan peringatan, yang berasal dari hasil penelitian para pakar, terkait potensi bencana besar di sepanjang 2019. 

"Di forum tersebut kami sudah suarakan bahwa Indonesia (saat ini) darurat mitigasi bencana. Maksudnya, kami menilai kebijakan pembangunan kita sangat tidak pro-mitigasi bencana. Karena kita masih terbelenggu mindset Emergency Response Centric, sehingga ketika terjadi bencana, korban jiwa dan kerugian material yang muncul begitu besar,”l" kata Wahyu.

Berdasarkan data yang dihimpun DMII dari sejumlah sumber, sepanjang Januari – Juli 2019, tercatat 2.277 kejadian bencana, dengan 98 persen berupa bencana hidrometeorologi, yang mengakibatkan  415 jiwa meninggal, 1.640 jiwa luka-luka, 36.346 rumah serta 1.275 fasilitas umum rusak, dan 2.187.229 jiwa mengungsi.

Bila dibandingkan dengan data kejadian bencana di Januari – Juli 2018, maka terjadi peningkatan 215 kejadian bencana (10,40 persen), dan peningkatan jumlah korban jiwa 227 jiwa (120,7 persen). 

Jumlah di atas masih berpotensi bertambah signifikan di rentang 4-5 bulan tersisa di 2019.
 

Pewarta : Rilis
Editor : Agus Wira Sukarta
Copyright © ANTARA 2024