Bandarlampung (ANTARA LAMPUNG) - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Daerah Lampung bekerjasama dengan berbagai pihak menggelar Dialog Kritis - Refleksi Konflik Sumberdaya Alam Lampung dalam Perspektif HAM, Agraria, dan Konflik Sosial.
Menurut Supriyanto, Deputi Direktur Walhi Lampung, di Bandarlampung, Kamis (28/3), dialog yang digelar di Radar Lampung Televisi (Radar Televisi) itu bertemakan "Berdaulat di lapangan Politik, Berdikari di lapangan Ekonomi, dan Beretika di lapangan Budaya" menghadirkan para birokrat/pejabat, tokoh masyarakat dan agama, tokoh adat, aktivis di Lampung termasuk yang berkiprah di kancah nasional, jurnalis, akademisi, dan kalangan profesional.
Dia menyatakan bahwa konflik pengelolaan sumberdaya alam, agraria, dan konflik sosial terjadi hampir di semua daerah di Indonesia, antara lain akibat dari penguasaan lahan dan ekspansi oleh pemilik modal selama ini, dan merupakan masalah yang sudah lama berlangsung.
Namun upaya penyelesaiannya belum menunjukkan hasil berkeadilan bagi rakyat sebagai pemilik sumber-sumber kehidupan yang berdaulat, dan pada akhirnya terakumulasi pada sebuah konflik dan pelanggaran HAM, kata dia.
Sebagai contoh, ujar Supriyanto, yaitu konflik lahan di Sungai Sodong Kecamatan Mesuji Provinsi Sumatera Selatan dan di beberapa wilayah di Kabupaten Mesuji Provinsi Lampung yang melibatkan warga, aparat, dan perusahaan, dan terakhir konflik antarpetambak di PT Centralpertiwi Bahari (CPB/Bratasena) di Kabupaten Tulangbawang Lampung belum lama ini, merupakan bagian kecil dari banyak kasus konflik pengelolaan sumberdaya alam dan konflik agraria yang terjadi di Indonesia ini.
"Akar persoalan konflik itu terkait agraria, pelanggaran izin oleh perusahaan, kontrol yang lemah dari pemerintah yang selama ini tidak diselesaikan, sehingga memicu konflik yang berkepanjangan dan banyak menimbulkan korban," ujar dia.
Anatomi Konflik Sosial
Secara umum Supriyanto mengungkapkan terdapat empat penyebab timbul konflik sosial di masyarakat.
Pertama, tidak meratanya distribusi pemanfaatan sumber daya alam.
Menurut dia, sebagai negara yang sumber daya alamnya melimpah maka tidak heran jika banyak masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari pemanfaatan sumber daya alam itu.
Namun distribusi pemanfaatan yang tidak merata akan menjadi pemicu konflik yang bukan tidak mungkin akan memakan waktu yang cukup panjang, dan konflik agraria adalah salah satu contoh jenis konflik ini, kata dia pula.
Kedua, menurut Supriyanto, penyebab konflik lainnya adalah ekspansi batas wilayah oleh suatu kelompok masyarakat.
Ketiga, ujar dia lagi, konflik sosial yang bersumber dari kegiatan ekonomi masyarakat.
Dia menjelaskan, jenis konflik ini dapat terjadi baik di wilayah perkotaan maupun pedesaan.
Dalam struktur masyarakat yang sederhana maupun kompleks, konflik yang berakar dari sengketa kegiatan ekonomi dapat menjadi pemicu konflik baik itu secara horizontal maupun vertikal.
Keempat, kata dia, penyebab konflik adalah bersumber dari kepadatan penduduk.
"Semakin banyak penduduk yang tinggal di suatu tempat, maka perebutan akses terhadap kesejahteraan akan semakin kerap terjadi," ujar dia.
Potensi konflik inilah yang kemudian dapat meletup menjadi bentrokan fisik, dengan empat sumber konflik tersebut kemudian terkristalisasi dalam konflik kepentingan, norma, dan nilai-nilai yang ada di masyarakat.
Konflik yang berujung pada kekerasan fisik dan jatuh korban jiwa adalah akumulasi dari konflik kepentingan, norma, dan nilai yang tidak diselesaikan dengan baik, katanya.
Bentrokan fisik yang terjadi di Way Panji Lampung Selatan yang lalu, menurut dia, sangat mungkin merupakan akumulasi dari konflik kepentingan, norma, dan nilai yang bersumber pada tidak merata distribusi sumber daya alam, ekspansi batas wilayah, dan kegiatan perekonomian.
Hal lain juga mengisyaratkan telah terjadi pendangkalan sosial dan hukum nonlitigasi di Lampung, terjadi krisis ketokohan dan kepemimpinan, kata dia pula.
Walhi Lampung bekerjasama dengan berbagai pihak menggelar dialog kritis itu, dalam bentuk diskusi rountable yang dipandu oleh moderator Supriyanto bekerjasama dengan Radar TV, pada Jumat (29/3) malam Sabtu pukul 19.00 sd 22.00 WIB di auditorium Studio Radar TV Lampung Jl Sultan Agung Gedung Graha Pena Radar Lampung Kota Bandarlampung.
Panitia mengundang hadir dalam dialog tersebut, antara lain Direktur Eksekutif Nasional Walhi Abetnego Tarigan, Ketua Komnas HAM SN Laila, dan Ketua Kontras Haris Azhar, bersama sejumlah pejabat, akademisi, praktisi media dan kalangan LSM maupun unsur masyarakat di Lampung.
