Tangerang (ANTARA) - Bagi warga Tionghoa ritual Ceng Beng adalah tradisi turun-temurun yang hingga kini masih terus dijalani, sekalipun untuk menjalani harus menyiapkan sejumlah makanan dan minuman, serta perlengkapan untuk diberikan kepada keluarga yang sudah meninggal dunia.

"Ceng Beng umumnya dimulai setiap tahun 27 Maret sampai pada puncaknya 5 April. Kita ziarah kubur datang ke pemakaman pada kurun waktu tersebut dengan membawa makanan, minuman serta perlengkapan lain yang biasanya disesuaikan dengan kesenangan yang meninggal," kata Vivy, di Tangerang, Minggu, salah seorang warga Tionghoa yang ziarah ke makam ayahnya.

Menurutnya, tradisi Ceng Beng menjadi kegiatan setiap tahun bersama keluarganya berkumpul di kuburan untuk berdoa serta memberikan sesaji makanan, membakar uang-uangan kertas, baju kertas, serta membakar hio.

Ramainya peziarah yang datang bersilih-ganti ke Tanah Cepe saat musim Ceng Beng merupakan hikmah tersendiri bagi warga sekitar kuburan untuk mengais rejeki, seperti dengan menjadi tukang parkir dadakan, menjual makanan dan minuman, hingga ikut membantu membakar uang-uangan dan pakaian dari kertas.

Oneng, salah seorang penjaga kuburan Tanah Cepe, mengatakan sekalipun di luar musim Ceng Beng ada yang rutin ziarah ke kuburan, namun pada musim Ceng Beng adalah saat yang banyak memperoleh rejeki dari para peziarah.

"Kita khan sudah memiliki langganan untuk merawat rumput kuburan di sini. Jadi kalau keluarganya ada yang datang ziarah, kita selalu mendapat uang tambahan bahkan kue atau roti serta macam-macam minuman," katanya.

Dia tidak mematok besaran uang yang diberikan oleh peziarah. "Seikhlasnya saja mereka mau kasih berapa, tapi saat Ceng Beng dalam sehari bisa dapat Rp300 ribuan," tambahnya.

Bagi warga Tionghoa Ceng Beng diartikan sebagai cerah dan cemerlang merupakan tradisi ziarah tahunan bagi warga Tionghoa bukan hanya di Indonesia, tapi juga di seluruh dunia merayakan perayaan. Intinya, kegiatan Ceng Beng dilakukan untuk menghormati leluhur yang telah meninggal.

Kegiatan penghormatan leluhur ini dilakukan oleh warga Tionghoa dengan cara menabur bunga, membakar uang-uangan kertas, membakar dupa, membersihkan kuburan atau perabuan, memasak makanan yang biasanya dihubungkan dengan makanan kesukaan si leluhur dan meletakkannya di kuburan atau perabuan.
 
Ratusan warga Tionghoa silih ganti menjalani ritual ceng beng (ziarah kubur) mendatangi Pemakaman Tanah Cepe, Tangerang, Banten, untuk mendoakan serta menyediakan sesajen ke arwah keluarga dan leluhur yang sudah menjadi tradisi setiap tahun.

Wartawan ANTARA di Tangerang, Minggu, melaporkan sejak pagi dini hari hingga siang bahkan sore hari warga Tionghoa tak henti-hentinya datang dan pergi di pemakaman Tanah Cepe untuk Ceng Beng.

Kemacetan sekitar dan di dalam pemakaman pun tak terhindari mengingat sempitnya akses jalan menuju pemakaman, selain sempitnya lahan parkir walaupun juru parkir dadakan sudah mengatur kendaraan bermotor.


 

Pewarta : Ahmad Wijaya
Editor : Hisar Sitanggang
Copyright © ANTARA 2024