Jakarta (ANTARA Lampung) - Bupati Empat Lawang Budi Antoni Aljufri divonis 4 tahun penjara, sedangkan istrinya Suzana Budi Antoni diputus 2 tahun penjara ditambah denda masing-masing Rp150 juta subsider 2 bulan kurungan karena dinilai terbukti menyuap.
Keduanya terbukti menyuap mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar dan memberi keterangan tidak benar.
"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Budi Antoni Aljufri oleh karena itu dengan pidana penjara selama 4 tahun dan terdakwa Suzana Budi Antoni dengan pidana penjara selama 2 tahun serta masing-masing dipidana denda sebesar Rp150 juta dengan ketentuan apabila tidak dibayar maka diganti dengan kurungan selama 2 bulan," kata ketua majelis hakim M. Mukhlis dalam sidang pembacaan vonis di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (14/1).
Sesaat setelah pembacaan putusan, beberapa pendukung Budi dan Suzana sekitar 300 orang yang kompak berbaju putih di ruang sidang menangis. Budi pun tampak menyeka air matanya.
Padahal vonis itu lebih rendah dibandingkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK yang meminta agar Budi Antoni Aljufri dihukum selama 6 tahun dan 4 bulan penjara ditambah denda Rp200 juta subsidair 2 bulan kurungan dan Suzana Budi Antoni selama 4 tahun ditambah denda Rp200 juta subsidair 2 bulan kurungan ditambah pidana berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 7 tahun terhitung setelah masing-masing terdakwa menjalani masa pidana.
Putusan yang diambil oleh majelis hakim M Mukhlis, Johanes Priyana, Jhon Halasan Butarbutar, Sofialdi dan Anwar itu bahkan lebih rendah dari pidana minimal dari dua pasal dakwaan yang terbukti yaitu pasal 6 ayat 1 huruf a UU Tipikor juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP dan pasal 22 juncto pasal 35 ayat 1 UU Tipikor juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP yaitu minimal dipenjara selama 3 tahun.
"Terdakwa 2 terbukti melakukan perbuatan pidana tapi bukan akumulasi dakwaan 1 dan 2, tapi sebagai wujud kepatuhan istri kepada suami yang secara sosio kultural dianut di Indonesia. Majelis mempertimbangan pula anak-anak terdakwa 1 dan 2 yaitu 3 anak yang masih membutuh pendidikan dan kasih sayang dimana putusan pidana akan menimbulkan beban psikologis kepada terdakwa dan anak-anak sehingga majelis memutuskan untuk memberikan pidana lebih ringan kepada terdakwa 2, Suzana Budi Antoni sehingga tidak tunduk pada tuntutan minimum baik pasal 6 maupun pasal 22," ujar Mukhlis.
Dalam dakwaan pertama, keduanya dinilai terbukti memberikan uang lebih kurang Rp10 miliar dan 500 ribu dolar AS atau setara Rp5 miliar kepada mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar melalui tangan kanannya Muhtar Ependy untuk memenangkan gugatan yang diajukan oleh Budi Antoni dann Syahril Hanafiah ke MK dalam sengketa pilkada Empat Lawang karena kalah dari pasangan Joncik Muhammad dan Ali Halimi.
Hakim menilai bahwa baik Budi maupun Suzana bukanlah pelaku yang berperan aktif dalam tindak pidana tapi hanya mengikuti keinginan Muhtar Ependy yaitu tangan kanan Akil Mochtar.
"Fakta hukum sebagaimana majelis hakim pertimbangkan di terdakwa 1 dan terdakwa 2 bersedia untuk menggunakan jasa Muhtar Ependy, Muhtar menunjukkan foto dirinya dengan Akil dan menyatakan bahwa dia bisa membantu. Selain itu majelis menganggap hakim pleno MK tidak dipengaruhi Akil, tidak ada fakta hukum yang menunjukkan putusan itu dipengaruhi uang yang diberikan kepada Muhtar. Dalam hal ini majelis hakim sependapat dengan pledoi penasihat hukum terdakwa bahwa tidak ada kaitannya pemberian uang ke Muhtar Ependy, Budi dan Suzana adalah korban persekongkolan jahat Muhtar Ependy dengan pertemanan dengan Akil," kata Mukhlis lagi.
"Terdakwa 1 dalam rangka memenangkan gugatan sengketa yang diajukan ke MK memberikan uang kepada Akil Mochtar melalui Muhtar Ependy berupa uang Rp10 miliar yang akan diberikan melalui Pimpinan BPD Kalimantan Barat Cabang Jakarta bernama Iwan Sutaryadi dan yang akan mengantarkan adalah istrinya Suzana," ujar Mukhlis.
