Jakarta (ANTARA) - Udara bersih jadi barang bernilai tinggi pada 2049. Masker dan baju pelindung khusus merupakan alat penentu hidup dan mati yang harus selalu dikenakan warga kota kemanapun mereka pergi. Pasalnya, udara di kota terlanjur tercemar berat dan beracun. Sekali saja warga kota menghirupnya tanpa memakai penyaring, mereka pelan-pelan menjemput mautnya sendiri dengan ragam penyakit serta komplikasi mematikan.

Begitulah film Blade Runner 2049 garapan Holywood membayangkan masa depan Kota Los Angeles di Amerika Serikat pada 32 tahun mendatang: futuristik – penuh dengan ragam teknologi kecerdasan buatan serta mobil terbang, tetapi warganya terpaksa hidup dengan udara kotor yang terdiri dari gas radioaktif serta logam berat.

Tentu kisah dalam film itu fiksi. Namun, bayangan suram masa depan Los Angeles dapat jadi pengingat bagi pemerintah dan warga bahwa ada kemungkinan Jakarta tak lagi layak huni apabila gas buang beracun dari kendaraan bermotor, pabrik, dan rumah tangga terus mencemari udara bersih di ibu kota.

Pertanyaannya kemudian, bagaimana kualitas udara di ibu kota dalam beberapa waktu terakhir? Tercemarkah atau masih dalam batas yang dapat ditoleransi oleh warganya?

Jika merujuk pada data berbasis satelit yang disiarkan aplikasi AirVisual, kualitas udara di ibu kota dalam beberapa pekan terakhir berada pada level buruk atau tidak sehat. Alasannya, kadar polusi PM2.5 mencapai 119.8 mikrogram per meter kubik. Padahal, standar sehat yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) adalah 25 mikrogram/meter kubik, sementara dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), standarnya 65 mikrogram/kubik.



Walaupun demikian, catatan AirVisual ternyata berbeda dengan pantauan Stasiun Pemantau Kualitas Udara milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang diletakkan di beberapa lokasi ibu kota.

Pantauan dari beberapa hari terakhir menunjukkan hanya udara di Jakarta Barat, tepatnya di Taman Perumahan Kebon Jeruk yang dinilai tidak sehat.

Alasannya, nilai Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) PM10 mencapai 114, sementara ambang batas sehat berada di kisaran 0-51 dan sedang 51-100.

Sementara itu, kualitas udara di Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Utara, dan Jakarta Pusat masih berada dalam kategori sedang. Artinya, udara di lokasi tersebut belum berbahaya bagi kesehatan manusia.

Namun, catatan KLHK sebagaimana tertuang dalam Keputusan Menteri LH Nomor: KEP-45/MENLH/10/1997 menjelaskan kualitas udara tak sehat yang ditemukan di Jakarta Barat dapat merugikan manusia dan sekelompok hewan serta menyebabkan kerusakan pada tumbuhan dan nilai estetika wilayah.

Walaupun pengukuran kualitas udara AirVisual dan KLHK berbeda, satu hal yang disepakati keduanya, udara di Jakarta tak bebas dari pencemaran. Alhasil, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Dinas Lingkungan Hidup menggodok beragam cara guna mengurangi tingkat pencemaran di ibu kota.

Transportasi

Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta mulai tahun ini sampai 2030 telah menyusun 14 rencana aksi yang bertujuan untuk memperbaiki kualitas udara di ibu kota. Ke-14 rencana aksi itu tertuang dalam peta jalan (roadmap) Jakarta Cleaner Air 2030.

Dalam peta jalan itu, pemerintah provinsi secara berkala akan memantau kualitas udara, mengembangkan transportasi umum ramah lingkungan, menggelar uji emisi kendaraan bermotor, mengendalikan gas buangan dari kegiatan industri serta menyediakan bahan bakar ramah lingkungan.

Menurut Kepala Dinas LH DKI Jakarta Andono Warih, fokus beberapa rencana aksi dalam peta jalan itu adalah mengendalikan laju pencemaran dari sektor transportasi.



Alasannya, jutaan kendaraan bermotor yang mengeluarkan gas beracun Karbon Monoksida (CO) dan Hidrokarbon (HC) memadati jalanan Jakarta tiap harinya.

Data dari Statistik Transportasi DKI Jakarta 2018 yang dirilis Badan Pusat Statistik mencatat 18 juta kendaraan terparkir di wilayah ibu kota.

