Bandarlampung (ANTARA LAMPUNG) - Sejumlah akademisi Universitas Lampung (Unila) menyebutkan sektoralisasi undang-undang (UU) yang mengatur pengelolaan sumber-sumber agraria turut mendorong munculnya berbagai konflik pertanahan.
"Sektoralisasi dalam pengaturan tanah membuat suasana menjadi semrawut. Suasana itu mengakibatkan timbulnya konflik antar lembaga dalam mengatur pendaftaran tanah," ujar Dosen FH Unila Dr HS Tisnanta SH MHum.
Realitanya, demikian Tisnanta dalam acara "Sinkronisasi dan Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan Mengenai Pendaftaran Tanah" di Kampoeng Wisata Tabek Indah, Natar, Lampung Selatan, Kamis, ada suasana semrawut dalam hukum pendaftaran tanah.
"Dampaknya, terjadi disharmonisasi yang justru melahirkan persoalan hukum dalam pengelolaan agraria, khususnya soal tanah," ujar dia pada kegiatan kerja sama Badan Pertanahan Nasional (BPN) dengan Fakultas Hukum Unila itu pula.
Tisnanta yang juga Demisioner Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Kasus Mesuji itu melanjutkan, berbagai UU sektoral pembentukannya tidak berlandaskan asas-asas Undang-undang Pokok Agraria (UUPA).
"Sebaliknya, kedudukan UUPA justru didegradasi menjadi UU sektoral yang hanya mengatur pertanahan," katanya.
Ia kemudian mencontohkan, UU 41/1999 tentang Kehutanan. UU tersebut sama sekali tidak mengatur ketentuan mengenai koordinasi antara Kementerian Kehutanan (Kemenhut) dengan BPN.
"Kemenhut memiliki kewenangan luas untuk menetapkan status dan fungsi kawasan hutan secara mandiri tanpa melibatkan BPN. Padahal, dalam penetapan kawasan hutan kerap berbenturan dengan status hukum tanah yang menjadi kawasan hutan," ujar dia menjelaskan.
Dia menyarankan, perlunya konsolidasi kelembagaan untuk mengatasi suasana semrawut dalam pengaturan tanah.
"Orientasi pendaftaran tanah adalah kemakmuran rakyat. Suasana semrawut ditambah semrawut dengan keberpihakan pada kapital," ujar doktor hukum lulusan Universitas Diponegoro (Undip) itu pula.
Pembicara lain, Dr Rudy SH LLM menyatakan, konsepsi hak menguasai negara yang diatur dalam Pasal 33 UUD 1945 mendapat bentuknya dalam ketentuan Pasal 2 UUPA.
"UUPA mengatur bahwa wewenang yang bersumber pada hak menguasasi tersebut digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan," ucapnya.
Dia berpendapat, secara filosofis-teoritis, UUPA ditujukan untuk memberikan landasan bagi pengaturan hukum agraria yang berlaku secara nasional.
Selain itu, kata Rudy lagi, menciptakan kesatuan, keringkasan, dan kepastian hukum bagi seluruh rakyat.
Pengajar Hukum Tata Negara Unila itu menilai UUD 1945 dengan UUPA konsisten dan harmonis.
Berdasarkan hasil penelitiannya, saat ini terdapat sekitar 139 peraturan dan kebijakan mengenai pendaftaran tanah.
Perinciannya, 13 UU, 11 Peraturan Pemerintah (PP), 34 Peraturan Menteri Negara Agraria/BPN, 7 Peraturan Menteri Dalam Negeri/Kepala BPN, 5 Keputusan Menteri Dalam Negeri.
Kemudian, 39 Surat Edaran Menteri Negara Agraria/Kepala BPN, dan 7 Instruksi Menteri Negara Agraria/Kepala BPN.
"Dari jumlah tersebut, 28 peraturan perundang-undangan tidak berlaku. Penyebabnya antara lain, diterbitkannya peraturan baru, dicabut, serta timbul pertentangan antara peraturan bersifat khusus dengan peraturan yang umum," tutur lulusan Kobe University, Jepang, itu juga.
Menurut Rudy juga, situasi disharmoni dan ketidaksinkronan pengaturan pendaftaran tanah menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan.
"Kondisi tersebut mengakibatkan berkurangnya nilai kemanfaatan tanah untuk menciptakan nilai kemakmuran rakyat sebagaiamana diamanatkan konstitusi," kata dia lagi.
Kepala Bidang bagian Perundang-undangan BPN Provinsi Lampung, Reinfer Manurung, tidak membantah bila pengaturan pendaftaran tanah menimbulkan ketidakpastian diantara peraturan bidang agraria.