Namun sebelum putusan sela, Akil kembali minta tambahan Rp5 miliar sebelum putusan diputus pada 31 Juli 2014 sehingga Budi pun memberikan 500 ribu dolar AS atau setara Rp5 miliar melalui Fauzi yang kembali dititipkan kepada Iwan.
"Suzana Budi Antoni tidak bertemu langsung dengan Akil Mochtar tapi melalui Muhtar Ependy, Budi Antoni tahu kedekatan Muhtar dengan Akil jadi meski ada pengacara di MK tapi karena kondisi kejiwaan Budi yang khawatir maka Budi menyerahkan keputusan gugatan Empat Lawang ke Muhtar Ependy karena yakin bahwa Muhtar mengetahui semua dan Budi Antoni takut dizalimi untuk kedua kalinya. Karena uang sudah diserahkan dan Muhtar juga sudah mengambil Rp10 miliar dari Iwan Sutaryadi dan mengantarkan ke rumah dinas Akil Mochtar sedangkan 500 ribu dolar AS sudah disetorkan secara bertahap ke rekening Muhtar, sehingga unsur memberikan sudah terbukti," kata hakim Mukhlis.
Lebih lanjut, hakim juga menilai dalam nota pembelaan (pledoi) Suzana mengakui bahwa ia dan suaminya terperdaya oleh Muhtar, sehingga memberikan uang dalam jumlah besar dengan percuma.
"Dua terdakwa mengetahui uang diberikan, mestinya keduanya tidak terpengaruh oleh bujuk rayu Muchtar Ependy karena perbuatan memberikan uang itu bertentangan dengan hukum," kata hakim itu lagi.
Kemudian dakwaan kedua mengenai memberikan keterangan tidak benar, hakim juga menilai bahwa keduanya dalam pemeriksaan sebagai saksi di sidang Akil Mochtar memberikan keterangan tidak benar antara lain mengaku tidak mengenal dan tidak pernah bertemu dengan Muhtar, tidak pernah mengantarkan uang ke BPD Kalbar.
"Sedangkan dalam dakwaan pertama ada komunikasi antara Budi Antoni dan Muhtar Ependy dengan sendirinya menunjukkan keterangan yang tidak benar terpenuhi menurut hukum. Namun majelis hakim yang mengadili Akil Mochtar juga tidak terpengaruh dengan keterangan tidak benar Budi dan Suzana karena tetap menyatakan Akil bersalah, artinya tidak terbukti," ujar hakim lagi.
Atas putusan tersebut, baik jaksa penuntut umum maupun penasihat hukum masih pikir-pikir.
Keduanya terbukti menyuap mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar dan memberi keterangan tidak benar.
"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Budi Antoni Aljufri oleh karena itu dengan pidana penjara selama 4 tahun dan terdakwa Suzana Budi Antoni dengan pidana penjara selama 2 tahun serta masing-masing dipidana denda sebesar Rp150 juta dengan ketentuan apabila tidak dibayar maka diganti dengan kurungan selama 2 bulan," kata ketua majelis hakim M. Mukhlis dalam sidang pembacaan vonis di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (14/1).
Sesaat setelah pembacaan putusan, beberapa pendukung Budi dan Suzana sekitar 300 orang yang kompak berbaju putih di ruang sidang menangis. Budi pun tampak menyeka air matanya.
Padahal vonis itu lebih rendah dibandingkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK yang meminta agar Budi Antoni Aljufri dihukum selama 6 tahun dan 4 bulan penjara ditambah denda Rp200 juta subsidair 2 bulan kurungan dan Suzana Budi Antoni selama 4 tahun ditambah denda Rp200 juta subsidair 2 bulan kurungan ditambah pidana berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 7 tahun terhitung setelah masing-masing terdakwa menjalani masa pidana.
Putusan yang diambil oleh majelis hakim M Mukhlis, Johanes Priyana, Jhon Halasan Butarbutar, Sofialdi dan Anwar itu bahkan lebih rendah dari pidana minimal dari dua pasal dakwaan yang terbukti yaitu pasal 6 ayat 1 huruf a UU Tipikor juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP dan pasal 22 juncto pasal 35 ayat 1 UU Tipikor juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP yaitu minimal dipenjara selama 3 tahun.
"Terdakwa 2 terbukti melakukan perbuatan pidana tapi bukan akumulasi dakwaan 1 dan 2, tapi sebagai wujud kepatuhan istri kepada suami yang secara sosio kultural dianut di Indonesia. Majelis mempertimbangan pula anak-anak terdakwa 1 dan 2 yaitu 3 anak yang masih membutuh pendidikan dan kasih sayang dimana putusan pidana akan menimbulkan beban psikologis kepada terdakwa dan anak-anak sehingga majelis memutuskan untuk memberikan pidana lebih ringan kepada terdakwa 2, Suzana Budi Antoni sehingga tidak tunduk pada tuntutan minimum baik pasal 6 maupun pasal 22," ujar Mukhlis.