Menurut Supriyanto, Deputi Direktur Walhi Lampung, di Bandarlampung, Kamis (28/3), dialog yang digelar di Radar Lampung Televisi (Radar Televisi) itu bertemakan "Berdaulat di lapangan Politik, Berdikari di lapangan Ekonomi, dan Beretika di lapangan Budaya" menghadirkan para birokrat/pejabat, tokoh masyarakat dan agama, tokoh adat, aktivis di Lampung termasuk yang berkiprah di kancah nasional, jurnalis, akademisi, dan kalangan profesional.
Dia menyatakan bahwa konflik pengelolaan sumberdaya alam, agraria, dan konflik sosial terjadi hampir di semua daerah di Indonesia, antara lain akibat dari penguasaan lahan dan ekspansi oleh pemilik modal selama ini, dan merupakan masalah yang sudah lama berlangsung.
Namun upaya penyelesaiannya belum menunjukkan hasil berkeadilan bagi rakyat sebagai pemilik sumber-sumber kehidupan yang berdaulat, dan pada akhirnya terakumulasi pada sebuah konflik dan pelanggaran HAM, kata dia.
Sebagai contoh, ujar Supriyanto, yaitu konflik lahan di Sungai Sodong Kecamatan Mesuji Provinsi Sumatera Selatan dan di beberapa wilayah di Kabupaten Mesuji Provinsi Lampung yang melibatkan warga, aparat, dan perusahaan, dan terakhir konflik antarpetambak di PT Centralpertiwi Bahari (CPB/Bratasena) di Kabupaten Tulangbawang Lampung belum lama ini, merupakan bagian kecil dari banyak kasus konflik pengelolaan sumberdaya alam dan konflik agraria yang terjadi di Indonesia ini.
"Akar persoalan konflik itu terkait agraria, pelanggaran izin oleh perusahaan, kontrol yang lemah dari pemerintah yang selama ini tidak diselesaikan, sehingga memicu konflik yang berkepanjangan dan banyak menimbulkan korban," ujar dia.
Anatomi Konflik Sosial
Secara umum Supriyanto mengungkapkan terdapat empat penyebab timbul konflik sosial di masyarakat.
Pertama, tidak meratanya distribusi pemanfaatan sumber daya alam.
Menurut dia, sebagai negara yang sumber daya alamnya melimpah maka tidak heran jika banyak masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari pemanfaatan sumber daya alam itu.
Namun distribusi pemanfaatan yang tidak merata akan menjadi pemicu konflik yang bukan tidak mungkin akan memakan waktu yang cukup panjang, dan konflik agraria adalah salah satu contoh jenis konflik ini, kata dia pula.
Kedua, menurut Supriyanto, penyebab konflik lainnya adalah ekspansi batas wilayah oleh suatu kelompok masyarakat.
Ketiga, ujar dia lagi, konflik sosial yang bersumber dari kegiatan ekonomi masyarakat.
Dia menjelaskan, jenis konflik ini dapat terjadi baik di wilayah perkotaan maupun pedesaan.
Dalam struktur masyarakat yang sederhana maupun kompleks, konflik yang berakar dari sengketa kegiatan ekonomi dapat menjadi pemicu konflik baik itu secara horizontal maupun vertikal.
Keempat, kata dia, penyebab konflik adalah bersumber dari kepadatan penduduk.
"Semakin banyak penduduk yang tinggal di suatu tempat, maka perebutan akses terhadap kesejahteraan akan semakin kerap terjadi," ujar dia.
Potensi konflik inilah yang kemudian dapat meletup menjadi bentrokan fisik, dengan empat sumber konflik tersebut kemudian terkristalisasi dalam konflik kepentingan, norma, dan nilai-nilai yang ada di masyarakat.
Konflik yang berujung pada kekerasan fisik dan jatuh korban jiwa adalah akumulasi dari konflik kepentingan, norma, dan nilai yang tidak diselesaikan dengan baik, katanya.
Bentrokan fisik yang terjadi di Way Panji Lampung Selatan yang lalu, menurut dia, sangat mungkin merupakan akumulasi dari konflik kepentingan, norma, dan nilai yang bersumber pada tidak merata distribusi sumber daya alam, ekspansi batas wilayah, dan kegiatan perekonomian.
Hal lain juga mengisyaratkan telah terjadi pendangkalan sosial dan hukum nonlitigasi di Lampung, terjadi krisis ketokohan dan kepemimpinan, kata dia pula.
Walhi Lampung bekerjasama dengan berbagai pihak menggelar dialog kritis itu, dalam bentuk diskusi rountable yang dipandu oleh moderator Supriyanto bekerjasama dengan Radar TV, pada Jumat (29/3) malam Sabtu pukul 19.00 sd 22.00 WIB di auditorium Studio Radar TV Lampung Jl Sultan Agung Gedung Graha Pena Radar Lampung Kota Bandarlampung.
Panitia mengundang hadir dalam dialog tersebut, antara lain Direktur Eksekutif Nasional Walhi Abetnego Tarigan, Ketua Komnas HAM SN Laila, dan Ketua Kontras Haris Azhar, bersama sejumlah pejabat, akademisi, praktisi media dan kalangan LSM maupun unsur masyarakat di Lampung.