Namun, jumlah itu kemungkinan dapat bertambah mengingat banyak pengendara dari kota dan kabupaten penyangga seperti Bekasi dan Bogor yang turut memadati jalanan sekaligus mencemari udara Jakarta. Catatan BPS, rata-rata jumlah komuter dari wilayah Bogor, Depok Tangerang, Bekasi (Bodetabek) yang beraktivitas di Jakarta per harinya mencapai 1.382.296 jiwa.

Uji Emisi

Untuk itu, Pemprov DKI Jakarta menjalankan beberapa program pemantauan kualitas udara, salah satunya uji emisi. Pada awal Juli, Suku Dinas LH Jakarta Timur memeriksa emisi kendaraan roda empat di tiga lokasi selama tiga hari.

Hasil pemeriksaan sementara dari uji emisi 2.843 kendaraan itu, 2.597 mobil dinyatakan lulus pemeriksaan, sementara 246 sisanya tak lulus.

Kepala Seksi Pengawasan dan Pengendalian Dampak Lingkungan Sudin LH Jaktim Agus Sartono mengatakan level CO mobil keluaran 2007 ke atas harus berada di bawah 1,50, sementara untuk HC 200 ppm.

Sementara itu, mobil keluaran 2007 ke atas kadar CO-nya harus di bawah 4,50 dan HC-nya 1.200 ppm. Foto Ilustrasi: Uji emisi kendaraan di Jakarta (ANTARA/Genta Tenri Mawangi)


Agus menjelaskan sejauh ini tak ada sanksi yang dikenakan untuk para pengendara dengan mobil tak lulus uji emisi. Petugas hanya menghimbau agar pengendara segera merawat kendaraannya agar gas buangnya tak meracuni sistem pernapasan para pengguna jalan.

Rencana

Namun, Kadis LH DKI Andono mengatakan ke depan hasil uji emisi akan berdampak langsung pada pengendara. Salah satu contohnya, semakin tinggi emisi kendaraan, pajak yang dibayar pun semakin besar.

Bahkan, nantinya emisi dapat menjadi ukuran seberapa banyak subsidi yang dapat diberikan pengendara untuk membayar biaya parkir. Sistemnya, jika kadar gas buang kendaraan tinggi, maka pemilik mobil/motor itu akan membayar ongkos parkir lebih mahal daripada pengendara dengan kendaraan rendah atau tanpa emisi.

Wacana itu, kata Andono, dapat terlaksana jika aplikasi E-Uji Emisi telah berfungsi secara lengkap. Saat ini, aplikasi yang diluncurkan pada Maret 2019 itu masih mencari bengkel yang menjadi mitra pengumpul data emisi kendaraan bermotor di ibu kota.

Menurut Andono, nantinya data yang dikumpulkan aplikasi E-Uji Emisi itu dapat menjadi bahan dan acuan bagi para pemangku kepentingan yang ingin membuat kebijakan pengendalian pencemaran udara.

Selain dari Dinas LH, Badan Pajak dan Retribusi Daerah (BPRD) juga berupaya menekan jumlah kendaraan di ibu kota dengan mengusulkan kenaikan tarif bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB) ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta.

Kepala BPRD DKI Jakarta Faisal Syarifuddin mengusulkan revisi terhadap Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2010, khususnya terkait peningkatan tarif BBNKB dari 10 persen jadi 12,5 persen. Selain itu, ia juga mengusulkan agar pengendara yang tak melapor balik nama dalam waktu 30 hari sejak jual beli akan dikenakan sanksi sebesar Rp100.000 - Rp200.000.

Usulan itu memang belum diputus oleh Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Baperda) DPRD DKI Jakarta, karena masih menunggu jawaban dari instansi lain.

Wakil Ketua Baperda DKI Jakarta Merry Hotma yang memimpin jalannya sidang revisi aturan tersebut mengatakan pihaknya masih akan memeriksa kesiapan aplikasi pelaporan pajak BPRD DKI Jakarta.

Namun, Merry memastikan revisi perda tentang BBNKB yang memuat kenaikan tarif serta sanksi itu akan tuntas pada tahun ini.

Ragam upaya ditempuh pemerintah demi mengembalikan udara Jakarta agar kembali bersih pada 2030.

Kuncinya saat ini justru ada pada kemauan warga ibu kota, bersediakah mereka lebih banyak berjalan kaki daripada menggunakan kendaraan bermotor untuk menempuh jarak satu sampai lima kilometer?

Jika tidak, tentu udara kotor di Jakarta akan terus jadi mimpi buruk warga ibu kota. Tetapi jika bersedia, warga kota masih punya harapan untuk kembali menghirup udara bersih, bebas polusi.

Pewarta : Genta Tenri Mawangi
Editor : Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2024