"Itulah sebabnya, BPN bekerja sama dengan sejumlah kampus untuk mensikronkan peraturan perundang-undangan, khususnya soal tanah sehubungan masih kuatnya ego sektoral dalam pengaturan tanah," ujar dia.
"Sektoralisasi dalam pengaturan tanah membuat suasana menjadi semrawut. Suasana itu mengakibatkan timbulnya konflik antar lembaga dalam mengatur pendaftaran tanah," ujar Dosen FH Unila Dr HS Tisnanta SH MHum.
Realitanya, demikian Tisnanta dalam acara "Sinkronisasi dan Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan Mengenai Pendaftaran Tanah" di Kampoeng Wisata Tabek Indah, Natar, Lampung Selatan, Kamis, ada suasana semrawut dalam hukum pendaftaran tanah.
"Dampaknya, terjadi disharmonisasi yang justru melahirkan persoalan hukum dalam pengelolaan agraria, khususnya soal tanah," ujar dia pada kegiatan kerja sama Badan Pertanahan Nasional (BPN) dengan Fakultas Hukum Unila itu pula.
Tisnanta yang juga Demisioner Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Kasus Mesuji itu melanjutkan, berbagai UU sektoral pembentukannya tidak berlandaskan asas-asas Undang-undang Pokok Agraria (UUPA).
"Sebaliknya, kedudukan UUPA justru didegradasi menjadi UU sektoral yang hanya mengatur pertanahan," katanya.
Ia kemudian mencontohkan, UU 41/1999 tentang Kehutanan. UU tersebut sama sekali tidak mengatur ketentuan mengenai koordinasi antara Kementerian Kehutanan (Kemenhut) dengan BPN.
"Kemenhut memiliki kewenangan luas untuk menetapkan status dan fungsi kawasan hutan secara mandiri tanpa melibatkan BPN. Padahal, dalam penetapan kawasan hutan kerap berbenturan dengan status hukum tanah yang menjadi kawasan hutan," ujar dia menjelaskan.
Dia menyarankan, perlunya konsolidasi kelembagaan untuk mengatasi suasana semrawut dalam pengaturan tanah.
"Orientasi pendaftaran tanah adalah kemakmuran rakyat. Suasana semrawut ditambah semrawut dengan keberpihakan pada kapital," ujar doktor hukum lulusan Universitas Diponegoro (Undip) itu pula.
Pembicara lain, Dr Rudy SH LLM menyatakan, konsepsi hak menguasai negara yang diatur dalam Pasal 33 UUD 1945 mendapat bentuknya dalam ketentuan Pasal 2 UUPA.
"UUPA mengatur bahwa wewenang yang bersumber pada hak menguasasi tersebut digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan," ucapnya.
Dia berpendapat, secara filosofis-teoritis, UUPA ditujukan untuk memberikan landasan bagi pengaturan hukum agraria yang berlaku secara nasional.
Selain itu, kata Rudy lagi, menciptakan kesatuan, keringkasan, dan kepastian hukum bagi seluruh rakyat.
Pengajar Hukum Tata Negara Unila itu menilai UUD 1945 dengan UUPA konsisten dan harmonis.
Berdasarkan hasil penelitiannya, saat ini terdapat sekitar 139 peraturan dan kebijakan mengenai pendaftaran tanah.
Perinciannya, 13 UU, 11 Peraturan Pemerintah (PP), 34 Peraturan Menteri Negara Agraria/BPN, 7 Peraturan Menteri Dalam Negeri/Kepala BPN, 5 Keputusan Menteri Dalam Negeri.
Kemudian, 39 Surat Edaran Menteri Negara Agraria/Kepala BPN, dan 7 Instruksi Menteri Negara Agraria/Kepala BPN.
"Dari jumlah tersebut, 28 peraturan perundang-undangan tidak berlaku. Penyebabnya antara lain, diterbitkannya peraturan baru, dicabut, serta timbul pertentangan antara peraturan bersifat khusus dengan peraturan yang umum," tutur lulusan Kobe University, Jepang, itu juga.
Menurut Rudy juga, situasi disharmoni dan ketidaksinkronan pengaturan pendaftaran tanah menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan.
"Kondisi tersebut mengakibatkan berkurangnya nilai kemanfaatan tanah untuk menciptakan nilai kemakmuran rakyat sebagaiamana diamanatkan konstitusi," kata dia lagi.
Kepala Bidang bagian Perundang-undangan BPN Provinsi Lampung, Reinfer Manurung, tidak membantah bila pengaturan pendaftaran tanah menimbulkan ketidakpastian diantara peraturan bidang agraria.
"Itulah sebabnya, BPN bekerja sama dengan sejumlah kampus untuk mensikronkan peraturan perundang-undangan, khususnya soal tanah sehubungan masih kuatnya ego sektoral dalam pengaturan tanah," ujar dia.