Jakarta (ANTARA) - Badan Narkotika Nasional (BNN) RI mencatat secara keseluruhan telah menyita enam jenis prekursor narkotika seberat 43,02 kilogram pada kasus clandestine laboratory atau laboratorium gelap narkotika sepanjang tahun 2020 hingga 2024.

Penyidik Direktorat Psikotropika dan Prekursor Deputi Bidang Pemberantasan BNN RI Ajun Komisaris Polisi (AKP) Trah Hidayat menjelaskan berbagai jenis prekursor tersebut merupakan prekursor farmasi maupun nonfarmasi legal yang disalahgunakan.

"Kami bersama Bareskrim Polri dan pemangku kepentingan terkait selalu menjaga dan berkolaborasi supaya kami bisa meminimalisasi adanya penyimpangan penggunaan prekursor," ujar Trah dalam acara Bincang Stranas PK yang dipantau secara daring di Jakarta, Rabu.

Secara terinci, keenam jenis prekursor narkotika yang telah disita BNN meliputi ephedrine serbuk seberat 0,41 kilogram pada tahun 2020 dan 0,04 kilogram pada 2022, ephedrine cair seberat 0,3 kilogram pada 2020, serta acetone seberat 4,1 kilogram pada 2021 dan 6,6 kilogram pada 2022, serta 0,7 kilogram pada 2024.

Selanjutnya, berupa toluena seberat 4 kilogram yang disita pada tahun 2020 dan 0,15 kilogram pada 2022, hydrocloric acid seberat 0,6 kilogram pada 2024, serta sulfuric acid seberat 26 kilogram pada 2020 dan 0,12 kilogram pada 2024.



Ia menjelaskan berdasarkan hasil pengungkapan kasus laboratorium gelap narkotika, banyak ditemukan bahwa beberapa pelaku mendapatkan prekursor tersebut melalui toko daring atau lokapasar (marketplace).

Untuk itu, BNN beserta Bareskrim Polri juga telah melakukan patroli siber untuk mencari berbagai prekursor yang dijual secara daring, bebas, dan disalahgunakan.

BNN dan Bareskrim Polri juga terus mengawasi secara ketat dari hilir sampai hulu peredaran prekursor legal untuk kepentingan industri agar tidak terjadi penyimpangan pemakaian, mulai dari permohonan impor maupun ekspor, kedatangan, distribusi, penyimpanan, pemakaian oleh pengguna akhir hingga limbahnya.

Trah menuturkan dalam kasus laboratorium gelap narkotika, pembeli, penjual maupun pengolah prekursor narkotika cenderung tidak pernah bertemu atau merupakan jaringan putus.

"Saat kami melakukan penangkapan, biasanya itu hanya sampai di tingkat pengolah prekursornya. Untuk asal prekursornya kemudian kami dalami lagi, apakah itu ada kebocoran dari tingkat importir," ungkap dia.

Meski dalam penyitaan di lapangan sering ditemukan prekursor farmasi yang disalahgunakan, ia mengatakan pengawasan BNN dan Bareskrim Polri berfokus pada prekursor nonfarmasi, sedangkan lembaga pengawas prekursor farmasi merupakan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Dengan begitu, Trah berharap seluruh instansi atau lembaga yang terlibat dalam pengawasan prekursor bisa berkolaborasi dalam memberikan informasi guna menindak penyalahgunaan prekursor untuk narkotika.




 

Pewarta : Agatha Olivia Victoria
Editor : Agus Wira Sukarta
Copyright © ANTARA 2024