Dalam dakwaan pertama, keduanya dinilai terbukti memberikan uang lebih kurang Rp10 miliar dan 500 ribu dolar AS atau setara Rp5 miliar kepada mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar melalui tangan kanannya Muhtar Ependy untuk memenangkan gugatan yang diajukan oleh Budi Antoni dann Syahril Hanafiah ke MK dalam sengketa pilkada Empat Lawang karena kalah dari pasangan Joncik Muhammad dan Ali Halimi.
Hakim menilai bahwa baik Budi maupun Suzana bukanlah pelaku yang berperan aktif dalam tindak pidana tapi hanya mengikuti keinginan Muhtar Ependy yaitu tangan kanan Akil Mochtar.
"Fakta hukum sebagaimana majelis hakim pertimbangkan di terdakwa 1 dan terdakwa 2 bersedia untuk menggunakan jasa Muhtar Ependy, Muhtar menunjukkan foto dirinya dengan Akil dan menyatakan bahwa dia bisa membantu. Selain itu majelis menganggap hakim pleno MK tidak dipengaruhi Akil, tidak ada fakta hukum yang menunjukkan putusan itu dipengaruhi uang yang diberikan kepada Muhtar. Dalam hal ini majelis hakim sependapat dengan pledoi penasihat hukum terdakwa bahwa tidak ada kaitannya pemberian uang ke Muhtar Ependy, Budi dan Suzana adalah korban persekongkolan jahat Muhtar Ependy dengan pertemanan dengan Akil," kata Mukhlis lagi.
"Terdakwa 1 dalam rangka memenangkan gugatan sengketa yang diajukan ke MK memberikan uang kepada Akil Mochtar melalui Muhtar Ependy berupa uang Rp10 miliar yang akan diberikan melalui Pimpinan BPD Kalimantan Barat Cabang Jakarta bernama Iwan Sutaryadi dan yang akan mengantarkan adalah istrinya Suzana," ujar Mukhlis.
Namun sebelum putusan sela, Akil kembali minta tambahan Rp5 miliar sebelum putusan diputus pada 31 Juli 2014 sehingga Budi pun memberikan 500 ribu dolar AS atau setara Rp5 miliar melalui Fauzi yang kembali dititipkan kepada Iwan.
"Suzana Budi Antoni tidak bertemu langsung dengan Akil Mochtar tapi melalui Muhtar Ependy, Budi Antoni tahu kedekatan Muhtar dengan Akil jadi meski ada pengacara di MK tapi karena kondisi kejiwaan Budi yang khawatir maka Budi menyerahkan keputusan gugatan Empat Lawang ke Muhtar Ependy karena yakin bahwa Muhtar mengetahui semua dan Budi Antoni takut dizalimi untuk kedua kalinya. Karena uang sudah diserahkan dan Muhtar juga sudah mengambil Rp10 miliar dari Iwan Sutaryadi dan mengantarkan ke rumah dinas Akil Mochtar sedangkan 500 ribu dolar AS sudah disetorkan secara bertahap ke rekening Muhtar, sehingga unsur memberikan sudah terbukti," kata hakim Mukhlis.
Lebih lanjut, hakim juga menilai dalam nota pembelaan (pledoi) Suzana mengakui bahwa ia dan suaminya terperdaya oleh Muhtar, sehingga memberikan uang dalam jumlah besar dengan percuma.
"Dua terdakwa mengetahui uang diberikan, mestinya keduanya tidak terpengaruh oleh bujuk rayu Muchtar Ependy karena perbuatan memberikan uang itu bertentangan dengan hukum," kata hakim itu lagi.
Kemudian dakwaan kedua mengenai memberikan keterangan tidak benar, hakim juga menilai bahwa keduanya dalam pemeriksaan sebagai saksi di sidang Akil Mochtar memberikan keterangan tidak benar antara lain mengaku tidak mengenal dan tidak pernah bertemu dengan Muhtar, tidak pernah mengantarkan uang ke BPD Kalbar.
"Sedangkan dalam dakwaan pertama ada komunikasi antara Budi Antoni dan Muhtar Ependy dengan sendirinya menunjukkan keterangan yang tidak benar terpenuhi menurut hukum. Namun majelis hakim yang mengadili Akil Mochtar juga tidak terpengaruh dengan keterangan tidak benar Budi dan Suzana karena tetap menyatakan Akil bersalah, artinya tidak terbukti," ujar hakim lagi.
Atas putusan tersebut, baik jaksa penuntut umum maupun penasihat hukum masih pikir-pikir.